Risalah Amman Yordania, Upaya Persatukan Sunni dan Syiah

Risalah Amman dihadiri sejumlah tokoh dari negara-negara Islam

Risalah Amman yang digelar Kerajaan Yordania dihadiri sejumlah tokoh dari negara-negara Islam. Bendera Yordania
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Raja ketiga Yordania, Hussein bin Talal, wafat pada 7 Februari 1999 ketika sedang dirawat akibat penyakit yang dideritanya. Bersama dengan kematiannya, berakhirlah masa pemerintahannya yang telah berjalan selama 47 tahun. Periode tersebut diwarnai berbagai turbulensi, seperti konflik berkepanjangan Arab-Israel, Perang Irak-Iran, dan Perang Dingin, yang berimbas pada situasi dalam negeri Yordania. 

Bagaimanapun beratnya, Raja Hussein dapat membawa negerinya keluar dari pelbagai kemelut itu dengan cukup baik. Sebagai contoh, beberapa tahun sebelum wafatnya ayahanda Raja Abdullah II itu menyepakati perjanjian antara Yordania-Israel pada 1994. Dalam butir kesepakatan itu, ditegaskan bahwa Yordania bertindak sebagai pelindung situs-situs berharga Islam dan Kristen yang ada di Yerusalem.

Penegasan tersebut pun diakui Israel. Bahkan, Vatikan juga mengakuinya, sekalipun kemudian pemerintahan Raja Hussein digantikan keturunannya. Sejak 1999, Yordania memiliki raja baru, yakni Abdullah bin Hussein. Raja bergelar Abdullah II itu memimpin negerinya melewati masa transisi dari abad ke-20 menuju abad ke-21. Periode tersebut sempat diisi beberapa peristiwa penting dunia, utamanya serangan terorisme yang mengguncang Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 (9/11).

Imbas dari tragedi tersebut turut dirasakan dunia Islam. Bahkan, yang marak muncul kemudian adalah Islamofobia dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Raja Abdullah II berinisiatif untuk menggalang persatuan umat Islam dan dunia demi mengantisipasi situasi global pasca-9/11. Dia pun mengundang para cendekiawan dari sekurang-kurangnya 50 negara sedunia untuk menghadiri konferensi Islam internasional di Amman. 

 

 

Pada 27 Ramadan 1425 H, atau bertepatan dengan 9 November 2004, Risalah Amman (the Amman Message) dibacakan mufti agung Yordania, Syekh Izzuddin al-Tamimi dalam rangkaian ceramah Ramadhan. Turut serta menyaksikan prosesi tersebut adalah Raja Abdullah II bersama dengan para tokoh ulama Islam sebagai tamu undangan.

Risalah Amman berisi pernyataan yang bernas mengenai hakikat Islam serta tindakan apa saja yang mewakili dan tidak mewakilinya. Raja Abdullah II bermaksud menegaskan kepada dunia modern tentang sifat-sifat sejati Islam, seperti ketaatan kepada Allah, rasa kasih sayang kepada tetangga, sikap yang moderat, dan mendukung kedamaian. Kira-kira setahun kemudian, pada Juli 2005 pertemuan serupa kembali digelar di Amman, Yordania.

Sebanyak 200 cendekiawan Muslim dari puluhan negara merumus kan tiga poin utama Risalah Amman. Indonesia direpresentasikan oleh dua organisasi besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)masing-masing diwakili oleh Prof Din Syamsuddin dan KH Hasyim Muzadi.

Poin pertama mengakui delapan mazhab berikut: Sunni Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Syafii, Sunni Hanbali, Syiah Ja'fariah, Syiah Zaydi, Zhahiri, dan Ibadi. Poin kedua menekankan, ikhtilaf ulama dalam persoalan mazhab berada pada tataran cabang, bukan mendasar (ushul). Karena itu, perbedaan hendaknya dipandang sebagai rahmat.

Risalah ini juga mengecam prinsip takfiri yang menuduh sesat atau mengafirkan kelompok lain yang tak menyetujui pendapat satu kelompok. Poin ketiga menegaskan peran ulama dalam menentukan prasyarat-prasyarat dikeluarkannya fatwa. Inisiatif Raja Abdullah II disambut positif banyak kalangan.

 

Bahkan, pada Desember 2005 Or ga nisasi Kerja sama Islam (OKI) meng adopsinya secara penuh pada konferensi tingkat tinggi yang digelar di Makkah. Risalah Amman da pat dikatakan sebagai sebuah terobosan sejarah. Sebab, inilah untuk pertama kalinya dalam dunia modern seluruh umat Islam saling menghargai meskipun berasal dari latar yang majemuk. 

 
Berita Terpopuler