BMKG Ungkap Penyebab Terjadinya Cuaca Ekstrem

Perubahan iklim menyebabkan frekuensi cuaca ekstrem di Indonesia terjadi makin sering

ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Sebuah pohon mengering di lokasi terdampak banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja telah memicu bencana alam di sejumlah wilayah di NTT dan mengakibatkan rusaknya ribuan rumah warga dan fasilitas umum.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan dampak perubahan iklim global terhadap La Nina menyebabkan frekuensi cuaca ekstrem di Indonesia terjadi makin sering. Dampak perubahan iklim ini diproyeksikan sampai akhir abad ke-21.

Baca Juga

"Kondisi ekstrem saat musim hujan itu akan semakin basah, dan apabila kemarau pun akan semakin kering dan frekuensi kejadian periode ulangnya semakin pendek dan intensitasnya tinggi," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Ia menjelaskan melalui peningkatan curah hujan ekstrem yang terjadi di Jakarta, sejak tahun 1900-1950, baru terjadi dua kali hujan ekstrem dengan intensitas tinggi 145 mm dalam sehari. Namun sejak tahun 1980 bahkan 1990 kejadian hujan ekstrem itu bisa terjadi hanya 2-5 tahun.

Selain itu dampak perubahan iklim lainnya yakni siklon tropis. Seharusnya, kata dia, siklon tropis dapat luruh, karena adanya gaya coriolis akibat rotasi bumi di lintang 0 sampai 10 derajat.

"Namun faktanya, Siklon Tropis Seroja menembus 10 derajat lintang selatan. Berdasarkan teori tersebut, kemungkinan besar penyebabnya adalah dampak perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran," katanya.

Dia menegaskan bahwa ada lonjakan jumlah peringatan dini yang dikeluarkan BMKG sejak tahun 2016. Peringatan dini setiap tiga harian mengalami lonjakan sejak tahun 2016, mencapai 730 kali dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 100 kali.

Sementara di tahun 2017, peringatan dini setiap tiga harian meningkat hampir tujuh kali dari tahun sebelumnya. "Karena memang fenomena cuaca ekstrem, membuat semakin melompat terjadinya," ucap Dwikorita.

 
Berita Terpopuler