Sejumlah Warga Afghanistan Khawatir Taliban Kembali Berkuasa

Muncul kekhawatiran perang saudara di Afghanistan.

AP/Hussein Sayed
Dalam foto 12 September 2020 ini, delegasi Taliban datang untuk menghadiri sesi pembukaan pembicaraan damai antara pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha, Qatar. Pada 31 Januari 2021, Rasul Talib, anggota tim negosiasi perdamaian pemerintah Afghanistan memperingatkan Taliban bahwa jika mereka tidak segera melanjutkan pembicaraan damai di Qatar, pemerintah dapat memanggil kembali tim tersebut sebelum kesepakatan tercapai. Talib mengatakan dalam konferensi pers bahwa tim sedang menunggu kembalinya kepemimpinan Taliban ke Doha, Qatar, tempat putaran kedua pembicaraan damai dimulai bulan ini tetapi hanya mengalami sedikit kemajuan.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan tidak mendapatkan sambutan baik bagi warga lokal. Mereka merasa penarikan tersebut tidak akan menimbulkan keuntungan.

"Penarikan itu bukan untuk keuntungan kami," kata pekerja untuk sebuah LSM asing di Kabul, Mohammad Edriss.

Pria berusia 31 tahun ini melihat, langkah penarikan pasukan asing di negara itu hanya akan mendatangkan kekerasan. "Akan ada kekerasan, ketidakamanan akan meningkat secara dramatis, dan sekali lagi orang Afghanistan akan mulai meninggalkan Afghanistan dan mencari suaka di negara lain," katanya.

Banyak orang Afghanistan khawatir bahwa Taliban akan semakin mendekati kekuasaan tanpa kehadiran militer AS. Kelompok ekstremis itu memerangi Pemerintah Afghanistan yang didukung AS dan sudah menguasai sebagian besar wilayah pedesaan di kabupaten itu.

Pertempuran melonjak tahun ini, bahkan ketika Taliban terlibat dalam pembicaraan damai dengan negosiator pemerintah. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikeluarkan Rabu (14/4) mengatakan telah terjadi peningkatan 29 persen dalam jumlah warga sipil yang tewas dan terluka selama tiga bulan pertama pada 2021 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020.

Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, mengatakan menghormati keputusan AS. Namun, ketua parlemen Afghanistan, Mir Rahman Rahmani, memperingatkan bahwa negara itu mungkin akan mengalami perang saudara.

"Penarikan pasukan ini adalah keinginan rakyat Afghanistan, tetapi pada saat ini, kondisi belum dibuat untuk mewujudkannya. Ada kemungkinan kembalinya perang saudara dan ini akan mengubah Afghanistan menjadi pusat internasional. terorisme, "kata Rahmani.

Baca Juga

Kekhawatiran serupa pun digaungkan oleh satu dari empat perempuan yang bernegosiasi dengan Taliban untuk pemerintahan Afghanistan, Fatima Gailani. "Penarikan diri tanpa perdamaian diselesaikan di Afghanistan adalah ... tidak bertanggung jawab," katanya kepada CNN.

Gailani mengaku, perhatian terbesarnya adalah perang saudara. Kondisi ini pun akan membuat perempuan Afghanistan kembali berhadapan dengan kerasnya sikap Taliban.

Ketika pemerintahan Taliban berkuasa pada akhir 1990-an, para perempuan dikucilkan dari pendidikan. Kebanyakan perempuan tidak dapat bekerja atau bahkan tidak bisa meninggalkan rumah tanpa wali laki-laki.

Kondisi itu yang menjadi perhatian Fawzia Ahmadi. Perempuan yang saat ini mengajar di sebuah universitas swasta di provinsi Balkh di Afghanistan utara ini menyadari tidak akan bisa bekerja seperti itu ketika negara diperintah oleh Taliban pada 1990-an.

"Kami memiliki kenangan buruk tentang rezim Taliban. Perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah atau universitas dan kami bahkan tidak bisa pergi ke pasar sendirian," kata perempuan berusia 42 tahun ini.

Ahmadi menyatakan, pemerintah Afghanistan yang didukung Barat, hak-hak perempuan telah dilindungi. "Pikiran (Taliban) sama seperti pada tahun 1996. Kami takut akan kebebasan kami," katanya. Dwina Agustin

 
Berita Terpopuler