Joe Biden Kontak Raja Yordania Usai Keretakan Kerajaan

Kerajaan Yordania diguncang isu keretakan yang melibatkan pangeran

AP/Evan Vucci
Presiden AS Joe Biden
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dikabarkan berbicara dengan Raja Yordania, Abdullah II, Kamis (8/4) waktu setempat. AS menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan Raja Abdullah II di AS dan kawasan.

Baca Juga

"Bersama-sama mereka membahas hubungan bilateral yang kuat antara Yordania dan AS," ujar pernyataan Gedung Putih seperti dilansir laman Al Arabiya English, Kamis (8/4).

Keduanya membahas soal peran penting Yordania di kawasan. AS dan Yordania juga membicarakan soal penguatan kerja sama bilateral dalam berbagai masalah politik, ekonomi, dan keamanan.

Presiden Biden juga menegaskan bahwa AS mendukung solusi dua negara untuk konflik Israel dan Palestina. Dalam kesempatan terpisah, Raja Abdullah II mengatakan bahwa mantan Putra Mahkota Hamzah telah berkomitmen untuk menempatkan kepentingan Yordania, konstitusinya, dan hukumnya di atas pertimbangan lain, setelah beberapa pejabat tinggi ditangkap karena alasan keamanan.

 

Raja Abdullah mengatakan, bahwa dia memutuskan untuk menangani konflik dengan Pangeran Hamzah dalam kerangka keluarga Hashemite. Dia juga mempercayakan langkah itu kepada paman mereka, Pangeran El Hassan bin Talal.

"Hamzah hari ini bersama keluarganya di istananya di bawah pengawasan saya, adapun aspek lainnya sedang dalam penyelidikan, sesuai hukum, sampai selesai, sehingga hasilnya akan ditangani dalam konteks kita sebagai lembaga negara, dengan cara yang menjamin keadilan dan transparansi," ujar Raja Abdullah.

Raja Abdullah II mengungkapkan keretakan kerajaan kepada publik yang terjadi pertama kalinya. Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi, raja berbicara tentang krisis politik terburuk di Yordania dalam beberapa dekade, yang dipicu oleh dugaan persekongkolan yang melibatkan saudara seayah Pangeran Hamzah.

Pemerintah menuduh Hamzah sebagai bagian dari "rencana jahat" untuk mengguncang negara dengan dukungan asing. Mantan putra mahkota itu kemudian ditempatkan sebagai tahanan rumah, dan pihak berwenang menahan 18 orang lainnya termasuk mantan pejabat senior.

 
Berita Terpopuler