Dishub Jabar Waspadai Pemudik Lewat Jalur Tikus

Jalur tikus kemungkinan digunakan warga yang nekat mudik ke kampung halaman.

ANTARA/Makna Zaezar
Ilustrasi.
Rep: Arie Lukihardianti Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah tahun ini kembali melarang masyarakat mudik lebaran. Pelarangan untuk meminimalkan lonjakan kasus Covid-19 yang kerap terjadi usai libur panjang.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan Jawa Barat, Hery Antasari, di Jawa Barat, Dinas Perhubungan berencana membuat penyekatan di berbagai titik khususnya perbatasan antarprovinsi. Selain itu, akan ada pengawasan di jalur-jalur kecil atau jalur tikus yang kemungkinan digunakan warga yang nekat mudik ke kampung halaman.

"Yang kita khawatirkan dalam berbagai rapat koordinasi, masukan dari teman-teman Organda dan PO, jangan sampai mengikuti aturan tapi ada (angkutan atau pribadi) ilegal masuk lewat jalan tikus kemudian dibiarkan. Itu jadi konsen kita," ujar Hery dalam acara yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Bandung, Kamis (8/4).

Hery mengatakan, Dinas Perhubungan (Dishub) bersama aparat lainnya akan lebih waspada dalam melakukan penyekatan agar titik rawan kebocoran dari evaluasi tahun kemarin bisa diperbaiki.

Menurut Hery, berdasarkan data pusat Litban Kemenuhub ada sekitar 83 juta warga di Indonesia yang biasanya melakukan mudik tahunan, di mana 52 juta jiwa ada di Pulau Jawa. Dari angka terseut ada sekitar 10,3 juta yang berasal dari Jabodetabek, di mana 4 juta merupakan warga Jabar. Sedangkan dari Jawa Barat sendiri ada sekitar 13 juta. Artinya ada sekitar 17 juta warga Jabar yang diprediksi akan melakukan mudik.

Namun, kata dia, dengan adanya pandemik Covid-19 saat ini dari total pemudik ada sekitar 11 persen yang masih berencana mudik meski sudah ada larangan dari pemerintah.

Hery menjelaskan, untuk mengantisipasi jumlah pemudik yang mungkin masih akan ada meski pemerintah melakukan pelarangan. Dishub Jabar, akan berkoordinasi dengan dishub kabupaten/kota dan satgas Covid-19 setempat untuk sama-sama bertanggug jawab dalam pengendalian antisipasi pemudik.

"Artinya setiap daerah harus aware dengan data dan harus siap dengan kebijakan. Tapi konsepnya lebih ke pendekatan dan koordinasi," kata Hery.

Sementara menurut Wakil Ketua Sub Divisi Kebijakan Ekonomi Komite Pemulihan Ekonomi Daerah (KPED) Jabar Yayan Satyakti, pihaknya melakukan riset mengenai mudik. Hasilnya, ia mengestimasikan larangan mudik tak akan berpengaruh ke mobilitas masyarakat.

"Jadi, saya membuat estimasi larangan mudik tak akan berpengaruh ke mobilitas Jabar. Orang tetap mudik walaupun dilarang," ujar Yayan.

Hal tersebut, kata dia, diketahui dari hasil penelitian koefisien penurunan mobilitasnya hanya 13,6 persen, mobilitas menurun dibandingkan sebelum idul fitri. "Jadi, sisanya pada mudik. Pemrintah melarang biar ga ngabring teuing (berkerumun, red)," katanya.

Penurunan mobilitas yang cukup signifikan, kata dia, terjadi pada awal pandemi Covid-19 di Maret 2020. Karena, saat itu semua orang tak beraktivitas.

"Signifikansi pergerakan orang ke pandemik tinggi. Orang 100 persen nurut tak beraktivitas tak mau berkegiatan lainnya," katanya.

Begitu juga, kata dia, saat WFH diberlakukan, mobilitas orang turun sampai sampai ramadhan mencapai 70 persen. Namun, ketika mudik 2020 pergerakan orang turun hanya 13 persen. "Artinya orang ingin mudik karena social behavior," katanya.

Dari hasil penelitian, kata dia, masyarakat yang mudik adalah orang yang punya uang dan mobil. "Jadi yang mudik itu orang kelas menengah atas yang pakai mobil pribadi mereka nularin disana. Jadi bukan yang pakai umum," kata Yayan.

Yayan menilai, saat ini mobilitas masyarakat masih rentan untuk meningkatkan penularan pandemi. Makanya, pemerintah harus memperketat.

"Ada 8 juta orang yang mungkin akan mudik. Saat ini, kebijakan pemerintah semakin mintul karena tak efektif lagi," kata Yayan seraya menyarankan pada pemerintah untuk memperbaharui dan monitoring pengendalian pandemi sambil memperhatikan ekonomi.

 
Berita Terpopuler