Butuh Waktu 63 Bulan KPK Menangkap Richard Joost Lino

Pentingnya merangkul mitra internasional untuk memberantas korupsi.

Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (tengah) menaiki mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3/2021). RJ Lino yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2015 itu ditahan penyidik KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Butuh waktu 5 tahun dan 3 bulan (63 bulan) bagi KPK untuk melangkah dari tahap pengumuman penyidikan ke penahanan atas tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino. Penangkapan Richard Joost Lino ini terkait kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II (Persero) tahun 2010.

Pada 15 Desember 2015, KPK mengumumkan penetapan RJ Lino sebagai tersangka. Ini karena dia diduga memerintahkan pengadaan 3 QCC dengan menunjuk langsung HuaDong Heavy Machinery (HDHM) Co. Ltd dari China.

Padahal, berdasarkan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM, ditemukan bahwa produk HDHM tidak lulus evaluasi teknis. Hal ini karena, barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China. 

Namun baru pada 26 Maret 2021, KPK melakukan penahanan terhadap RJ Lino. Letak persoalan bukan karena tersangka melarikan diri seperti dalam kasus-kasus sebelumnya melainkan karena KPK terkendala dengan perhitungan kerugian negara seperti yang diminta oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Untuk menghitung nilai kerugian negara, BPK membutuhkan bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC. Namun, bukti pengeluaran itu tidak kunjung diperoleh. 

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, pimpinan KPK periode sebelumnya yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif bahkan pada 2018 bahkan sudah datang ke China dan dijanjikan untuk bertemu dengan Jaksa Agung atau menteri terkait. Namun pada saat-saat terakhir, pertemuan tersebut dibatalkan.

Pun tim penyidik yang datang ke China dalam kesempatan yang berbeda dengan pimpinan untuk mencari data QCC tersebut harus pulang dengan tangan hampa. Alhasil BPK tidak bisa melakukan penghitungan kerugian negara karena ketiadaan dokumen atau data pembanding. 

 

Data pembanding ini misalnya harga QCC yang dijual HDHM ke negara lain sehingga dapat dihitung selisih harga jual ke Pelindo dan harga jual ke pihak lain. "Disampaikan BPK, berdasarkan dokumen yang ada terjadi kerugian dalam pemeliharaan QCC sedangkan untuk pengadaan dan pengiriman alat, tapi BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding," kata Alexander, akhir pekan.

Atas kondisi tersebut, KPK pun meminta ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan penghitungan berdasarkan "replacement cost" atau perkiraan biaya yang dikeluarkan bila alat diproduksi sendiri. Hasilnya, ahli dari ITB memperoleh nilai 9.637.385 dolar AS untuk pengadaaan 3 QCC atau selisih 5.916.615 dolar AS dari nilai kontrak seluruhnya yang diperoleh HDHM sebesar 15.554.000 dolar AS.

Selisih nilai tersebut ditambah dengan ongkos pengiriman, menurut Alexander, menjadi nilai kerugian negara. Dari pengalaman tersebut, dapat dilihat pentingnya kerja sama antar lembaga antikorupsi maupun kerja sama antarnegara dalam proses investigasi korupsi.

 

Sesungguhnya, KPK telah melakukan implementasi kerja sama bilateral maupun internasional dengan Anti-Corruption Agency (ACA) di berbagai negara baik untuk meningkatkan kapasitas personel maupun tindakan projusticia. Contoh kasus yang terungkap karena kerja sama antarlembaga misalnya dukungan Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura dalam menangani kasus korupsi di PT Garuda Indonesia. Dukungan SFO dilakukan lewat kesepakatan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dengan Airbus SE.

 
Berita Terpopuler