Suharjito yang Mengaku Sedih Disebut Penyuap Edhy Prabowo

Suharjito ajukan diri sebagai justice collaborator untuk kasus suap ekspor benur.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito berjalan meninggalkan Gedung Merah Putih KPK usai pemeriksaan di Jakarta, Selasa (23/3/2021). Terdakwa Suharjito diperiksa sebagai saksi bagi tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus dugaan suap terkait perizinan ekspor benih lobster.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito, mengaku sedih disebut sebagai penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Ia menegaskan hanya seorang pengusaha biasa.

"Saya tuh sebenarnya dibilang penyuap itu sedih aku, aku ini orang usaha biasa," ujar Suharjito,  di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yang diikutinya secara virtual dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (24/3).

Menurut Suharjito, dia memiliki tanggungan yang banyak dengan membawahi 1.000 karyawan. Terlebih kondisi pandemi Covid-19 yang semakin memperburuk keadaan perusahaannya.

"Saya harus bayar pajak, bayar karyawan dengan kondisi Covid-19 seperti ini. Sedih saya. Bukan apa-apa, kalau aku nggak diminta komitmen fee nggak mungkin aku begini," kata Suharjito.

Suharjito didakwa memberikan suap kepada Edhy sebesar 103 ribu dolar AS dan Rp 706 juta. Dalam dakwaan disebutkan, Suharjito menyuap Edhy Prabowo melalui Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi yang merupakan anggota DPR sekaligus istri Edhy, dan Siswandi Pranoto Loe selaku Komisaris PT. Perishable Logistics Indonesia (PT. PLI) sekaligus Pendiri PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK). Suap diberikan Suharjito guna mempercepat persetujuan perizinan ekspor benih lobster atau benur di KKP tahun anggaran 2020.

Disebutkan dalam dakwaan, uang suap digunakan oleh Edhy dan istrinya untuk kepentingan pribadi. Suharjito pun didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Karena itu, Suharjito mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator). "Pada persidangan sebelumnya, saudara mengajukan surat tertulis tentang pengajuan justice collaborator sehingga itu masih kami cermati kami pelajari tentang urgensi atau relevansinya," kata ketua majelis hakim Albertus Usada.

Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan video conference dari gedung KPK. "Memang banyak perusahaan, 65 perusahaan bisa saja punya potensi (memberi suap) seperti saudara. Persoalannya kenapa satu? Akan tetapi, bukan kewenangan majelis menjawab, hal itu ada pada penyidik," kata hakim Albertus.

Ia melanjutkan, "Nah, persoalannya, ini dari sekian yang diberi izin ekspor BBL maupun izin budi daya ada sekian perseroan atau perusahaan, tetapi yang dihadirkan di persidangan hanya satu, itu 'kan juga menjadi pertanyaan dan catatan majelis dalam hubungannya dengan permohonan Saudara."

Albertus menyatakan majelis masih belum membuat keputusan soal pemberian status justice collaborator pada sidang pembacaan vonis."Apakah kemudian urgensi dan relevansi pengajuan justice collaborator itu akan sedang kami pelajari dan nanti sebelum penyusunan surat tuntutan, kami akan menyatakan sikap atas permohonan Saudara. Jadi, masih ada waktu," ungkap hakim Albertus.

Menurut penasihat hukum Suharjito, Aldwin Rahadian, permohonan sebagai justice collaborator telah disampaikan sejak awal penyidikan. "Bukan apa-apa karena ini itikad baik dan kooperatif saja, apa pun akan siap terdakwa jawab dengan sejujur-jujurnya termasuk di BAP terdakwa bisa ditanyakan tentang hal-hal yang Saudara terdakwa ketahui juga," kata Aldwin.

Menurut Aldwin, Suharjito juga tidak punya beban karena terlah mengakui perbuatannya. "Dia memang mengakui perbutannya, ya, terlepas perbuatannya itu memenuhi unsur pidana atau tidak biar kemudian majelis hakim yang menilai karena Pak Harjito sendiri mengatakan dia memberikan uang karena diminta," ungkap Aldwin.

Aldwin menyebut kliennya hanya sebagai korban saat ingin mengurus izin ekspor dan budi daya benih lobster. "Karena kan persyaratannya lengkap, jadi tidak ada yang dilanggar sebetulnya, mau suap diakukan atau tidak izin pasti keluar. Pak Harjito justru merasa sebagai korban dan mempertanyakan kenapa hanya dia sendiri?" kata Aldwin.

Ia menggatakan, "Coba kalau lihat sitaan KPK lebih puluhan miliar rupiah dia 'kan hanya mengakui memberikan dua kali, yaitu 77.000 dolar AS dan 26.000 dolar AS, nah, yang disita puluhan miliar rupiah milik siapa?"

Pada tanggal 15 Maret 2021, petugas KPK menyita uang sekitar Rp 52,3 miliar yang diduga berasal dari para pengekspor BBL yang mendapatkan izin dari KKP pada tahun 2020. Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekjen KKP agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan bank (bank garansi) dari para pengeksor kepada Kepala Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) KKP. Selanjutnya, Kepala BKIPM KKP memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno-Hatta untuk menerima bank garansi tersebut.KPK menyebut aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benur tersebut diduga tidak pernah ada.






Baca Juga

Sementara itu, Suharjito menyampaikan kecurigaannya ihwal adanya pihak lain yang juga menyuap Edhy Prabowo. Ia meminta agar KPK juga menindak pelaku lain dalam perkara ini.

"Kalau aku gelombang 4 nomor urut 35. Kan masih ada sampai 65 kan nomor urutnya," kata Suharjito.

Suharjito mengaku hanya meminta izin ekspor benih lobster ke KKP. Dia tidak tahu jika uang komitmen fee yang diminta Edhy Prabowo merupakan tindak korupsi.

Atas dasar itu, Suharjito meminta KPK untuk menindak para eksportir lainnya yang mendapat izin ekspor agar diproses hukum. "Bukan apa-apa, kalau aku nggak diminta komitmen fee nggak mungkin aku begini. Ya kira-kira masa aku yang salah sendiri? Gitu saja logikanya kan," ucap Suharjito.

Dikonfirmasi ihwal dugaan penyuap lain dalam perkara ini, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri memastikan tidak akan tebang pilih dalam mengusut perkara tersebut "KPK tidak tebang pilih. Kami patuh pada aturan hukum yang berlaku. Sebagai penegak hukum, KPK harus bekerja atas dasar hukum yang berlaku," kata Ali Fikri.

Ali mempersilakan Suharjito menyampaikan hal-hal yang diketahuinya terkait perkara tersebut saat menjadi terdakwa ataupun ketika bersaksi di persidangan Edhy Prabowo. Ia pun memastikan keterangan Suharjito itu nantinya bakal dianalisis serta dikonfirmasi pada saksi-saksi maupun alat bukti lainnya.

"Kami analisis lebih lanjut keterangannya tersebut dengan mengkonfirmasi pada saksi-saksi dan alat bukti lainnya," ujarnya.

Ali menegaskan, KPK dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka mengacu pada kecukupan alat bukti. Bukan atas desakan atau permintaan dari pihak-pihak tertentu.

"Artinya sepanjang ditemukan setidaknya dua bukti permulaan yang cukup maka KPK akan menetapkan pihak-pihak lain juga sebagai tersangka dalam perkara ini," kata Ali.

KPK juga telah melimpahkan barang bukti dan enam tersangka dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster di KKP ke penuntutan. KPK berharap kasus dapat segera disidangkan.

"Hari ini, tim penyidik melaksanakan tahap II (penyerahan tersangka dan barang bukti) atas nama tersangka EP (Edhy Prabowo) dan kawan-kawan kepada tim JPU (jaksa penuntut umum). Sebelumnya, berkas perkara para tersangka dimaksud telah dinyatakan lengkap (P21)," kata Ali.

Ia mengatakan penahanan terhadap enam orang tersebut beralih dan dilanjutkan oleh tim JPU masing-masing selama 20 hari ke depan terhitung 24 Maret 2021 sampai dengan 12 April 2021. Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (EP) ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih, Staf Khusus Edhy sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF) di Rutan KPK Gedung Merah Putih, Staf Khusus Edhy sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Misanta Pribadi (AMP) di Rutan KPK Gedung Merah Putih.

Kemudian, Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD) di Rutan KPK Gedung Merah Putih, Ainul Faqih (AF) selaku staf istri Edhy di Rutan KPK Gedung Merah Putih, dan Amiril Mukminin (AM) selaku sekretaris pribadi Edhy di Rutan KPK Gedung Merah Putih. Enam orang tersebut merupakan penerima suap dalam kasus tersebut.

Dalam waktu 14 hari kerja, kata Ali, tim JPU akan segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). "Persidangan diagendakan di PN Tipikor Jakarta Pusat," ujarnya pula.

Sebelumnya, selama proses penyidikan terhadap enam orang itu telah diperiksa 157 saksi dari berbagai pihak di antaranya pihak internal di KKP dan dari unsur swasta. Yaitu para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih bening lobster di KKP Tahun 2020.

Penyelundupan benur lobster - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler