MUI Jatim Tegaskan Vaksin AstraZeneca Halal

Bagi MUI Jatim, vaksin AstraZeneca tidak sampai menjadi najis.

EPA-EFE/MADE NAGI
MUI Jatim Tegaskan Vaksin AstraZeneca Halal. Petugas medis menyiapkan suntikan vaksin COVID-19 selama kampanye vaksinasi di Denpasar, Bali, Indonesia, 09 Maret 2021. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah menyetujui vaksin AstraZeneca COVID-19 untuk penggunaan darurat pada 09 Maret 2021.
Rep: Dadang Kurnia Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur KH. Makruf Khozin menyatakan telah melakukan kajian terkait kehalalan dan kesucian vaksin Covid-19 AstraZeneca. Makruf menyatakan kajian dilakukan setelah ia mendapat banyak data dari BPOM pusat, pengkaji yang berasal dari unsur kedokteran, dan lainnya.

Baca Juga

"Sekali lagi para kiai, para ulama kita menyatakan (vaksin AstraZeneca) tidak ada masalah, halal, dan suci," ujar Makruf di Kantor MUI Jatim, Surabaya, Senin (22/3).

Makruf tidak memungkiri adanya perbedaan pendapat dari para pakar. Ada yang langsung menyatakan vaksin AstraZeneca tripsinnya menggunakan benda yang diharamkan, dalam hal ini tripsin babi. Namun, ada juga pendapat pakar yang menyatakan vkasin yang dihasilkan tidak bersentuhan dengan benda najis atau haram.

"Artinya tidak sampai bersentuhan, hanya untuk membiakkan saja, menyuburkan saja," ujar Makruf.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, Makruf menegaskan, vaksin AstraZeneca yang dihasilkan tersebut berstatus suci dan halal. Ia mencontohkan pembuatan cuka dari anggur dimana anggur yang difermentasi berubah menjadi khamar, dan kemudin berubah lagi jadi cuka. Artinya anggur yang mulanya suci, berubah menjadi najis, dan kemudian terjadi perubahan menjadi suci.

"Ini yang awalnya virus itu adalah barang suci, kemudian ada tripsin kecampuran dengan benda najis, setelah diangkat kemudian menjadi vaksin maka sudah menjadi suci lagi, menjadi halal lagi. Maka kita tidak perlu ragu akan hal itu," kata Makruf.

Makruf mengakui, keputusan MUI pusat masih berpedoman selama masih bersentuhan dengan benda najis, barang yang dihasilkan tetap dikategorikan najis. Itu berpedoman pada pendapat ulama kalangan Mazhab Syafi'iyah.

Sementara menurut Mazhab Hanafi, meskipun terjadi persentuhan dengan benda najis, tetapi karena sudah beralih fungsi, sudah berganti, maka statusnya halal dan suci. "Namun tetap sejalan dengan MUI pusat pada kesimpulan akhir. Sama-sama boleh. Hanya saja menurut MUI pusat bolehnya karena darurat. Bagi MUI Jatim bukan karena darurat. Ya karena memang tidak sampai menjadi najis dan memang diperbolehkan," kata dia.

 

 
Berita Terpopuler