Perang Diplomasi Pejabat AS dan China Berlangsung Sengit

Blinken mengaku tak terkejut mendapatkan tanggapan defensif dari China.

EPA-EFE/SHAWN THEW
Menlu AS Antony Blinken.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, ANCHORAGE -- Pertemuan pejabat tinggi Amerika Serikat (AS) dan China di Alaska berlangsung sengit. Pertemuan yang berlangsung selama dua hari itu tidak menghasilkan terobosan diplomatik karena masing-masing pejabat tinggi secara terbuka saling mengungkit kebijakan satu sama lain di hadapan wartawan.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan melakukan pertemuan perdana dengan diplomat top China Yang Jiechi dan Anggota Dewan Negara Wang Yi di Anchorage, Alaska. Anggota delegasi China meninggalkan hotel tempat pertemuan tanpa berbicara dengan wartawan usai pertemuan. Namun, Yang berbicara kepada jaringan televisi China, CGTN bahwa diskusi berjalan sangat konstruktif.

"Tentu saja masih ada perbedaan. China akan dengan tegas menjaga kedaulatan nasional, keamanan dan pembangunan," kata Yang.

Sementara itu, Blinken mengaku tidak terkejut bahwa AS mendapatkan "tanggapan defensif" dari China setelah mengangkat mengangkat tuduhan pelanggaran hak asasi manusia China di Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong serta serangan dunia maya dan tekanan terhadap Taiwan. Blinken mengatakan kedua belah pihak juga memiliki kepentingan yang saling bersilangan tentang Iran, Korea Utara, Afghanistan, dan perubahan iklim.

“Di bidang ekonomi, perdagangan, teknologi, kami memberi tahu mitra kami bahwa kami meninjau masalah ini dengan konsultasi erat dengan Kongres, dengan sekutu dan mitra kami, dan kami akan melanjutkannya dengan cara yang benar-benar melindungi dan memajukan kepentingan pekerja kami dan bisnis kami,” kata Blinken.

Baca Juga

Dalam pidatonya yang berlangsung selama 15 dengan bahasa Mandarin, Yang mengkritik kebijakan luar negeri dan perdagangan AS yang menekan negara lain. Dia juga mengatakan, AS telah menghasut negara-negara lain untuk menyerang China.

"Amerika Serikat menggunakan kekuatan militer dan hegemoni keuangannya untuk menjalankan yurisdiksi lengan panjang dan menekan negara lain. Itu menyalahgunakan apa yang disebut gagasan keamanan nasional untuk menghalangi pertukaran perdagangan normal, dan menghasut beberapa negara untuk menyerang China," ujar Yang.

"Izinkan saya mengatakan di sini bahwa di depan pihak China, Amerika Serikat tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan bahwa ia ingin berbicara dengan China dari posisi yang kuat," kata Yang menambahkan.

Sebelum menjabat sebagai presiden AS, Joe Biden telah diserang oleh Partai Republik yang khawatir pemerintahannya akan mengambil pendekatan yang terlalu lunak dengan China. Namun dalam beberapa pekan terakhir, para petinggi Partai Republik telah sepakat dengan pendekatan Presiden Biden yang merevitalisasi hubungan dengan sekutu AS untuk menghadapi China. Ini adalah perubahan dari strategi "America First" yang dijalankan oleh mantan Presiden Donald Trump.

Pakar Asia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional, Bonnie Glaser mengatakan, pernyataan keras dari China dan AS dalam pertemuan di Alaska telah menciptakan risiko potensial yang akan berubah menjadi pertukaran tuduhan dan tuntutan. Glaser menilai pertemuan di Alaska tidak akan memberikan hasil yang signifikan untuk menurunkan tensi kedua negara. "Tidak ada pihak yang diuntungkan dari pertemuan yang gagal total ini," ujar Glaser.

 
Berita Terpopuler