Nourdeen Menjadi Mualaf Berkat Buku tentang Islam

Nourdeen menemukan hampir semua yang dia pikir sebelumnya tentang Islam adalah salah.

EPA-EFE/SASCHA STEINBACH
Nourdeen Menjadi Mualaf Berkat Buku tentang Islam. Hamparan bunga tulip.
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Nourdeen Wildeman tidak menyangka akan menjadi mualaf pada 2007. Pria yang lahir dan besar di Belanda ini, kini aktif di bidang dakwah. Dia juga merupakan anggota dewan untuk Platform Nasional untuk Muslim Baru.

Baca Juga

Sebelum menjadi mualaf, hidup Wildeman kacau. Awal mula dia mengenal Islam saat dia berada di toko buku antara 2003 atau 2004.

Tanpa mengetahui buku apa yang hendak dia beli, dia menelusuri buku secara acak. Yang paling disukainya adalah buku tentang sejarah, filsafat, dan sosiologi. Namun, ada buku yang menarik di matanya, yakni buku hijau berjudul Islam; Nilai, Prinsip, dan Realitas.

“Saya memegangnya, melihatnya, dan menyadari saya mengenal beberapa Muslim tetapi sama sekali tidak tahu apa yang mereka yakini,” kata Wildeman.

Karena penasaran, Wildeman membeli buku itu dan mempelajari tentang Islam. Sebelum membaca buku itu, dia memiliki beberapa pandangan negatif tentang Islam.

Misal, dia bertanya-tanya bagaimana seorang Muslim taat bisa berpikir dia adalah orang yang shaleh sementara dia menindas istrinya. Dia juga bertanya-tanya mengapa Muslim menyembah bangunan di Makkah sementara patung dan bangunan tidak memiliki kekuatan dan membantu siapa pun.

 

Membaca buku tentang Islam

Wildeman terus mempelajari Islam dari berbagai sumber, banyak buku yang sudah ia baca. Setelah beberapa tahun, dia menemukan hampir semua yang dia pikir sebelumnya tentang Islam adalah salah. Bahkan, ditentang dalam Islam.

“Ternyata Nabi Muhammad SAW telah berkata seseorang dapat melihat betapa baiknya seorang mukmin dari cara dia memperlakukan istrinya. Saya menemukan Muslim tidak menyembah Ka'bah,” ujar dia.

Dia juga menemukan banyak aturan dasar yang sebelumnya dia sudah lakukan sebelum belajar tentang Islam. Sayangnya, tidak banyak dakwah yang dilakukan di lingkungan sekitar rumahnya.

 

Ramadhan pertama sebagai non-Muslim

Saat Ramadhan tiba, Wildeman memutuskan mencobanya. Buku-buku yang selama ini ia baca tidak ada yang menjelaskan bagaimana rasanya menjalani ibadah di Ramadhan.

“Saya pergi ke rekan kerja Muslim saya dan mengatakan kepada mereka saya akan berpuasa bersama mereka. Saya membeli Alquran dan menemukan jadwal 30 hari berpuasa di internet,” ucap dia.

Saat dia memberi tahu tentang membaca Alquran lengkap dan puasa di Syawal, beberapa dari mereka tidak pernah mendengar atau melakukannya. Selain itu, dia mengikuti sunnah seperti membawa susu dan kurma untuk bekerja.

“Saya memberi tahu mereka jika mereka tidak membaca bagian 1/30 harian mereka dari Alquran, saya tidak memiliki siapa pun untuk ditanyai. Jadi kami pergi bersama sebagai satu kelompok. Ibu atau istri mereka memasak makanan yang kami makan di tempat kerja, jadi saya juga mencoba makanan baru,” jelas dia.

Wildeman mengaku belajar banyak saat Ramadhan, termasuk rekan kerjanya. Usai Ramadhan, ia pergi ke masjid untuk membayar zakat.

Dia berpikir memberi uang dengan tujuan baik adalah hal benar. Jadi, tidak menjadi seorang Muslim bukanlah alasan tidak bisa membayar.

“Bendahara masjid bertanya apakah saya seorang Muslim. Saya jawab, ‘Tidak, Pak, saya bukan Muslim tetapi saya berpuasa di bulan Ramadhan. Dia mengatakan kepada saya untuk santai saja, luangkan waktu saya, dan jangan pernah terburu-buru,” tambah dia.

Berbulan-bulan berlalu, dia terus mempelajari Islam. Sampai tiba di akhir Ramadhan berikutnya, dia pergi ke masjid yang sama untuk membayar zakat.

“Saya bertemu dengan bendahara yang sama dan dia mengenali saya. Dia bertanya apakah saya seorang Muslim. Saya jawab, tidak saya bukan Muslim. Lalu dia tetap mengatakan santai saja tapi jangan terlalu santai,” ucap dia.

 

Tiba saatnya mengucapkan syahadat

Dilansir About Islam, Rabu (10/3), menjalani tahun terakhir sebagai non-Muslim, Wildeman menghabiskan waktunya berbuat baik. Dia berhenti minum alkohol dan merokok.

Di tahun terakhir ini, dia menemukan situs jejaring sosial Belanda populer, Hyves dan bertemu dengan Muslim Belanda. Orang itu bertanya kepada Wildeman apakah dia sudah menjadi Muslim. Wildeman menjawab dia belum menjadi Muslim.

“Orang itu meminta saya datang ke rumahnya dan bertemu suaminya. Dia adalah seorang Muslim sejak lahir, berlatih, dan lahir di Mesir,” kata dia.

Hubungan mereka semakin akrab dan Wildeman belajar banyak dari orang itu. Sampai suatu ketika, Wildeman sudah siap untuk melantunkan syahadat.

Satu atau dua pekan kemudian, dia pergi ke masjid didampingi saudara lelaki Mesirnya. Sebelumnya, orang itu sudah berbicara dengan imam masjid.

“Ayah saya datang dan membawa kamera. Imam itu mengucapkan syahadat, sedikit demi sedikit. Saya mengulangi, sedikit demi sedikit. Saat imam membacakan doa, saudara laki-laki Mesir saya menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda untuk saya. Saya merasa tenang dan bahagia,” kata dia. 

 

https://aboutislam.net/reading-islam/my-journey-to-islam/from-windmills-to-minarets/

 
Berita Terpopuler