Mengapa Pemerintah Belum Juga Ajukan Revisi UU ITE ke DPR?

Revisi UU ITE tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Kemenko Polhukam
Tim Kajian UU ITE meminta pendapat dari terlapor dan pelapor kasus UU ITE.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro, Ronggo Astungkoro, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga

Hampir sebulan setelah instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), hingga kini pemerintah belum juga mengajukan usulan revisi ke DPR. Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, alasan pemerintah belum mengajukan revisi UU ITE karena masih membahas dan mendengarkan pendapat publik (public hearing).

"RUU ITE lagi dibahas dan dilakukan public hearing karena terkait dengan RUU pidana (RKUHP) yang sudah dibahas mendalam. Dalam rangkaian ini karena kita sudah punya preseden," kata Yasonna dalam Rapat Kerja (Raker) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (9/3).

Yasonna menjelaskan, bahwa revisi UU ITE bisa saja menyusul untuk masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Hal itu, menurut dia, karena Prolegnas dievaluasi per semester sehingga perlu melihat perkembangan selanjutnya apabila ingin memasukkan revisi UU ITE dalam Prolegnas 2021.

"Kebijakan kita adalah prolegnas dievaluasi per semester maka lihat perkembangan selanjutnya (rencana memasukkan RUU ITE dalam Prolegnas 2021)," ujarnya.

Dalam raker tersebut, anggota Baleg DPR RI Fraksi Demokrat Santoso mengapresiasi keinginan pemerintah merevisi UU ITE dengan menyesuaikan dinamika yang terjadi agar tidak ada kesalahan implementasi dan menghambat proses demokrasi.

Ia menjelaskan bahwa, pada era presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), filosofi UU ITE adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam transaksi elektronik dan pengaturan perlindungan pendapat masyarakat di media sosial. Menurut dia, Fraksi Demokrat setuju dilakukan penyempurnaan terhadap UU ITE namun harus tetap dalam koridor implementasi Pasal 28 UUD RI Tahun 1945.

Ketua DPR RI Puan Maharani saat membuka masa sidang IV tahun sidang 2020-2021 pada rapat paripurna, Senin (8/3) menyebut ada sejumlah isu yang menjadi perhatian masyarakat dan perlu menjadi fokus pengawasan DPR. Salah satunya adalah rencana revisi UU ITE.

"Kepada seluruh pimpinan dan anggota komisi/pansus, agar bersama-sama dengan pemerintah dapat menjaga kinerja pembentukan RUU yang berkualitas, meskipun dilakukan pada masa pendemi Covid-19," kata Puan.

 

Kasus-kasus terkait UU ITE yang menarik perhatian publik - (Republika)

Sebelumnya, menindaklanjuti instruksi Presiden Jokowi, pemerintah resmi membentuk Tim Kajian Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tim itu dibentuk melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 dan akan bekerja selama dua hingga tiga bulan ke depan.

Mahfud mengatakan, pemerintah memberi waktu selama dua hingga tiga bulan kepada tim tersebut untuk mengkaji UU ITE secara mendalam. Selama menunggu tim mengkaji dan melaporkan ke pemerintah hasil dari kajian tersebut, dia meminta kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menerapkan UU ITE dengan betul-betul memastikan tidak timbul multitafsir.

"Sembari menunggu yang dua-tiga bulan itu nanti Polri, Kejaksaan Agung penerapannya itu supaya betul-betul tidak multiintepreter, tidak multitafsir, tetapi orang merasa adil semua," kata Mahfud.

Belakangan, tim pemerintah mengundang dan meminta masukan dari beberapa pihak yang pernah tersandung kasus UU ITE. Berdasarkan rapat perdana Selasa (2/3) pekan lalu, baik pihak pelapor dan terlapor kasus UU ITE menyoroti Pasal 27 dan 28.

“Pasal yang paling disorot adalah pasal 27 dan pasal 28," ujar Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo, lewat keterangan tertulisnya, Selasa (2/3).

Menurut Sugeng, dari kalangan terlapor yang hadir secara virtual, yakni di antaranya  Muhammad Arsyad, Ravio Patra, Prita Mulyasari, Yahdi Basma, dan Teddy Sukardi. Sementara dari kalangan pelapor yang akan didengarkan keterangannya adalah Alvin Lie, Nikita Mirzani, Dewi Tanjung, dan Muannas Al Aidid.

Sugeng menjelaskan, menurut pada narasumber, penormaan dan implementasi aturan tersebut perlu diperjelas. Dari hasil diskusi sesi pertama itu pula, pihaknya mendapatkan suatu gambaran, yakni kelompok pelapor maupun terlapor mempunyai masukan untu pasal-pasal di dalam UU ITE direvisi.

"Inti dari diskusi kemarin, secara khusus kami mendapatkan satu gambaran bahwa kelompok pelapor maupun terlapor, ada masukan terkait dengan revisi beberapa pasal," kata dia.

Berdasarkan rapat bersama Tim Kajian UU ITE, terungkap perbedaan pendapat dari pihak terlapor dan pelapor kasus UU ITE. Perbedaan pendapat khususnya menyoroti Pasal 27 dan 28 harus dihapus atau tidak.

"Secara pribadi saya inginnya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami, secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet," ujar salah satu terlapor, Ravio Patra, dalam siaran pers Tim Kajian UU ITE, Rabu (3/3).

Hal yang terjadi di Indonesia, kata Ravio, pelaksanaannya terlalu cepat, beringas, tidak ada moderasi, dan direspons dengan berlebihan. Menurut dia, hukum semestinya menciptakan ketertiban, bukan memunculkan kekacauan di kalangan masyarakat.

Ravio menceritakan bagaimana pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait dengan UU ITE. Saat itu, dia difitnah sebagai mata-mata asing suatu negara dan dicaci maki. Karena memiliki prinsip UU ITE merupakan bentuk pengekangan kebebasan sipil, maka dia tak melaporkan orang-orang itu.

"Kalau saya tidak punya prinsip bahwa UU ITE ini bentuk mengekang kebebasan sipil, saya bisa laporkan orang-orang yang ketika saya mengalami kriminalisasi tahun lalu misalnya, kalau saya hitung ada ratusan orang yang bisa saya UU ITE-kan," kata dia.

Karikatur opini UU ITE DiKaji - (republika)

 



Dalam kesempatan yang sama, Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang juga pernah bersinggungan dengan UU ITE, lebih menekankan kepada pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum. Ia mengatakan hal itu karena melihat banyak kasus di media sosial karena mereka tidak memahami akan UU ITE.

"Saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial. Dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di Undang-undang ITE ini," ujar Prita.

Di sisi lain, dari pihak pelapor, menginginkan sebaliknya dari apa yang Ravio sampaikan. Artis Nikita Mirzani, misalnya, tidak setuju jika UU ITE dihapuskan. Ia juga meminta agar aparat bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan UU ITE.

"UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada bar-bar netizen-nya pada ngaco soalnya," ujar Nikita usai menceritakan pengalaman dan alasannya melaporkan orang ke pihak berwajib.

Sementara Ketua Umum Cyber Indonesia, Muanas Alaidid, meminta pemerintah berhati hati dalam merevisi sejumlah pasal di UU ITE. Itu mesti dilakukan agar ke depannya tidak lagi muncul persoalan yang baru akibat revisi yang dilakukan.

Menurut Muannas, jangan sampai kemudian niat baik revisi UU ITE, dia mengambil contoh pasal 27 ayat 3 yang disebut sebagai pasal karet, dihapus dan media sosial malah menjadi ajang saling menghujat satu sama lain. Selain pasal 27 ayat 3, dia juga menyebut pasal 28 ayat 2 UU ITE.

"Bapaknya dihina, ibunya dihina, ya mungkin itu akan menjadi persoalan kalau kemudian tidak dilaporkan. Baik pasal 27 ayat 3. pasal 28 ayat 2 ITE. Jadi saya kira ini harus hati-hati dalam persoalan revisi UU ITE,“ jelas Muannas.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR pembahasan RUU ITE pada 2008 M Yasin Kara berpendapat bahwa Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik adalah pasal yang mesti dihapus dari UU ITE. Sebab, masih adanya pihak yang menggunakan pasal tersebut untuk membungkam pendapat seseorang.

"Yang terbaik dihapuskan," ujar Yasin kepada Republika, Senin (22/2).

Jika tak dihapus dan tetap berada dalam UU ITE, ia mengusulkan agar Pasal 27 ayat 3 merujuk pada undang-undang organiknya. Hal ini agar pasal tersebut tak memerangkap lawan politik yang berbeda pandangan.

"UU merujuk pada UU organiknya masing-masing. Kemudian, agar tidak dijadikan cara atau alat memerangkap lawan baik politik maupun sentimen sosial, maka ancamannya hukumannya perlu lebih rendah dari lima tahun, mungkin cukup tiga atau empat tahun," ujar Yasin.

Usulan tersebut disampaikannya, karena ia tetap melihat bahwa pasal terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA tetap memiliki manfaat. Khususnya, dalam membangun karakter masyarakat dalam berpendapat.

"Agar kesantunan berkomunikasi terutama di wilayah publik penting dijaga, mengingat spektrum sebaran informasi dengan sistem elektronik yang sangat luas," ujar Yasin.

 

Sejumlah pasal di UU ITE yang disarankan direvisi (ilustrasi) - (republika)

 
Berita Terpopuler