'Teh Manis' Pesanan Pak Lurah Bekasi Berbuah Perkara Asusila

Hingga saat ini, polisi masih kesulitan menemukan dua alat bukti.

Antara/Reno Esnir
Aksi menentang pelecehan seksual. (ilustrasi)
Rep: Uji Sukma Medianti Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Kasus pelecehan seksual di Kota Bekasi yang menimpa seorang ibu muda, ER (24 tahun), pekerja di warung minuman ringan di dekat kantor kelurahan dengan oknum lurah di kawasan Bekasi Selatan berinisial RJ, belum menemui titik terang. Kasus itu sudah dilaporkan ER ke Polres Metro Bekasi Kota sejak Jumat 11 Desember 2020. Namun, hingga saat ini, polisi masih kesulitan menemukan dua alat bukti. Di sisi lain, enam orang saksi yang merupakan kantor staf kelurahan memberi keterangan yang meringankan terduga pelaku.

Wakapolres Metro Bekasi Kota AKBP Alfian Nurrizal mengatakan, pemeriksaan kasus masih terus berlanjut. Dari total tujuh orang saksi, satu orang merupakan suami korban. 

“Kita mintai keterangan sudah ada 7 saksi, termasuk (suami) pelapor. Jadi suami. Suaminya pelapor. Dan sisa enamnya adalah staf kelurahan,” kata Alfian saat dihubungi wartawan beberapa waktu lalu.

Dalam kronologi yang dijelaskan korban pada Laporan dengan Nomor LP/2784/K/XII/2020/SPKT/ Resort Metro Bekasi Kota, kejadian itu bermula saat korban sedang mengantarkan teh manis yang dipesan oleh staf RJ ke ruangan terduga pelaku itu.

Saat masuk ke dalam ruangan terduga pelaku, RJ lalu menghampiri ER dan memegang bagian pantat korban sambil memesan teh manis.

Kemudian, korban masuk kembali ke ruangan untuk mengantar pesanan RJ. Staf RJ pun langsung keluar ruangan. Namun, ketika hendak ke luar ruangan, ER tidak dapat membuka pintu. 

Terduga pelaku lantas meminta korban untuk duduk di sebelahnya namun korban menolaknya. Korban yang berusaha keluar mendekat ke arah pintu yang dikunci.

Dari arah belakang, pelaku langsung memegang bagian bokong korban sambil mengarahkan tangan ke payudara. Korban lalu memaksa agar dibukakan pintu, RJ lantas bersedia membukakan pintu setelah memanggil stafnya yang berada di luar ruangan.

Namun begitu, Alfian mengatakan, dari hasil pemeriksaan saksi-saksi, korban dan enam staf kelurahan memberi keterangan yang berbeda.  “Dia (korban) mengatakan bahwa si korban ini keluar dengan pintu terkunci dan teriak-teriak. Sementara hasil pemeriksaan dari 6 orang itu stafnya tidak ada yang  mendengar,” kata Alfian.

Bahkan, Alfian menyebut, secara otentik keterangan dari para saksi yang merupakan staf kelurahan dapat diterima. “Persekongkolan apapun pertanyaan kita kan, kita tanya skemanya seperti, oh korban seperti ini, kita korelasikan antara jawaban saksi ABCDEF...ini seperti apa,” tutur dia.

Meski sudah memeriksa tujuh orang saksi, pihak kepolisian belum memanggil oknum lurah itu. Alfian menyebut, pihaknya tak dapat mengintervensi kasus. Sebab sukar atau tidaknya penyelesaian suatu kasus bergantung pada penyidik yang bekerja.

“Yang bisa menjawab penyidik berat atau ringannya kasus, karena kita tidak dapat mengintervensinya,” kata Alfian kepada Republika.co.id, Kamis (4/3). 

 

Awal Mula Korban Ingin Laporkan Lurah ke Polisi

Sebelum melaporkan oknum lurah pelecehan seksual itu ke polisi, sejatinya ER sudah melakukan mediasi dengan lurah dan juga seorang mediator yang ditunjuk oleh korban, yakni Yanto.

ER (24) awalnya menginginkan kasus bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Akan tetapi, terduga pelaku tidak mau minta maaf dan mengakui perbuatan mesumnya dalam proses mediasi.

“Saya hanya mendampingi, karena dia (korban) nggak mengerti apa-apa. Jadi, saya arahkan dia untuk bikin laporan karena (korban) merasa sakit hati lah dia diperlakukan seperti itu,” terang Yanto kepada wartawan.

“Pengakuan korban, dia merasa dilecehkan dia digituin, kalau emang merasa dilecehkan ya maunya dia (pelaku) minta maaf. Kalau engga terima, saya (red-korban) kesal lah. Terus mau nggak bikin laporan kata saya, besoknya (setelah kejadian) saya temui lurahnya, kalau lurahnya nyangkal baru kita bikin laporan. Ternyata lurahnya nyangkal,” ujarnya.

Setelah hampir tiga bulan laporan bergulir, kasus ini masih terkesan jalan di tempat. Baru-baru ini, tepatnya pada Kamis (4/3) kemarin, oknum lurah bersama dengan Humas Setda Kota Bekasi telah berkordinasi dengan Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kota Bekasi melakukan mediasi dengan Yanto.

Hasilnya, kata Yanto, oknum lurah itu tetap menyangkal. Di sisi lain, BKPPD juga belum mendengar keterangan dari korban. 

“Ya menyangkal itu kan biasa. Tapi, pernyataan yang dibuat BKPPD ini belum ada keterangan dari korban,” tutur dia.

Adapun, pihak Pemkot Bekasi dalam keterangan resmi menyebut RJ membantah pemberitaan miring tentang dirinya. Pihak Pemkot Bekasi juga terkesan buru-buru menyimpulkan bahwa keterangan korban sebagaimana telah diberitakan tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.

“Keterangan yang disampaikan oleh yang bersangkutan (RJ) sesuai dengan Berita Acara Permintaan Keterangan tanggal 4 Maret 2021 kepada pihak Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kota Bekasi, bahwa pemberitaan yang beredar tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya,” ujar Kabag Humas Pemkot Bekasi, Sayekti Rubiah melalui keterangan tertulis, Kamis (4/3).

Oknum lurah tersebut pun hanya mendapatkan pembinaan oleh pemkot berdasarkan Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.

 

Harus Diproses Tuntas

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, dalam kasus pelecehan seksual, sulit bagi korban untuk bicara dan menyelesaikan kasus yang ia alami. Untuk itu, polisi harus segera menuntaskan kasus ini.

“Akses keadilan yang terhambat akan memperburuk kondisi korban. Berdasarkan pengalaman kami berinteraksi dengan korban, hambatan akses keadilan akan menyebabkan korban menarik diri dan bungkam,” kata dia.

Hal itu pun terjadi pada ER yang sudah tidak lagi bekerja di warung tersebut. ER kembali ke kediaman asalnya di Bogor, Jawa Barat, pasca kejadian.

Di sisi lain korban juga memiliki kerentanan yang memberatkan posisinya sebagai perempuan dan juga sebagai korban. Mulai dari kerentanannya sebagai perempuan, kerentanan korban terhadap tempat usahanya bekerja serta kerentanan dalam konteks korban sebagai orang biasa yang berhadapan dengan pejabat publik.

“Ini tentu sangat mempengaruhi kondisi korban dalam mendapatkan keadilan. Komnas perempuan memberi apresiasi pada korban yang berani melaporkan kasus ini mengklaim keadilannya melalui jalur hukum,” kata dia.

 

Dia tentu menginginkan penyidik dapat mengembangkan alat bukti lain seperti visum fisik, psikologis juga keterangan ahli. “Polres Metro Bekasi Kota juga harus melihat bahwa ketika kita tidak memproses secara tuntas kasus kekerasan seksual, itu sama saja kita mendorong impunitas kasus kekerasan seksual lainnya,” ujarnya.

 
Berita Terpopuler