Perkuat Cengkraman, China akan Rombak Pemilu Hong Kong

China sebelumnya membungkam aktivis dengan UU Keamanan Nasional.

AP Photo/Kin Cheung
Pendukung Pro-China memegang bendera nasional China selama rapat umum untuk merayakan persetujuan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong, di Hong Kong, pada 30 Juni 2020.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah pusat China mengumumkan akan merombak sistem pemilihan di Hong Kong. Pengumuman itu disampaikan dalam Kongres Nasional Rakyat (NPC), Jumat (3/3).

Perombakan akan membuat cengkeram China terhadap Hong Kong kian kuat. China ingin memastikan hanya mereka yang dianggap 'patroit' yang berkuasa di kota itu. Hal ini menandakan Beijing sudah tidak menolerasi segala bentuk pembangkangan.

Sebelumnya China menindak keras aktivis demokrasi dan memperketat kendali di Hong Kong. Rancangan keputusan ini akan dibahas selama NPC yang berlangsung selama satu pekan. Ribuan anggota parlemen berkumpul di Beijing untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut.

Baca Juga

Selain membahas Hong Kong, parlemen juga diperkirakan akan membahas target pertumbuhan ekonomi dan kebijakan lingkungan yang diumumkan pemerintah pusat. Jumat (5/3) Wakil Ketua Dewan NPC Wang Chen mengumumkan China akan mengubah cara bagaimana dewan elektoral Hong Kong dibentuk.

Seperti dikutip dari BBC, pemerintah China juga akan memberikan wewenang baru pada komite elektoral terhadap lembaga pembentuk undang-undang Hong Kong yakni Dewan Legislatif (LegCo). Komite elektoral yang berisi pendukung Beijing dapat mencalonkan dan memilih 'sebagian besar' kandidat anggota LegCo.

Chen tidak memberikan detailnya. Namun media setempat melaporkan jumlah kursi LegCo yang saat ini berjumlah 70 akan bertambah. Anggota baru akan dipilih oleh komite elektoral. Hal ini akan mengurangi proporsi anggota LegCo yang dipilih langsung oleh warga.

Wang mengatakan perubahan ini akan memperbaiki apa yang ia sebut sebagai 'celah' dalam sistem elektoral Hong Kong. Menurutnya celah tersebut membuat aktivis demokrasi yang mengadvokasi kemerdekaan kota menjadi anggota LegCo.

Langkah ini dilakukan setelah pemerintah pusat China mengimplementasikan undang-undang keamanan nasional. Kritikus menilai Beijing menggunakan undang-undang itu untuk menekan oposisi dan menindak keras aktivis. Pekan lalu polisi mendakwa 47 aktivis pro-demokrasi dengan undang-undang tersebut.

Hong Kong yang pernah menjadi koloni Inggris bagian dari wlayah China tapi dengan kerangka 'dua sistem, satu negara'. Artinya mereka memiliki sistem hukum sendiri dan hak-hak sipil seperti kebebasan berbicara dan pers.  

Namun banyak warga dan organisasi sipil Hong Kong menilai dalam beberapa tahun terakhir China mengikis kebebasan dan otonomi kota tersebut. Hal ini memicu gelombang unjuk rasa sepanjang 2019.

Sebelum NPC banyak pejabat Hong Kong dan China yang sudah mengusulkan agar hanya para 'patriot' yang memerintah Hong Kong. Saat ini tidak ada oposisi dalam pemerintahan kota Hong Kong karena semua legislator pro-demokrasi sudah mengundurkan diri tahun lalu.

 
Berita Terpopuler