Apa Hukum Menunaikan Ibadah Haji dalam Masa Iddah?

Membahas masalah ini harus berpijak pada tujuan pokok ajaran Islam.

Amin Madani/Republika
Apa Hukum Menunaikan Ibadah Haji dalam Masa Iddah?
Red: Ani Nursalikah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Wanita yang berpisah dari suaminya, baik karena dicerai ataupun karena ditinggal mati diwajibkan menjalani masa iddah (masa menunggu) sebelum melaksanakan pernikahan (lagi) dengan lelaki lain.

Baca Juga

Masa iddah bagi wanita yang dicerai adalah 3 kali suci (3 bulan). Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci (al-Baqarah: 228).

Masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan 10 hari (al-Baqarah: 234). Tetapi, bila wanita yang ditinggal mati suaminya itu dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya menurut jumhur fuqaha adalah sampai melahirkan (ath-Thalaq: 4).

Menurut fuqaha Syafi'iyah, wanita yang sedang menjalani masa iddah tidak boleh keluar rumah. Yang demikian ini didasarkan pada firman Allah SWT (yang maknanya): Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka diperbolehkan keluar rumah, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang nyata ... (ath-Thalaq: 1).

Tetapi, jumhur fuqaha berpendapat mereka boleh keluar rumah asal aman dan memang ada keperluan yang mendesak. Hal ini didasarkan pada apa yang terjadi pada bibi Jabir bin Abdullah yang dalam masa iddah pergi ke kebun untuk memetik kurma.

 

Ternyata dalam perjalanan dia ditegur oleh seseorang agar tidak keluar rumah karena masih dalam masa iddah. Kemudian dia mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: "Pergilah ke kebunmu itu untuk memetik kurma, mudah-mudahan kamu bisa bersedekah dengannya, dan lakukanlah hal-hal yang baik bagimu" (HR Abu Dawud dan an-Nasa'i dari Jabir bin Abdullah).

Khusus bagi wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya, di samping tidak boleh keluar rumah, juga diharuskan melakukan ihdad, yaitu larangan berhias dan memakai wewangian. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah yang ditujukan pada Ummu Salamah ketika suaminya (Abu Salamah) wafat, disabdakan: "Janganlah ia memakai pakaian yang dicelup, jangan memakai pewarna wajah, dan jangan bercelak" (HR Ahmad, an-Nasa'i, dan Abu Dawud).

Nah, bagaimana halnya jika ada wanita yang dalam masa iddah itu harus menunaikan ibadah haji? Sebagaimana diketahui untuk mendapatkan porsi haji atau untuk memperoleh kesempatan menunaikan ibadah haji, seseorang harus menunggu bertahun-tahun (bahkan untuk daerah tertentu, masa tunggunya sampai 20 tahun lebih).

Kalau membatalkan keberangkatannya, maka hak porsi hajinya akan hilang, dan harus menunggu lebih lama lagi. Sedangkan kalau harus berangkat, maka tentu harus keluar rumah dan bepergian jauh berhari-hari.

KH Ahmad Zahro dalam bukunya Fiqih Kontemporer 3 mengatakan membahas masalah ini harus berpijak pada maqashid asy syari'ah (tujuan pokok ajaran Islam), yakni al-mashlahah (kemaslahatan) yang merupakan salah satu kata kunci fiqih muamalah (interaksi sosial). Dalam perspektif al-mashlahah, diberlakukannya iddah dan/atau ihdad bagi wanita yang berpisah dari suaminya itu bukan semata-mata soal tidak keluar rumahnya, atau soal berhiasnya saja, tapi terutama dalam rangka menjaga keamanan dan keselamatannya.

 

Hal itu juga demi mengangkat harkat dan martabat wanita itu sendiri, mengingat wanita itu lebih perasa dalam menyikapi apa pun dalam kehidupan ini. Betapa tidak pantasnya jika seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya lalu keluar rumah dengan berhias dan berharum ria, maka kesan negatif justru akan dilekatkan kepadanya oleh masyarakat.

Berpijak dari pemahaman al-mashlahah di atas, maka hukum berangkat menunaikan ibadah haji bagi wanita yang berada dalam masa iddah dibedakan sebagai berikut:

Bagi wanita yang dalam masa iddah karena cerai tidak diperkenankan pergi haji tanpa izin suaminya, karena selama menjalani masa iddah wanita tersebut berada dalam tanggung jawab dan wewenang suaminya. Hal ini di samping didasarkan pada firman Allah dalam surah ath-Thalaq ayat 1 di atas, juga didasarkan pada makna firman Allah: Dan para suami mereka lebih berhak merujuk mereka dalam masa iddah itu apabila para suami tersebut meng hendaki ishlah (al-Baqarah: 228). Kalaupun suami mengizinkan, tapi tetap harus ada mahram atau pendamping yang menjamin keamanan dan keselamatannya.

Sedang bagi wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya diperbolehkan berangkat menunaikan ibadah haji, asal ada mahram atau pendamping yang menjamin keamanan dan keselamatannya. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i di atas bahwa Rasulullah mengizinkan bibinya Jabir bin Abdullah untuk pergi ke kebun memetik kurma guna memenuhi kebutuhan asasi sehari-hari.

Menunaikan ibadah haji zaman sekarang bukan hanya terkait kemampuan seseorang untuk melunasi biayanya, tetapi lebih tergantung pada adanya porsi haji yang masa tunggunya amat lama itu. Dalam perspektif ushul fiqih, urgensi memanfaatkan porsi guna menunaikan ibadah haji ini dapat diqiyaskan dengan urgensi pergi ke kebun guna memetik kurma, bahkan termasuk kategori qiyas aulawi (analogi prioritas), mengingat untuk mendapatkan porsi haji jauh lebih sulit daripada mendapatkan kurma.

 

Apalagi dalam perspektif psikologis, wanita yang baru ditinggal mati suaminya tentu amat berduka. Dengan menunaikan ibadah haji tersebut, diharapkan akan mendapat pelipur lara ketika berada di tanah suci menunaikan prosesi ritual haji, bahkan dapat secara intensif berdoa untuk diri dan almarhum suaminya. Ini tentu merupakan solusi spiritual yang luar biasa efek positifnya. Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler