Turki: Stabilitas Myanmar Memburuk Pasca-Kudeta

Turki menyerukan agar aksi kekerasan segera dihentikan.

REUTERS/STRINGER
Petugas polisi anti huru hara maju ke depan pengunjuk rasa pro-demokrasi selama unjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 27 Februari 2021.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki mengecam penggunaan kekuatan tak proporsional oleh militer Myanmar terhadap massa pengunjuk rasa penentang kudeta. Ankara menyerukan agar aksi kekerasan segera dihentikan.

Baca Juga

"Kami mengamati dengan keprihatinan mendalam bahwa stabilitas di Myanmar memburuk setelah kudeta pada 1 Februari 2021," kata Kementerian Luar Negeri Turki dalam siaran pers pada Ahad (28/1), dikutip laman Anadolu Agency.

Turki meminta demokrasi di Myanmar segera dipulihkan. "Kami menyerukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk pemulihan demokrasi tanpa penundaan guna menjaga perdamaian dan stabilitas di negara tersebut serta segera hentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai," katanya.

PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS) juga turut mengecam aksi kekerasan aparat keamanan Myanmar terhadap demonstran penentang kudeta. Mereka mendesak militer yang kini mengontrol jalannya pemerintahan menghormati tuntutan rakyat.

"Penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa damai dan penangkapan sewenang-wenang tidak dapat diterima," kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/1).

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell secara khusus menyoroti aksi penembakan yang menelan nyawa warga sipil. "Dalam penembakan terhadap warga yang tidak bersenjata, pasukan keamanan telah secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional, dan harus dimintai pertanggungjawaban," ujarnya.

 

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken turut mengutuk tindakan represif aparat keamanan Myanmar. Dia menyatakan AS bakal terus mendorong permintaan pertanggungjawaban terhadap mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan di Myanmar. “Kami berdiri teguh dengan rakyat yang berani di Burma dan mendorong semua negara berbicara dengan satu suara untuk mendukung keinginan mereka,” ujarnya lewat akun Twitter pribadinya.

Aksi unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar masih berlangsung. Pada Ahad lalu, massa terlibat bentrok dengan aparat keamanan di berbagai titik di Yangon dan beberapa kota lainnya. Mengenakan helm proyek, kacamata, dan tameng darurat, para demonstran berhadap-hadapan dengan personel polisi serta militer.

Penggunaan granat setrum, gas air mata, serta tembakan ke udara tak membuat massa gentar dan membubarkan diri. Pada titik itu penembakan langsung ke arah demonstran dilakukan. Menurut Kantor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 lainnya mengalami luka-luka. Jumlah korban meninggal sejak demonstrasi digelar empat pekan lalu adalah 21 jiwa.

 
Berita Terpopuler