Mahfud Bentuk Tim Kajian, Revisi UU ITE Dinilai Bisa Kandas

Pemerintah hari ini membentuk tim mengkaji pasal karet dan perlukah UU ITE direvisi.

Republika/Prayogi
Menko Polhukam Mahfud MD.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Nawir Arsyad Akbar

Menindaklajuti instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah resmi membentuk Tim Kajian Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tim itu dibentuk melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 dan akan bekerja selama dua hingga tiga bulan ke depan.

"Tim (ini) untuk membahas substansi apa betul ada pasal karet. Di DPR sendiri ada yang setuju ada yang tidak," ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (22/2).

Mahfud menjelaskan, pembentukan tim tersebut merupakan bentuk terbukanya ruang diskusi oleh pemerintah yang mengandung sistem demokrasi. Menurut Mahfud, dari diskusi yang dilakukan oleh tim itu nantinya pemerintah akan mengambil sikap resmi terhadap UU ITE.

"Kalau keputusannya harus revisi, kita akan sampaikan ke DPR. Karena UU ITE ini ada di Prolegnas tahun 2024 sehingga bisa dilakukan (revisi)," jelas dia.

Mahfud mengatakan, pemerintah memberi waktu selama dua hingga tiga bulan kepada tim tersebut untuk mengkaji UU ITE secara mendalam. Selama menunggu tim mengkaji dan melaporkan ke pemerintah hasil dari kajian tersebut, dia meminta kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menerapkan UU ITE dengan betul-betul memastikan tidak timbul multitafsir.

"Sembari menunggu yang dua-tiga bulan itu nanti Polri, Kejaksaan Agung penerapannya itu supaya betul-betul tidak multiintepreter, tidak multitafsir, tetapi orang merasa adil semua," jelas Mahfud.

Menurut Mahfud, pembentukan Tim Kajian UU ITE itu merupakan salah satu arahan dari Presiden Jokowi dalam menyikapi polemik UU ITE. Selain membentuk tim, presiden juga meminta Kapolri untuk membuat kriteria-kriteria implementatif yang dapat berlaku sama bagi aparat penegak hukum jika persoalan UU ITE hanya ada pada penerapannya.

"Kapolri sudah mem-follow up itu dengan antara lain sudah membuat pengumuman,kalau pelanggaran-pelanggaran itu sifatnya delik aduan, seperti fitnah dan pencemaran nama baik, yang melapor bukan orang lain tetapi yang bersangkutan. Tidak sembarang orang melapor," kata dia.

Baca Juga

 

 



Ada dua tim yang dibentuk Mahfud. Tim pertama akan membuat interpretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria dari pasal-pasal yang dianggap karet. Tim tersebut akan dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Tim selanjutnya yakni merencanakan revisi UU ITE. Ia menambahkan, pemerintah akan secara terbuka untuk membahas rencana revisi UU ITE tersebut kepada para pakar dan ahli.

Tim Kajian UU ITE terdiri dari pengarah dan tim pelaksana. Tim pelaksana dalam melakukan tugasnya dapat dibantu akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media.

"Dalam pelaksanaan tugasnya tim pelaksana dapat dibantu oleh akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media sebagai narasumber untuk mendapatkan berbagai masukan," bunyi poin keempat bagian penetapan di Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021, dikutip Senin (22/2).

Tim ini memiliki lima pengarah, yakni Menko Polhukam, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri. Untuk tim pelaksana terdiri dari ketua, sekretaris dan dua sub tim.

Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Henri Subiakto, ditunjuk sebagai ketua sub tim I tim tersebut. Untuk posisi ketua tim pelaksana kajian UU ITE diisi oleh Deputi Bidang Koordinasi HUkum dan HAM Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo. Posisi sekretaris diisi oleh Stafsus Menko Polhukam Bidang Sosial Budaya, Imam Marsudi.

Kemudian untuk ketua sub tim I diisi oleh Staf Ahli Bidang Hukum Kemenkominfo, Henri Subiakto. Bersama dengan Henri ada Brigjen Pol Yan Fitri Halimansyah, Kepala Biro Sundokinfokum Divisi Hukum Polri, sebagai sekretaris sub tim I.

Anggota sub tim I diisi oleh perwakilan dari Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Kemenkumham, Kemenko Polhukam, dan Kejaksaan Republik Indonesia (RI).

Sementara untuk ketua sub tim II diisi oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Ekatjahjana. Untuk sekretaris sub tim II diisi oleh Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI, Baringin Sianturi. Anggota tim ini merupakan sejumlah perwakilan dari kementerian lembaga seperti sub tim I.

"Dalam pelaksanaan tugasnya tim pelaksana dapat dibantu oleh akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media sebagai narasumber untuk mendapatkan berbagai masukan," bunyi poin keempat bagian penetapan di Keputusan Menko Polhukam Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021, dikutip Senin (22/2).

Pada poin ketiga di bagian penetapan tersebut terdapat tugas-tugas apa saja yang dimiliki oleh Tim Kajian UU ITE tersebut. Untuk tim pelaksana, terdapat dua sub tim yang memiliki tugas berbeda. Sub tim I atau disebut Tim Perumus Kriteria Penerapan UU ITE bertugas untuk merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang kerap dianggap multitafsir.

Sementara untuk sub tim II alias Tim Telaah Substansi UU ITE bertugas untuk melakukan telaah atas beberapa pasal dalam UU ITE. Pasal-pasal yang ditelaah itu merupakan pasal yang sering dianggap multitafsir. Dari tim ini nantinya akan ditentukan perlu atau tidaknya UU ITE direvisi.

"(Tim Kajian UU ITE) bertugas mulai dar itanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Koordinator ini sampai dengan tanggal 22 Mei 2021," bunyi poin kelima pada bagian penetapan Keputusan Menteri Koordinator yang ditandatangani pada 22 Februari itu.

Sejumlah pasal di UU ITE yang disarankan direvisi (ilustrasi) - (republika)

Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Rifqi Rachman, melihat adanya kemungkinan pemerintah tidak akan merevisi UU ITE. Hal tersebut ia lihat dari pembentukan Tim Kajian UU ITE yang terbagi lagi menjadi dua sub tim.

"Keberadaan dua sub tim ini memperjelas arah yang diambil pemerintah, yaitu mendahulukan perbaikan pada penerapan pasal-pasal bermasalah di UU ITE sebelum mengajukan revisi," ujar Rifqi lewat pesan singkat, Senin (22/2).

Menurut dia, itu menunjukkan adanya kemungkinan UU ITE tidak akan diajukan oleh pemerintah ke DPR untuk direvisi. Padahal, dorongan untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 itu sudah lama disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat.

"Dorongan tersebut telah lama disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat yang seringkali telah dilengkapi oleh data korban pasal-pasal karet regulasi ini,” kata Rifqi.

Atas dasar itu dia mengatakan, ruang aspirasi yang disediakan oleh pemerintah dalam mengkaji pasal-pasal bermasalah UU ITE lewat tim itu harus dijalankan secara penuh. Akademisi, tenaga ahli, korban dan pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media harus diajak berpartisipasi dan didengar dalam membahas persoalan UU ITE.

“Jangan sampai keikutsertaan berbagai elemen masyarakat ini hanya menjadi penanda keterbukaan pemerintah, padahal keputusan akhir yang diambil justru mengesampingkan masukan-masukan yang ada,” kata dia.

Selain itu, Rifqi menjelaskan, hal yang tidak kalah penting untuk diterapkan adalah keterbukaan akses informasi pada setiap kegiatan Tim Kajian UU ITE. Jika rencana kerja Tim Kajian UU ITE selama tiga bulan ke depan disediakan, maka pengawasan secara berkelanjutan dari masyarakat dapat dilakukan.

"Ketersediaan akses ini sangat krusial, demi menjaga transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban Tim Kajian UU ITE kepada publik," terang dia.



Diwawancarai secara terpisah, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR pembahasan RUU ITE pada 2008, M Yasin Kara, menyatakan, bahwa Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebaiknya dihapus dari UU ITE. Mengingat, masih adanya pihak yang menggunakan pasal tersebut untuk membungkam pendapat seseorang.

"Yang terbaik dihapuskan," ujar Yasin kepada Republika, Senin (22/2).

Ia menceritakan, pembahasan RUU ITE dimulai pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pansus saat itu membahasnya bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh dan diselesaikan pada era Sofyan Djalil.

Jika tak dihapus dan tetap berada dalam UU ITE, ia mengusulkan agar Pasal 27 ayat 3 merujuk pada undang-undang organiknya. Agar kemudian pasal tersebut tak memerangkap lawan politik yang berbeda pandangan.

"Maka UU merujuk pada UU organiknya masing-masing. Kemudian, agar tidak dijadikan cara atau alat memerangkap lawan baik politik maupun sentimen sosial, maka ancamannya hukumannya perlu lebih rendah dari lima tahun, mungkin cukup tiga atau empat tahun," ujar Yasin.

Usulan tersebut disampaikannya, karena ia tetap melihat bahwa pasal terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA tetap memiliki manfaat. Khususnya dalam membangun karakter masyarakat dalam berpendapat.

"Agar kesantunan berkomunikasi terutama di wilayah publik penting dijaga, mengingat spektrum sebaran informasi dengan sistem elektronik yang sangat luas," ujar Yasin.

Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pada akhirnya, pihaknya dan pemerintah saat itu tetap menyepakati masuknya pasal tersebut. Namun ia menegaskan, UU ITE bukanlah undang-undang organik terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA.

Namun, fokus dalam memberikan payung hukum terhadap transaksi elektronik. Mengingat penipuan terkait transaksi elektronik saat itu belum memiliki regulasi yang memadai, di tengah perkembangannya yang semakin pesat.

"Sehingga penerapan UU ITE atas kasus-kasus tersebut adalah setelah pokok perkara terbukti, di mana landasannya adalah UU Pidana dan UU yang spesifik mengatur tentang pencemaran nama baik, pornografi, dan Sara," ujar Yasin.

Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

 
Berita Terpopuler