Cerita Kehidupan di Balik Protes Petani India

Petani India menuntut reformasi pertanian.

ap
Petani India menentang UU pertanian baru yang membuka jalan eksploitasi perusahaan.
Rep: Fergi Nadira Red: Dwi Murdaningsih

IHRAM.CO.ID, NEW DELHI -  Protes petani India menyisakan banyak cerita. Di jalan raya utama menuju ibu kota India, para petani mencuci pakaian menggunakan mesin cuci yang terpasang di bawah tenda-tenda darurat.

Tiga bulan lalu, jalan itu merupakan jalan tol enam jalur yang sibuk bagi para pengendara dan truk besar yang membawa pasokan ke New Delhi. Kini, lalu lintas di sana telah digantikan oleh tenda-tenda petani serta serba-serbi kebutuhan para penghuni kamp, yang tak lain adalah para petani yang protes.

Toko persediaan makanan dan kebutuhan lain, toko baju, perpustakaan, hingga klinik terbentang di sepanjang hampir dua kilometer. Kamp yang tersusun rapi, ramai dan penuh warna telah menjadi rumah bagi ribuan petani selama beberapa bulan.

Baca Juga

CNN meliput, kamp di Ghazipur di perbatasan antara Delhi dan negara bagian tetangga Uttar Pradesh adalah satu dari tiga pemukiman sementara yang utama di pinggiran ibu kota. Hampir semua orang di sini berasal dari negara tetangga, Uttar Pradesh. Ada juga petani dari negara bagian termasuk Haryana dan Punjab.

Menurut pemimpin kamp, sekitar 10 ribu orang ada di Ghazipur. Jumlah ini berfluktuasi dari hari ke hari karena petani membagi waktu antara rumah mereka sendiri dan kamp. Banyak dari mereka yang tetap berada di kamp untuk waktu lama karena memiliki anggota keluarga yang menggantikan untuk mengurus pertanian mereka di desa.

Para petani yang teguh terhadap aksi protes juga menghadapi tantangan di kamp, diantaranya suhu musim dingin, bentrokan dengan polisi dan pasukan keamanan, dan pembatasan akses internet. Meskipun demikian, para petani kekeh mengatakan tidak berencana untuk pergi sampai pemerintah membatalkan undang-undang kontroversial yang menurut petani merugikan mereka.

Di Ghazipur, perkumpulan kamp pengunjuk rasa serasa seperti di rumah sendiri. Semua kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Ada toilet portable, meskipun baunya membuat tidak nyaman untuk terlalu dekat.

Ada juga toko persediaan yang memiliki peti plastik berisi kantong, tisu, dan sampo. Barang-barang kebutuhan ini semua yang ada di kamp, disumbangkan oleh petani atau pendukung perjuangan petani.

Air dibawa dari stasiun sipil terdekat. Seorang petani, Jagjeet Singh (26 tahun) dari Bijnor, Uttar Pradesh, menggunakan traktornya untuk membawa kembali 4.000 liter (1.057 galon) tangki air setiap hari. Dia membawa sekitar 10 sampai 12 tangki seperti itu sehari yang dapat digunakan untuk minum, mandi, dan bersih-bersih.

Para petani juga tidak kekurangan kebutuhan makanan. Mereka memasak di atas api gas kecil dalam panci besi. CNN juga meliput ada seorang petani memasak dan membagikan masakannya ke para petani yang berbalut syal, jaket dan topi untuk melawan musim dingin di Delhi.

Ada juga pusat medis darurat di sekitaran kamp. Seorang relawan berusia 20 tahun, Himanshi Rana juga telah berada di kamp selama lebih dari dua bulan. Dia membantu mengobati penyakit masyarakat petani, dan merawat petani yang terkena gas air mata selama demonstrasi kekerasan pada 26 Januari atau tepat Hari Republik India.

Pada hari itu, ribuan pengunjuk rasa menyerbu Benteng Merah New Delhi yang bersejarah saat polisi menggunakan gas air mata dan pentungan untuk melawan para pengunjuk rasa. Seorang pengunjuk rasa meninggal, meskipun pengunjuk rasa dan polisi tidak setuju atas penyebab kematian.

"Ayah saya adalah seorang petani, saya adalah putri seorang petani. Keberadaan saya di sini tidak bisa dihindari," katanya.

Satu hal yang tidak diminta oleh para pengunjuk rasa adalah masker. Meskipun India melaporkan kasus virus korona paling banyak di negara manapun di dunia selain Amerika Serikat, tidak ada petani di Ghazipur yang mengenakan masker. Menurut Rana, para petani di Ghazipur tidak khawatir tentang virus corona. Mereka meyakini bahwa mereka memiliki kekebalan kuat dari kerja fisik yang berarti mereka tidak takut tertular virus.

Para petani di kamp terkadang duduk di atas traktor yang mereka bawa, memainkan lagu pro petani dari pengeras suara mereka. Ada juga perpustakaan untuk anak muda yang memuat buku-buku tentang revolusi dalam berbagai bahasa.

Sesekali sekelompok orang di kamp menyanyi "Kami akan berada di sini sampai pemerintah menyerah!". Seperti yang dikatakan kolektor air Jagjeet Singh: "Saya tidak merasa seperti jauh dari rumah."

Meskipun suasana di dalam kamp tenang dan rileks, selalu ada pengingat bahwa tidak semua orang mendukung perjuangan petani. Barikade besar yang didirikan oleh polisi dan ditutup dengan kawat berduri berdiri beberapa ratus meter dari keriuhan kehidupan kamp. Itumenahan para petani di dalam dan menjaga mereka agar tidak mengganggu lebih dekat ke pusat Delhi.

Pada November 2020, para petani yang marah dengan reformasi pertanian mengendarai traktor untuk memprotes. Mereka berasal dari seluruh India untuk membuat banyak blokade di perbatasan kota.

Aksi protes puluhan ribu petani India masih berlanjut hingga kini. Para petani tetap memblokade jalan dan mendirikan kemah meski musim dingin dan penjagaan ketat aparat keamanan di beberapa kota India terus dijaga.

Para petani India tegas mempertahankan blokade sampai Perdana Menteri Narendra Modi menarik kebijakan reformasi pertanian. Protes memang cukup umum di India, negara demokrasi terbesar di dunia. Dan ini bukan pertama kalinya protes besar mengguncang negara.

Namun, protes petani ini menjadi tantangan tersendiri bagi Modi. Pertanian adalah sumber mata pencaharian utama bagi 58 persen dari 1,3 miliar penduduk India. Ini menjadikan petani sebagai blok pemilih terbesar di negara tersebut.

Para petani yang marah, bisa menjadi bumerang bagi Modi sebagai sebagian besar suara pada pemilihan umum berikutnya pada tahun 2024. Modi dan pemerintahnya terus bersikeras bahwa mereka mendukung petani dan menyebut UU baru ini malah penting bagi transformasi menyeluruh di sektor pertanian.

 
Berita Terpopuler