Sinyal Pemerintah Dukung Hukuman Mati Bagi Edhy dan Juliari

Wamenkumham menyebut ada dua alasan pemberat Edhy dan Juliari layak dituntut mati.

Republika/Putra M. Akbar
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/12). Wamenkuman Eddy Hiariej menyatakan dua mantan menteri yang kini menjadi tersangka korupsi di KPK layak dituntut hukuman mati. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro, Dian Fath Risalah, Haura Hafizhah

Pemerintah lewat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang biasa disapa Eddy Hiariej memberikan sinyal dukungan terhadap penerapan hukuman maksimal terhadap pelaku korupsi pada masa darurat. Eddy menilai, dua mantan menteri yang tersandung kasus pidana korupsi di tengah masa pandemi Covid-19 yakni mantan Menteri Kelautandan Perikanan, Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara layak dituntut hukuman mati.

Baca Juga

"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Eddy dalam acara Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi" yang berlangsung secara virtual, dipantau di Yogyakarta, Selasa (16/2).

Menurut Eddy, ada dua alasan pemberat yang membuat kedua mantan menteri tersangka tindak pidana korupsi itu layak dituntut pidana mati. Pertama, mereka melakukan tindak pidana korupsi saat dalam keadaan darurat, yakni darurat Covid-19 dan kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan.

"Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam dengan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," kata Eddy Hiariej.

Diketahui, Edhy Prabowo saat ini telah berstatus tersangka setelah dicokok KPK saat tiba di Tanah Air usai melakukan kunjungan dari Hawai, pada 25 Desember 2020. KPK menetapkan Edhy sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada 2020.

Berikutnya, Juliari P Batubara saat menjabat Menteri Sosial tersangkut kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19. Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) atas pejabat Kementerian Sosial dan swasta, KPK pada 6 Desember 2020 dini hari menetapkan Juliari sebagai tersangka korupsi bansos Covid-19.

Tak lama setelah penetapan status tersangka, Juliari mendatangi Gedung KPK dan menyerahkan diri. Penetapan Juliari sebagai tersangka oleh KPK hanya berselang sembilan hari dari penetapan Edhy Prabowo, mantan Menteri KP sebagai tersangka oleh KPK.

Ketua KPK Komjen Polisi Firli Bahuri pernah menyatakan, Menteri Sosial Juliari Batubara bisa diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Ahad (6/12) dini hari.

"Tentu nanti kami akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 ini, saya kira memang kami masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana yang merugikan keuangan negara sebagai mana yang dimaksud Pasal 2 itu. Dan malam ini yang kami lakukan tangkap tangan adalah berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara, jadi itu dulu," tambah Firli.

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 berbunyi,

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

 

Penjelasan Pasal 2 Ayat (2): "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

 

 

Korupsi Bansos Menjerat Mensos - (Infografis Republika.co.id)

Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menanggapi pernyataan Wamenkumham Edward Omar Sharief Hiariej yang menyebut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pantas dituntut mati. Dasco mengimbau Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) fokus pembenahan di internal Kemenkumham.

"Kami apresiasi memberikan pendapat untuk perkara-perkara eksternal, tapi kami juga mengimbau kepada wamenkumham untuk juga melakukan pencegahan-pencegahan di internal di Kementerian Kumham," kata Dasco kepada Republika, Rabu (17/2).

Dasco menyebut, sejumlah direktorat jenderal di internal Kemenkumham perlu dilakukan pembenahan dan pencegahan kasus serupa. Di antaranya di di Direktorat Jenderal AHU, Direktorat Jenderal Paten dan Merek, Direktorat Jenderal Imigrasi.

"Terutama lapas yang saat ini juga banyak kekurangan," ujarnya.

Adapun, politikus PDIP Aria Bima merespons singkat pernyataan Wamenkumham.

"Soal hukum, serahkan saja ke penegak hukum," kata Aria kepada Republika, Rabu (17/2).

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, hukuman mati untuk para koruptor yang melakukan korupsi hanya alat politik. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menutupi kerja yang tidak maksimal dan kegagalan pada sistem.

Erasmus menilai pada dasarnya, hukuman mati bukan solusi tepat. Sebab, sampai saat ini belum ada penurunan kasus korupsi di Indonesia.

"Jadi, saya lihat ada saja kemungkinannya para koruptor dihukum mati. Tapi perlu diingat rekam jejak di Indonesia memperlakukan hukuman mati hanya sebagai alat politik dan kampanye popularitas," tutur Erasmus saat dihubungi Republika, Ahad (6/12).

Ia menambahkan, 10 negara terbaik dalam penanganan kasus korupsi tidak menerapkan hukuman mati. Kemudian, ia melanjutkan tuntutan pidana mati pada pelaku korupsi disandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang membuka peluang penjatuhan hukuman mati dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan pada keadaan tertentu.

Efek jera yang dimiliki jenis pidana ini, dipercaya dapat membantu mengurangi angka korupsi. Namun, pada kenyataannya belum ada angka penurunan korupsi di Indonesia.

Erasmus menuturkan, dalam penelitian yang dilakukan Jiangnan Zhu pada 2012, ditunjukkan kalau hukuman mati yang dijatuhkan terhadap koruptor di China hanyalah menurunkan frekuensi investigasi korupsi dibandingkan dengan frekuensi korupsi yang terjadi.

Terlepas dari ancaman pidana korupsi di China yang sangat berat, level korupsi tidak terlihat menunjukkan penurunan yang signifikan. Walaupun korupsi yang berada di ukuran kecil (petty corruption) mungkin menunjukkan penurunan, namun kasus-kasus yang melibatkan pemain yang 'besar', pejabat dengan kekuasaan maupun sekelompok pejabat justru semakin banyak ditemukan.

"Bahkan di China, dimana hukuman pidana mati jelas tidak hanya tertulis saja, tidak adanya penurunan secara signifikan angka korupsi kelas kakap yang merugikan negara," kata dia.

Ia menambahkan tanpa adanya hukuman pidana mati pada koruptor, sebuah negara masih bisa mencapai cita-cita antikorupsinya dengan maksimal seperti di Denmark, New Zealand, Finlandia dan Singapura.

"Solusi yang tepat itu ya dari sekarang pemerintah harus memperbaiki sistemnya, perkuat pengawasan dan kejar keberadaan uang yang telah dikorupsinya itu. Mana saja yang terlibat hingga akarnya. Lalu, ungkap ke masyarakat. Hukuman mati bukan jawaban dan memang tidak pernah," tegas dia.

Daftar Belanja Edhy Prabowo di AS - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler