Pengunjuk Rasa Myanmar Blokir Layanan Kereta Api

Demonstran memenuhi jalur kereta api di Yangon, Myanmar

EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran berkumpul di jalan di mana tentara dan kendaraan lapis baja dikerahkan selama protes di luar Bank Sentral Myanmar (CBM) di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021. Junta militer Myanmar pada 15 Februari menghentikan layanan internet dan mengerahkan pasukan serta kendaraan lapis baja di seluruh negara dalam tanda-tanda meningkatnya kekuatan untuk menekan protes massa terhadap kudeta militer dan gerakan pembangkangan sipil yang tumbuh yang telah melumpuhkan layanan pemerintah.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para pengunjuk rasa yang menentang kudeta militer Myanmar memblokir layanan kereta api di Yangon. Mereka berbondong-bondong memenuhi jalur kereta api di tengah terik matahari sambil mengangkat spanduk untuk mendukung gerakan pembangkangan. 

Baca Juga

Aksi protes tersebut menghentikan layanan kereta api antara Yangon dan kota selatan Mawlamyine. Para demonstran meneriakkan yel-yel yang menuntut junta militer membebaskan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan tokoh politik berpengaruh lainnya yang ditahan. 

"Lepaskan pemimpin kami segera" dan "Kembalikan kekuatan rakyat" teriak para demonstran.

Massa juga berkumpul di dua tempat di kota utama Yangon, yakni di dekat kampus universitas utama dan bank sentral. Pengunjuk rasa berharap dapat menekan staf kedua lembaga tersebut untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil. 

Jumlah demonstran pada aksi protes pekan ini lebih kecil ketimbang aksi protes sebelumnya. Namun penentangan terhadap junta militer tetap meluas hingga ke seluruh Myanmar. Utusan Khusus PBB Christine Schraner Burgener berbicara dengan wakil kepala junta pada Senin (15/2). Dalam pembicaraan itu, Burgener mendesak agar junta militer memulihkan komunikasi dan menghormati demonstrasi.

"Burgener telah menegaskan, hak berkumpul secara damai harus sepenuhnya dihormati dan bahwa para demonstran tidak dikenakan pembalasan," kata juru bicara PBB Farhan Haq.

 

Kerusuhan di Myanmar menghidupkan kembali ingatan tentang pecahnya pertentangan berdarah terhadap hampir setengah abad pemerintahan militer yang berakhir pada 2011. Pada Senin (15/2), militer mengatakan bahwa aksi protes dan gerakan pembangkangan sipil telah merusak stabilitas dan membuat orang ketakutan. Sebuah kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mencatat ada 426 penangkapan yang dilakukan oleh militer selama kudeta. 

Kudeta militer terjadi di Myanmar pada 1 Februari yang menggulingkan pemerintahan sipil. Militer menangkap Suu Kyi dan sejumlah tokoh politik berpengaruh lainnya. Selain itu, militer sempat mematikan layanan internet untuk membungkam kritik para aktivis dan masyarakat di media sosial. Kudeta militer tersebut menuai kecaman dan aksi protes besar-besaran di Myanmar.

Militer membenarkan pengambilalihan tersebut dengan mengatakan pemilu 8 November, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi adalah penipuan dan ada kecurangan. Komisi Pemilihan Umum Myanmar menolak tuduhan tersebut.

Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar. Washington akan mengidentifikasi target putarang pertama pada pekan ini dan mengambil langkah untuk mencegah para jenderal Myanmar memiliki akses ke dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS senilai 1 miliar dolar AS. 

Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan AS "siap untuk mengambil tindakan tambahan jika militer Myanmar tidak mengubah arah". Min Aung Hlaing dan jenderal top lainnya sudah berada di bawah sanksi AS atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya.

 
Berita Terpopuler