Sanksi untuk Penolak Vaksin dan Kesepakatan yang Dilanggar

DPR menilai pemerintah melanggar kesepakatan untuk tidak menyanksi penolak vaksin.

ANTARA/Maulana Surya
Warga mengusung poster bertajuk Peduli Literasi Anti Hoax Vaksinasi saat aksi di Jalan Gajah Mada, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/2/2021). Aksi tersebut digelar untuk memperingati Hari Pers Nasional sekaligus mengajak masyarakat agar bijak bersosial media dan tidak mudah menyebar berita hoax.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Sapto Andika Candra, Febrianto Adi Saputro, Dian Fath Risalah

Pemerintah membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk menetapkan sanksi administratif bagi masyarakat yang menolak divaksin Covid-19. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan salah satu cara pemerintah mengantisipasi munculnya gerakan antivaksin di kemudian hari.

Baca Juga

"Iya, bisa juga demikian (antisipasi antivaksin)," ujar Nadia saat dikonfirmasi, Senin (15/2).

Namun di luar hal tersebut, Nadia menyampaikan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2021 tentang Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 yang diteken Presiden Jokowi pada 9 Februari lalu, memberi ruang bagi pemerintah daerah dan lembaga untuk bertindak sesuai dengan UU nomor 4 tahun 1984 tentang wabah.

Selain itu, pengenaan sanksi dibuat untuk memastikan seluruh 181,5 juta penduduk Indonesia menjalani vaksinasi. Angka peserta vaksinasi Covid-19 ini perlu dicapai sebagai syarat mutlak terbentuknya kekebalan koelompok atau herd immunity terhadap penularan Covid-19.

"Penerapan sanksi dilakukan di level pelaksana, dalam hal ini pemerintah daerah melalui perda (peraturan daerah)," ujar Nadia.

Sementara itu Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, penegakan hukum bagi masyarakat penolak vaksin sebenarnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak. Maksudnya, jika ada kejadian yang membuat pendekatan persuasif tak bisa diandalkan lagi seperti masifnya gerakan anti-vaksin di sebuah daerah.

"Jika pendekatan persuasif tak bisa diandalkan berpotensi memperlambat kesuksesan pencapaian herd immunity. Di masa pandemi ini, segala sesuatu berjalan dinamis sehingga setiap momennya berharga demi keselamatan bersama," ujar Wiku.

Ia juga berharap agar masyarakat dengan sendirinya muncul kesadaran untuk mendapat vaksin Covid-19 tanpa perlu ada paksaan. Namun dari sisi pemerintah, Wiku menilai, memang perlu ada upaya persuasif sekaligus promosi yang masif agar program vaksinasi Covid-19 diikuti seluruh masyarakat yang memenuhi kriteria.

"Sanksi administratif ini otoritas setiap daerah. Namun kami berharap, tanpa adanya sanksi pun masyarakat mampu secara sukarela ikut vaksinasi sebagai partisipasi membentuk herd immunity," ujar Wiku.

Seperti diketahui, poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A Perpres nomor 14 tahun 2021. Dalam ayat 4 disebutkan, sanksi bisa diberikan berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, serta penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintaha. Opsi saksi ketiga, diberikan dalam bentuk denda.

Lantas pada ayat 5 juga dijelaskan bahwa pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Kendati begitu, baik Kemkes dan Satgas Penanganan Covid-19 menggarisbawahi bahwa penerapan sanksi lebih lanjut akan diatur lewat perda.

Tak hanya itu, dijelaskan pula melalui Pasal 13B bahwa setiap warga yang memenuhi kriteria namun tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan Covid-19, bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang (UU) tentang wabah penyakit menular.

Proses Registrasi dan Verifikasi Penerima Vaksin Covid-19 - (Republika)

Menurut Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene, pemerintah telah melanggar kesepakatan dengan DPR terkait pemberian sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksin Covid-19. Dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Pemerintah 14 Januari 2021 lalu, disepakati bahwa tidak diutamakan sanksi bagi masyarakat yang tidak melaksanakan vaksinasi.

Politikus Partai NasDem itu mengatakan, bahwa kesepakatan tersebut tercantum dalam laporan singkat Rapat Kerja antara Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, BPJS Kesehatan, pada poin 1 ayat g.

"Tidak mengedepankan ketentuan dan/atau peraturan denda dan/atau pidana untuk menerima vaksin Covid 19," bunyi poin 1 ayat g tersebut.

"Perpres tersebut menurut kesimpulan rapat ini, sudah bertentangan. Intinya adalah, pemerintah sudah melanggar kesepakatannya dengan Komisi IX DPR. Pemerintah sudah melanggar, karena kesepakatan itu mengikat kedua pihak, pemerintah dan DPR. Apa gunanya kita rapat kalau itu tidak ada legitimatenya," ujar Felly dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/2).

Felly menambahkan, selain bertentangan dengan kesepakatan Raker Komisi IX dengan pemerintah tertanggal 14 Januari 2021, Perpres 14/2021 tersebut juga melanggar Peraturan Tata Tertib DPR RI No 1 Tahun 2020 Pasal 61. Pasal 61 Tatib DPR berbunyi: Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh pemerintah.

Selain itu, menurutnya segala bentuk penerapan denda atau hukuman juga bertentangan dengan anjuran WHO. Felly mengungkapkan WHO sangat mengedepankan sosialisasi kepada masyarakat melalui iklan sosial masyarakat, sosialisasi langsung dari tenaga kesehatan (nakes) kepada masyarakat, juga berbagai bentuk sosialisasi lainnya agar pesan positif sampai di masyarakat. Sehingga, persepsi buruk terkait vaksin Covid-19 bisa tertangani dengan sosialisasi tersebut.

"Tetapi yang dilakukan pemerintah sebaliknya. Kalau kita ancam bisa saja malah masyarakat semakin antipati," tuturnya.

Komisi IX DPR meminta pemerintah melakukan kampanye manfaat vaksin kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat diharapkan memahami apa kerugian jika tidak divaksin.

"Ancaman sanksi ini tidak pas. Bagi kami, ini melanggar hak-hak juga. Tidak boleh seperti ini," tegasnya.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga mengatakan, setiap orang memiliki hak menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya berlaku dalam kondisi umum. Namun, dalam kondisi wabah penyakit menular ada ketentuan khusus yang berlaku.

"Pasal 5 UU 36/2009 dibaca pada konteks pelayanan kesehatan primer bagi penyakit yang tidak menular. Maka UU 4/84 berlaku khusus (lex specialist) karena konteksnya menular, " jelas Sandra kepada Republika, Senin (15/2).

"Monggo, Silakan dipikirkan soal ancaman tak mau vaksin dipenjara 1 tahun, " tambah Sandra.

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dijelaskan: "Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta.

Sementara dalam  Pasal 5 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu; "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang di perlukan bagi dirinya"

"Artinya kebijakan pemerintah dapat merujuk pada UU 4/84 tersebut," ujar Sandra.

Hal tersebut, lanjut Sandra, dijalankan dengan asumsi bahwa pemberian vaksin tersebut diyakini dapat menjadi cara efektif untuk penanggulangan wabah. "Nah, soal efektivitas merupakan ranah IDI dan komunitas ahli kesehatan lainnya, " ucapnya.

In Picture: Rencana Vaksinasi Covid-19 Bagi Pedagang Pasar Tanah Abang

Pedagang merapikan barang dagangannya di Skybridge Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (15/2). Sebanyak 55.000 pedagang Tanah Abang akan menjalani vaksin Covid-19 yang merupakan pilot project dari program vaksinasi tahap kedua dari pemerintah pada Rabu (17/2). Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

 
Berita Terpopuler