Wabah Pencabut Nyawa di Romawi dan Andalusia

Romawi dan Andalusia pernah diserang wabah penyakit mematikan seperti Covid-19.

EPA/CDC
Virus corona dalam tampilan mikroskopik. (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dedy Setyo Afrianto, M.Pd*

Marcus Aurelius, kaisar Romawi itu melihat dari kejauhan ketika jenderalnya dengan penuh keberhasilan mengalahkan kaum barbar di medan perang Germania. Namun bukannya senang, malah bertanya kepada Maximus, jenderalnya, tentang perlu tidaknya peperangan tadi dilakukan:

“Saat orang merasa bahwa akhir hidupnya sudah dekat, ia mulai bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki tujuan. Apakah aku akan dikenang sebagai filsuf, prajurit, atau tiran?”

Kaisar Marcus ini dikenal sebagai seorang bijak yang melihat dari sudut pandang lain dari sebuah peperangan. Pertanyaan ini bagai sebuah penyesalan, karena pada saat terakhir Beliau mengharapkan adanya perdamaian dengan cara mengirim utusan untuk bernegosiasi, ternyata semuanya gagal membuahkan hasil, sehingga Maximus yang akhirnya diminta menemukan cara yang terbaik bagi bangsa Romawi.

Adegan ini terjadi pada penggalan film yang dirilis pada tahun 2000, berjudul “Gladiator” besutan Ridley Scott. Namun nama-nama di atas merupakan orang-orang yang benar adanya pada catatan sejarahnya. Gladiator merupakan film dengan torehan prestasi mengagumkan, di mana pada ajang Academy Award, berhasil meraih 5 piala dan 7 nominasi.

Marcus Aurelius Antoninus sendiri merupakan seorang kaisar Romawi yang berkuasa pada tahun 161 sampai dengan 180. Beliau juga dikenal sebagai seorang filsuf Stoa yang terkenal zaman dahulu.

Pada rentang 14 tahun kepemimpinannya itulah, dia juga menghadapi wabah penyakit yang bahkan terburuk di Eropa, karena mengakibatkan kematian sampai dengan 5 juta orang di sana. Wabah ini dinamakan Antoninus, seperti dinisbahkan pada nama terakhirnya. Hal ini tercatat juga pada artikel The Guardian berjudul “Stoicism in a time of pandemic: how Marcus Aurelius can help”.

Saking mengerikannya wabah Antoninus ini, Levasseur melukisnya dengan judul “The angel of death striking a door during the plague of Rome”, yang bermakna bahwa malaikat maut mendobrak dari pintu ke pintu warga saat wabah itu terjadi, sementara para korban berjatuhan dengan banyak mayat terkapar di sekitar pintu.

Black Death

Wabah lain yang tak kalah mematikan, yang terjadi pada pertengahan hingga akhir abad ke 14 adalah Black Death yang pernah melanda Eropa. Wabah ini membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi manusia di Eropa.

Medium penularan dengan berbagai varian, mulai dari kontak fisik, udara dan sistem darah, membuat wabah ini menjadi semakin susah untuk dibendung. Semakin banyaknya mobilitas manusia pada satu tempat ke tempat yang lain, maka akan membuat penularannya menjadi lebih ekskalatif.

Setelah dari Eropa, wabah Black Death ini menyebar hingga ke sebagian Afrika dan Asia, sehingga tercatat pada akhir abad 14, diperkirakan wabah ini membunuh hingga 200 juta manusia.Pada tragedi-tragedi besar di dunia tersebut, kita berusaha mengambil pelajaran agar dengannya hikmah bisa kita raup lebih banyak. Lalu apa yang perlu dilakukan?

Pertama, dikotomi kontrol. Ini adalah istilah yang sering digunakan kaum Stoic, pengikut filsuf Stoa, bagaimana memaknai bahwa yang terjadi pada alam semesta, pada dasarnya tidak semua dalam rentang kendali kita. Peristiwa yang terjadi di sekitar kita, yang membedakan di antara kita sesungguhnya adalah “respon” kita dalam menghadapi peristiwa tersebut. Hujan, macetnya jalan raya, gunung meletus, dan berbagai macam peristiwa yang terjadi di alam raya, tergantung dari kacamata kita melihatnya.

Keadaan itu tidak akan berubah, tetapi cara pandang kita dalam melihatnya bisa berubah.  Ada cukup banyak dari pemikiran kita yang sebetulnya terserah kita.

Karena itu, bukan peristiwanya yang membuat kita kesal, melainkan opini kita tentangnya. Tepatnya, penilaian kita bahwa sesuatu yang amat buruk, mengerikan, atau bahkan musibah, menjadi penyebab penderitaan kita.

Ternyata ada irisan yang sejalan terkait “dikotomi kontrol” ini dengan “lingkaran pengaruh” menurut Stephen Covey dalam buku “The Seven Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif)". Pada dasarnya, jika kita hanya fokus pada lingkaran yang bisa kita intervensi dan pengaruhi, selain akan lebih efektif hidup kita, juga akan mengurangi fokus perhatian dan energi kita pada hal diluar “semesta” kita.

Kedua upaya yang terus kontinu. Spanyol (dinamakan Andalusia masa itu) juga ikut terimbas Black Death. Para ilmuwan setempat lebih lanjut meneliti apa penyebab dan bagaimana metode penanganannya.

Di antara mereka adalah Ahmad bin Ali bin Khatimah.  Ilmuwan dari Almeria itu menduga buruknya kualitas udara sebagai pemicu persebaran wabah. Ilmuwan lainnya, Ibnu al-Khatib menjelaskan hipotesis tentang transmisi atau penularan penyakit.

Temuan al-Khatib menjadi referensi ahli biologi Prancis, Louis Pasteur, ratusan tahun kemudian. Mengenai antisipasi wabah, yakni kebanyakan orang-orang yang telah mengadakan kontak dengan penderita, akan memiliki potensi sakit lebih tinggi dan akhinya meninggal dunia. Sementara orang yang tidak begitu banyak berinteraksi dengan penderita akan tetap sehat.

Penyebaran penyakit itu dapat muncul dari suatu rumah di suatu kota, kemudian ia menyebar dari orang ke orang tetangga, saudara, atau tamu rumah itu. Di masa kita saat inilah, dalam menghadapi covid-19, kita memiliki istilah yakni social distancing dan physical distancing yang memiliki makna sama dengan kondisi saat itu.

Potret PSBB Jawa Bali pada Januari 2021 lalu dengan perpanjangan waktu berikutnya pun akan tetap kurang efektif, jika pada kenyataannya kita belum mampu mengendalikan mobilitas warga (dengan segala alasannya). Tentunya kita berhadap ke depan agar program-program serupa ini lebih efektif, sehingga menurunkan grafik wabah Covid-19 yang belum terlihat ujungnya ini.

Dari mana kita mulai? Dari diri sendiri, lingkaran kita sendiri. Semoga kita tetap mampu belajar banyak dari tragedi masa lalu, sehingga menjadi bekalan kita untuk menjadi lebih baik di masa pandemi ini.

TENTANG PENULIS: Dedy Setyo Afrianto, M.Pd, Saat ini diberikan amanah sebagai Direktur Pendidikan Nurul Fikri Boarding School Bogor. Berpengalaman menjadi Konsultan e-learning di salah satu Pusdiklat Kementrian ESDM, Instruktur Nasional TIK Kemendikbud RI, Ketua MGMP TIK SMA Kabupaten Serang-Banten, narasumber pelatihan-pelatihan IT dan desain pembelajaran tingkat propinsi maupun nasional serta menjadi developer IT system di beberapa sekolah serta mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan tulis menulis. Bisa dihubungi melalui e-mail : masdymail@gmail.com

 
Berita Terpopuler