Viral sebagai Logika Media, Refleksi Hari Pers

Viral sebagai Logika Media

google.com
Karikatur anti PKI di media massa pada tahun 1953.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktoral FISIP UI dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

Viral menjadi kecenderungan logika media abad 21. Penetrasi digital yang terus berkembang mengarahkan media “dipaksa” tunduk pada ketenaran. Viralitas mengancam eksistensi kebenaran. Semua orang berbondong-bondong menjadi produsen informasi. Surat kabar, radio, televisi yang dahulu menjadi media arus utama, kini perlahan semakin terdesak oleh media sosial. Fenomena ini yang disebut dengan desentralisasi informasi, setiap orang turut menentukan agenda media.  

Peringatan Hari Pers Nasional menjadi momen penting merenungkan masa depan media di Indonesia. Sejarah pers adalah sejarah nilai, sejarah gagasan, sejarah perjuangan. Refleksi ini penting seiring dengan penggalan tema yang diusung bahwa “Pers sebagai Akselerator Perubahan”. Di tengah arus disrupsi, pers dituntut untuk terus menjaga amanah reformasi. Tidak ada panggilan tertinggi, selain bekerja dengan fakta dan berbicara dengan data. Dilemanya, pers berada di tengah pergumulan keras, di satu sisi menghadapi hibridisasi global, di sisi lain bersinggungan dengan kelindan kekuasaan. Di sinilah masa depan pers dipertaruhkan.   

Viral dan Pseudo-Kebenaran

Logika viral khas milik media digital. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pasar, pertimbangan viral juga menarik media-media konvensional. Persoalannya, dunia pers sudah dikenal dengan sejarah panjang  pelestarian peradaban. Platform ini menjadi pilar keempat demokrasi. Tak khayal jika tuntutan terhadap pers begitu tinggi.

Pers diharapkan tidak terjebak untuk sekedar mengejar rating dan viralitas parsial. Selayaknya pers memosisikan diri sebagai intermediary institutions (lembaga perantara atau penghubung) narasi kebenaran.

Viralitas bertumpu pada nalar jaringan. Eksploitasi konten atau informasi membangkitkan wacana publik untuk terlibat dalam sentimen emosi daripada pertimbangan-pertimbangan rasional. Bahkan layaknya virus yang begitu cepat menyebar, pendekatan viral mengancam logika media yang mengarusutamakan kerja-kerja etis dan profesional. 

Konten-konten viral yang mengabaikan kode etik bahkan menggunakan konten hoaks merupakan ancaman bagi bagi demokratisasi informasi. Memang di era kebebasan semua orang berhak berekspresi, namun viralitas mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Jargon “yang viral, yang benar” merupakan bentuk pseudo-kebenaran.

Suburnya praktik buzzer, industri propaganda digital menunjukkan bahwa rezim informasi berpihak pada penguasa like, share and comment. Bencananya pengguna yang tidak bertanggung jawab tetapi mampu menentukan opini publik. Di sinilah viralitas akan menjadi rezim kebenaran semu hanya karena jumlah pengikutnya besar. 

 

Pers dan Medium Nilai

Hari Pers adalah harinya wartawan. Independensi, integritas, profesionalisme, non-diskriminasi dan komitmen untuk berpegang teguh pada nurani adalah nilai-nilai luhur yang patut dijunjung.

Nilai-nilai itulah yang membingkai informasi menjadi berita. Setiap data diverifikasi, diproses dan diinvestigasi sampai lahir karya-karya jurnalistik yang mencerahkan dan mencerdaskan. Di era seperti ini sangat surplus informasi, tetapi defisit inspirasi.

Pers idealnya dapat membangun semangat literasi dengan mendorong terciptanya ruang publik. Upaya memfasilitasi pertukaran gagasan dan membuka wacana-wacana produktif.

Menyikapi perkembangan media kontemporer, insan pers dapat beradaptasi dan memainkan peran sentral dalam agenda-agenda perubahan. Pers tidak perlu melawan arus media sosial, tetapi justru membawa arus baru yang mewarnai diskursus publik.

Seperti ungkapan Thomas Jefferson, bahwa “Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia, sebagai makhluk rasional, moral dan sosial”.

Seperti halnya dalam The Post, dikisahkan bagaimana idealisme seorang wartawan diuji. Pilihan cukup dilematis, antara menjaga komitmen nilai atau tunduk pada kepentingan.

Seorang jurnalis perempuan Katherine Graham menunjukkan keberanian yang luar biasa. Di tengah ancaman dan teror yang menghantui profesinya, ia yang juga pemimpin redaksi berani membongkar dokumen rahasia Amerika Serikat dalam kasus perang Vietnam. Pilihannya yang sangat berisiko tak menyurutkan untuk tetap berpihak pada kebenaran.

Baginya bekerja menjadi wartawan bukan hanya menggugurkan tanggung jawab keprofesian, melainkan beyond call of journalism but to humanity. 

 

Tiga Cara Membangun Viralitas Media yang Organik

Viral menjadi logika baru industri media. Baik media mainstream maupun media sosial mempunyai dorongan untuk populer. Pers jika berkolaborasi secara hibrida dalam arus media digital selayaknya mengarahkan pada viralitas yang organik. Artinya, viralitas yang tidak dibuat-buat, tetapi mempunyai orientasi nilai yang konstruktif. 

Pertama, mengoptimalkan kekuatan konten dan narasi. Pers terbiasa dengan produk-produk jurnalistik yang mempunyai standar etik. Hal tersebut dapat dikembangkan untuk memastikan kualitas outputnya baik. Kekuatan konten dan narasi penting, sehingga jika viral memang karena karyanya yang layak diapresiasi. 

Kedua, membangun kredibilitas dan sentimen positif (pengaruh). Eksistensi media dapat dipertahankan dengan kredibilitas sumber yang mendukung. Selain itu, sentimen positif dapat membangun kedekatan yang lebih interaktif. Dalam konteks ini, viral bukan hasil otoritas sepihak, melainkan sesuatu yang dialektis. 

Ketiga, membangun logika media hibrida. Logika hibrida yang dimaksud adalah mengintegrasikan media tradisional atau media lama dengan media baru (Chadwick, 2017).

Melaui logika hibrida, viralitas menjadi pertautan atau simbiosis yang mempertemukan kekuatan masing-masing potensi media. Dalam konteks ini, media lama dan media baru tidak saling mengalienasi, tetapi saling mengokohkan eksistensi.

 
Berita Terpopuler