Pembatalan Kontrak Bombardier Langkah Tepat Bagi Garuda

Bombardier memiliki kelemahan dari sisi kapasitas kargo yang sangat terbatas.

www.bombardier.com
Bombardier CRJ1000 NextGen
Rep: Muhammad Nursyamsi Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Penerbangan Arista Atmadjati mengatakan pemberhentian kontrak Bombardier CRJ 1000 hal yang tepat. Arista menilai Bombardier CRJ 1000 merupakan warisan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar yang dalam temuan KPK terindikasi korupsi.

Baca Juga

Arista menyampaikan, terdapat dua jenis pesawat dengan kapasitas di bawah 100 kursi pada 2009 yakni Bombardier CRJ 1000 dan Embraer dari Brasil. Saat itu, kata Arista, banyak pihak yang menjagokan Embraer untuk dipilih Garuda lantaran memiliki harga dan kualitas lebih baik serta lebih banyak digunakan di Asia. 

"Pada saat akhir yang kepiliih Bombardier, di balik cerita kenapa Bombardier kepilih saya tidak tahu juga, rumor-rumor tidak sedap yang muncul dari dulu," ujar Arista kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (10/2).

Arista menilai pembatalan kontrak memang terkandung dalam klausul kontrak sewa atau beli pesawat. Garuda, kata Arista, akan mendapat denda penalti akibat pembatalan kontrak. Arista meyakini manajemen Garuda telah melakukan kajian matang terkait pembatalan kontrak tersebut.

"Mungkin kinerja Bombardier tidak sesuai harapan manajemen yang sekarang dan mending diputus kontrak daripada pesawat tidak optimal," ucap Arista.

Arista menilai Bombardier memiliki kelemahan dari sisi kapasitas kargo yang sangat terbatas. Menurut Arista, Bombardier CRJ 1000 lebih cocok sebagai pesawat carter. Keterbatasan kapasitas kargo dalam Bombardier, kata Arista, sangat menghambat upaya Garuda yang tengah fokus dalam sektor kargo di tengah pandemi.

 

"Bisnis logistik lagi booming, jadi pesawatnya harus concern cari pendapatan di kargo. Dua tahun ke depan sepertinya tren masih begitu. Kargo jadi andalan maskapai, pasar angkutan penumpang tidak bisa drastis pulih, perlu waktu dua tahun," ungkap Arista.

Pengamat penerbangan yang juga sebagai Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra Arifin mengatakan pembatalan kontrak dengan Bombardier CRJ 1000 merupakan langkah yang tepat sebagai solusi jangka pendek dan jangka panjang.

"Jangka pendek yang saya maksud adalah untuk mengurangi beban biaya di masa krisis pandemi dan juga menimbang utilisasi pesawat CRJ yang semakin menurun," ucap Ziva.

Sedangkan untuk jangka panjang, kata Ziva, keputusan ini bisa membuka peluang atau momentum baru untuk Garuda Indonesia memulihkan bisnisnya saat krisis sudah berlalu dan juga menentukan strategi baru untuk bukan hanya bertahan dan menutup kerugian, namun juga kembali mengembangkan sayap, khususnya dalam membuka rute-rute baru, baik domestik maupun internasional. 

Belajar dari pengalaman sebelumnya, Ziva menilai Garuda bisa lebih cermat dalam mengkaji model bisnis yang lebih optimal. Ziva menyebut era maskapai dengan armada yang terlalu beranekaragam sudah berlalu yang mana maskapai besar telah mengambil pelajaran dari segmen LCC yang dalam dua dekade semakin membesar penguasaan pangsa pasarnya. 

"Pekerjaan rumah Garuda masih banyak karena kerugian bertubi-tubi yang dialami selama lima tahun terakhir, namun diharapkan dengan pengurangan beban biaya melalui pemutusan kontrak CRJ bisa menjadi awal dari langkah optimalisasi tersebut," kata Ziva menambahkan.

 

 
Berita Terpopuler