Pacu Ekspor, Mendag Optimalkan Perjanjian Dagang Global

Neraca perdagangan Indonesia pada 2020 surplus sebesar 21,7 miliar dolar AS.

Republika/Prayogi
Mendag Muhammad Lutfi. (Republika/Prayogi).
Rep: Iit Septyaningsih Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya meningkatkan ekspor nonmigas guna mendorong pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satu caranya yakni mengoptimalkan perjanjian perdagangan nasional.  

Baca Juga

"Untuk mencapai target pertumbuhan ekspor nonmigas, kita harus membuka pasar Indonesia. Lalu berkolaborasi dengan berbagai negara melalui perjanjian dagang yang sudah ada. Itu sekaligus sebagai upaya meningkatkan nilai tambah masing-masing produk yang diekspor," ujar Lutfi dalam keterangan resmi, Selasa (9/2).

Ia menyebutkan, sejumlah perjanjian perdagangan internasional dapat dimanfaatkan untuk mendorong ekspor lebih banyak produk. Perjanjian tersebut meliputi Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IKCEPA), Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IP-PTA), Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), dan sebagainya. 

Sementara, kata dia, neraca perdagangan Indonesia pada 2020 mencatatkan surplus sebesar 21,7 miliar dolar AS. Angka itu tertinggi sejak 2017.

Hanya saja Lutfi menilai, angka surplus tersebut perlu diwaspadai. Hal itu karena, surplus disebabkan penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspornya. 

Sepanjang 2020, ekspor turun sebesar 2,6 persen year on year (yoy). Sedangkan impor turun hingga 17,3 persen yoy. 

Mendag mengungkapkan, ada tiga negara yang menjadi sumber surplus neraca perdagangan terbesar Indonesia. Pertama Amerika Serikat yang surplus sebesar 11,13 miliar dolar AS, kedua yakni India sebesar 6,47 miliar dolar AS, serta ketiga Filipna sebesar 5,26 miliar dolar AS.

 

Ia menyebutkan, terdapat lima produk ekspor dengan pertumbuhan positif tertinggi pada 2020/2019 secara year on year (yoy). Meliputi besi baja tumbuh sebesar 46,84 persen, perhiasan 24,21 persen, minyak sawit mentah (CPO) 17,5 persen, furnitur 11,64 persen, serta alas kaki tumbuh sebesar 8,97 persen. 

Lutfi menambahkan, pada 2020, komoditas besi baja menempati urutan ketiga di ekspor nonmigas Indonesia. Kontribusinya sebesar 7 persen atau senilai 10,85 miliar dolar AS. 

Indonesia, kata dia, merupakan negara penghasil komoditas besi dan baja terbesar kedua di dunia setelah China. Bahkan 70 persen lebih besi baja Indonesia diekspor ke China. 

Komoditas perusahaan juga menjadi andalan Indonesia. Produk perhiasan pada 2020 menempati urutan kelima pada ekspor nonmigas Indonesia, kontribusinya sebesar 5,3 persen dengan nilai 8,2 miliar dolar AS. Hampir 80 persen produk perhiasan diekspor ke Singapura, Swiss, dan Jepang. 

Kemudian demi memastikan ekspor terus berjalan, pemerintah akan terus mengawal dan memastikan pengamanan perdagangan beragam produk Indonesia di luar negeri melalui diplomasi perdagangan. "Selama pandemi Covid-19, tercatat ada 37 kasus pengamanan perdagangan dari 14 negara, terdiri dari 24 kasus antidumping dan 13 kasus safeguard," tutur Lutfi. 

Ia menegaskan, pemerintah juga berkomitmen menjalani proses baku penyelesaian sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sengketan itu terkait bahan mentah Indonesia dan hambatan perdagangan produk biodiesel berbahan baku minyak sawit oleh Uni Eropa.

 
Berita Terpopuler