Penurunan Bunga Bukan Faktor Utama yang Dorong Kredit

Pertumbuhan kredit juga dipengaruhi oleh konsumsi, daya beli, dan NPL.

istimewa
Ilustrasi aktivitas bank. Pengamat menilai penurunan suku bunga bukan menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan kredit.
Rep: Novita Intan Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menginginkan industri perbankan secepatnya merespon rendahnya suku bunga acuan BI 7day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dengan menurunkan suku bunga kredit. Hal ini untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat dampak Pandemi Covid-19. 

Baca Juga

Menurut Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata saat ini perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya meskipun memerlukan waktu. Sebab urutannya ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun maka pertama suku bunga deposito yang turun disusul suku bunga pinjaman.

"Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang ekstraordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (8/2).

Anton menyebut penurunan suku bunga kredit bukan faktor utama untuk mendorong pertumbuhan kredit. Sebab pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit tercermin non performing loan (NPL), dan penjualan eceran.

Jika menggunakan model ekonometrika, secara umum terbukti bahwa pertumbuhan kredit dipengaruhi secara signifikan oleh variabel konsumsi rumah tangga (consumption), daya beli masyarakat (Real M2), suku bunga (interest rate), NPL, dan penjualan eceran (retail sales). Dan variabel yang paling sensitif (elastisitas paling tinggi) merupakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.

"Jika konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat tidak kuat maka tidak kuat mendorong penyaluran kredit meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga dan perbankan sudah menurunkan bunga," katanya.

Sementara ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menambahkan rigiditas atau kekakuan suku bunga kredit merupakan fenomena moneter. Tak turunnya suku bunga kredit ketika suku bunga acuan sudah turun bukan disebabkan oleh kurang transparannya bank dalam proses penetapan suku bunga kredit bukan juga disebabkan oleh kurang efisiennya pengelolaan bank.

 

“Bank Indonesia seharusnya sudah sejak dulu menganalisis penyebab tidak berjalannya transmisi moneter jalur suku bunga. Ketimbang sibuk mengurusi kebijakan lembaga lain, Bank Indonesia sebaiknya fokus mencari apa yang salah pada operasi moneter, segera merapikan pekarangan sendiri jangan justru sibuk mengurusi halaman orang lain,” ucapnya.

Dari sisi lain nasabah pemilik dana besar punya bargaining yang besar terhadap bank dan mampu menetapkan suku bunga. “Jadi untuk menghilangkan rigiditas suku bunga kredit, Bank Indonesia menurut Saya perlu melakukan evaluasi terhadap operasi moneternya," ucapnya.

Sepanjang tahun lalu, BI7DRR telah turun hingga 125 bps dari lima persen menjadi 3,75 persen, namun perbankan kurang greget dalam meresponnya. Per Desember 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Modal Kerja tercatat turun 88 basis poin (bps) menjadi 8,88 persen, SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen, SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen.

 

Kemudian SBDK ritel 8,88 persen (turun 84,2 bps), korporasi 8,75 persen (turun 79,9 bps), kredit pemilikan rumah (KPR) 8,36 persen (turun 73,1 bps), non-KPR 8,69 persen (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33 persen (turun 49 bps).

 
Berita Terpopuler