Menlu AS dan Saudi Bahas Perang Yaman

Pada Menlu Saudi, Menlu AS mengutarakan keinginan untuk mengakhiri perang di Yaman.

EPA-EFE/Yahya Arhab
Reruntuhan sisa perang di Kota Sanaa Yaman.
Rep: Kamran Dikarma Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken melakukan percakapan via telepon dengan Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud. Mereka membahas beberapa isu, mulai dari keamanan regional, hak asasi manusia (HAM), dan perang di Yaman.

"Menteri (Blinken) menguraikan beberapa prioritas utama dari pemerintahan baru, termasuk mengangkat masalah HAM dan mengakhiri perang di Yaman," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (6/2).

Blinken dan Pangeran Faisal juga membahas tentang kontra-terorisme serta kerja sama untuk mencegah serangan terhadap Saudi. Dalam pembicaraan itu, Pangeran Faisal mengucapkan selamat kepada Blinken atas pengangkatannya sebagai menlu AS pekan lalu. Dia menyebut Saudi berharap dapat terus bekerja sama dengan Washington dalam menghadapi tantangan bersama dan menjaga stabilitas regional.

Itu merupakan percakapan pertama Blinken dengan Pangeran Faisal. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mengutarakan keinginannya untuk mencabut kelompok pemberontak Houthi Yaman dari daftar teroris. Hal itu sebagai respons atas krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung di sana.

Pemerintahan Biden pun bakal menyetop dukungan AS untuk kampanye militer yang didukung Saudi di Yaman. Sebagai gantinya, Biden akan memperkuat jalur diplomasi guna mengakhiri perang dengan menunjuk utusan khusus untuk Yaman. Washington berharap Saudi memperbaiki catatan HAM-nya.

Sejak Maret 2015, Saudi telah melakukan intervensi militer di Yaman. Mereka berupaya menumpas Houthi dan mengembalikan pemerintahan Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi yang diakui secara internasional ke tampuk kekuasaan. Saudi memandang Houthi sebagai ancaman karena didukung Iran.

Sejak saat itu, Saudi gencar melancarkan serangan udara ke Yaman. Peperangan telah menyebabkan banyak sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya hancur. Konflik memicu jutaan warga kelaparan. Akses ke fasilitas atau layanan kesehatan semakin sulit.

Pada Desember tahun lalu Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan dalam enam tahun terakhir, konflik Yaman telah menyebabkan 233 ribu orang tewas. OCHA menilai jumlah korban sangat disayangkan dan tidak dapat diterima.

Dalam laporannya OCHA mengatakan jumlah korban merupakan akumulasi, yakni mereka yang tewas langsung dalam konflik atau karena alasan yang terkait dengannya. OCHA menilai Yaman telah mencapai titik kritis dan ada kebutuhan mendesak untuk gencatan senjata segera.

PBB telah menyatakan krisis di Yaman sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Hingga kini belum ada tanda-tanda konflik Yaman bakal berakhir.

 
Berita Terpopuler