Belajar Jadi Pemimpin Profetik dari Nabi Sulaiman

Pemimpin negeri yang adil makmur dan kuat memiliki modal dan karakter positif.

Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia

Salah satu penentu kemajuan dan kejayaan bangsa adalah pemimpin. Karena pemimpin berperan sangat strategis dalam menggerakkan, mengarahkan, memotivasi, menginspirasi, dan memandu perjalanan suatu bangsa menuju masa depannya. Bangsa yang maju pada umumnya dipimpin oleh pemimpin visioner yang cerdas, memiliki kompetensi moral, kepemimpinan, komunikasi dan manajerial yang efektif, memahami psikologi dan aspirasi rakyat yang dipimpinannya.

Sebaliknya, pemimpin yang tidak cakap, tidak kompeten, dan tidak kredibel dipastikan akan merugikan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mungkin tidak merasa perlu menjadi “pelayan masyarakatnya” (Sayyid al-qaumi khadimuhum). Apabila pemimpin tidak berpihak kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya, tetapi lebih memihak kepentingan asing atau pihak lain, masa depannya akan terancam menjadi negara gagal (daulah fasyilah). Karena itu, komitmen kebangsaan (nasionalisme) dan keberpihakan terhadap rakyat yang dipimpinnya tidak dapat ditawar atau digadaikan.

Kisah para Nabi dan Rasul yang dihadirkan Alquran sejatinya merupakan manifestasi “laboratorium kepemimpinan” yang patut dijadikan sebagai sumber pembelajaran politik dan kepemimpinan. Berbagai model kepemimpinan, mulai dari Nabi Adam AS, Nuh AS, Ibrahim, Musa AS, Sulaiman AS, dan puncaknya pada figur Nabi Muhammad SAW penting dijadikan sebagai bahan kajian dan refleksi untuk merancang kepemimpinan umat dan bangsa di masa depan, berbasis kepemimpinan profetik.

Dapat ditegaskan para Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT kepada kaum dan umatnya merupakan pemimpin pilihan Tuhan yang patut diteladani. Mereka menghadirkan pola kepemimpinan profetik yang sarat dengan pelajaran yang dapat dipetik (lessons learned).

Kepemimpinan profetik mereka tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam konteks kehidupan sosial politik masa kini. Di antara kepemimpin profetik yang menarik dikaji dan dijadikan pelajaran kepemimpinan bangsa masa kini adalah kepemimpin profetik Nabi Sulaiman AS.   

Allah SWT memberikan kepada Nabi Sulaiman AS lima keutamaan sekaligus; nubuwah (kenabian), al-mulk (kerajaan, kekuasaan), kekayaan yang melimpah ruah, multikecerdasan dan keilmuan, dan kebijaksanaan (al-hikmah, wisdom). Keutamaan dan kelebihan ini tidak membuatnya sombong dan arogan, tapi tetap rendah hati, low profil, taat, dan bersyukur kepada-Nya. Dan sungguh, Kami telah memberikan ilmu kepada Dawud dan Sulaiman; dan keduanya berkata, "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.“ (QS an-Naml [27]: 15). Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia berkata, "Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.“ (QS an-Naml [27]: 16).

Para pemimpin di masa lalu–dan sebagian juga masa kini—cenderung gagal memimpin rakyatnya karena bersikap arogan, sewenang-wenang, destruktif, zalim, menindas rakyatnya, dan berpihak kepada kepentingan asing, akibat gagal memaknai nasionalisme dan ideologi negara. Dia (ratu Balqis) berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian yang akan mereka perbuat.” (QS  an-Naml [27]: 34)

Kecerdasan dan kearifan pemimpin negeri Saba’ tersebut diakui dalam Alquran. “Sesungguhnya bagi kaum Saba' terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." (QS Saba’ [34]: 15).

Selain memiliki singgasana besar (‘arsyun ‘azhim), negeri Ratu Balqis, pemimpin negeri Saba’, juga sukses mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik, adil, makmur, dan sejahtera serta mendapat ampunan dari Allah). Cita-cita mulia ini hanya dapat direalisasikan jika kejujuran, kedisiplinan, kecerdasan, kearifan, keterbukaan, dan sikap demokratis dimiliki seorang pemimpin karena sifat-sifat mulia itu merupakan kunci kepemimpinan sukses dalam mengantarkan pencapaian tujuan dan cita-cita sebuah bangsa.

Sebaik apa pun sebuah sistem, tidak banyak gunanya tanpa kehadiran figur pemimpin ideal dengan kepemimpinan efektif dan merakyat, tidak arogan dan merasa paling benar sendiri. Sebaliknya, dalam kisah-kisah Alquran, pemimpin yang diindikasikan banyak melakukan kecurangan, kekerasan, kerakusan, dan kezaliman, semuanya berakhir dengan kondisi yang mengenaskan.

Sesombong apa pun Fir’aun yang pernah melantik dirinya sebagai Tuhan (ana rabbukum al-a’la) (QS an-Nazi’at:24) dan bersekongkol dengan konglomerat hitam Karun dan ternokrat “segala urusan”, Haman, akhirnya tersungkur di lautan kehinaan. Sebaliknya, pemimpin profetik selalu memegang teguh amanah berlaku adil dan menjadi pelayan rakyatnya, berempati rakyatnya, bukan mengobral janji palsu, dan menjauhi segala bentuk ketidakjujuran, semuanya berakhir dengan mengesankan, bahkan dipuji dan ditulis dengan tinta emas oleh sejarah kemanusiaan.

Kita perlu belajar atau memetik pelajaran kepemimpinan profetik dari Nabi Sulaiman AS yang sukses menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, berwibawa, dan peduli terhadap rakyatnya. Sulaiman AS sukses membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa dengan membangun peradaban agung. Dia juga sukses mengislamkan “kerajaan Saba’” berikut ratu dan rakyatnya yang semula terkungkung dalam tradisi syirik karena menyembah matahari.

Akan tetapi, kesuksesan Sulaiman AS itu tidak membuatnya angkuh dan berlaku zalim, sebaliknya menjadikannya semakin bersyukur. “Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka, ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia." (QS an-Naml [27]: 40).

Pemimpin profetik itu selalu bersikap rendah hati, bermurah hati, sabar, peduli, menghargai perbedaan, menghormati kebinekaan, santun, tidak merasa paling hebat sendiri, dan mudah marah. Kepemimpinan profetik Nabi Sulaiman AS yang perlu diteladani adalah bahwa ia selalu berdoa kepada Allah SWT atas segala anugerah yang diberikan kepadanya. 

“Maka, Sulaiman tersenyum, lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS an-Naml/27: 19).

Jadi, kepemimpinan profetik Nabi Sulaiman AS perlu dipelajari dan diaktulisasikan dalam konteks kehidupan sosial politik dewasa ini, dengan menjadikannya sebagai teladan dan inspirasi untuk tampil mengemban kepemimpinan bangsa secara amanah, memiliki visi besar ke depan, berupaya mewujudkan aneka prestasi dengan tetap rendah hati, tidak arogan dan merasa benar sendiri.

Pemimpin negeri yang adil makmur dan kuat seperti Nabi Sulaiman AS memiliki modal dan karakter positif, yaitu: beriman dan tertakwa kepada Allah SWT, berilmu luas dan mendalam, berketerampilan (bahasa, komunikasi, organisasi, diplomasi), berjejaring luas (networking), berlaku adil, tegas, dan arif bijaksana, berkepribadian mulia (jujur, tegas, berani, terpercaya, adil, dan bijaksana), dan selalu bersyukur dan bersabar. Ke depan bangsa ini masih terus belajar mencari dan menemukan sosok pemimpin bangsa profetik yang visioner, inspiratif, inovatif, berlaku adil, bijaksana, berpihak kepada kemasalahatan umat dan bangsa, dan mewariskan legasi peradaban berkemajuan yang selalu dikenang, bukan mewariskan banyak hutang.

 
Berita Terpopuler