Ekonomi 2020 Tumbuh Minus Jadi Cermin Penanganan Pandemi

Konsumsi rumah tangga yang masih anjlok bukti masyarakat tak miliki kekuatan ekonomi.

Antara/Indrianto Eko Suwarso
Pedagang mengangkut pakaian di Pasar Tasik, Tanah Abang, Jakarta. Konsumsi rumah tangga yang masih anjlok 3,61 persen sepanjang kuartal IV 2020 turut berkontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang minus. Pandemi yang belum berakhir membuat masyarakat memilih menahan laju konsumsinya.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Adinda Pryanka, Dedy Darmawan Nasution, Antara

Pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke IV tahun 2020 tumbuh minus 2,19 persen dalam hitungan year on year atau tumbuh minus 2,07 persen dalam catatan full year 2020. Sejak pertama kalinya sejak tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia pun tercatat mengalami kontraksi kembali.

Pertumbuhan ekonomi yang minus dipandang INDEF sebagai bentuk kegagalan mengendalikan pandemi. Artinya juga stimulus yang sudah digulirkan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kurang efektif.

Menurut Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi menyebabkan masyarakat masih menahan untuk berbelanja. Kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83 persen dari total konsumsi nasional.

"Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Jumat (5/2).
 
Pemerintah juga dianggap tidak konsisten dalam menerapkan kebijakannya. Di satu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, tapi PSBB jalan terus dan operasional berbagai jenis usaha dibatasi. Ia menilai, kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun.

Meskipun ada vaksinasi yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis vaksin yang digunakan. Selain itu, ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar.

Kembali diberlakukannya PPKM jilid I menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam. "Jadi optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," kata Bhima.

Sementara itu stimulus PEN terbukti kurang efektif karena ada perencanaan yang salah di awal pembentukan PEN. Masalah utama adalah kurangnya dukungan pada sisi demand policy, yakni perlindungan sosial (Rp 220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp 63,5 triliun) masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi (Rp 60,7 triliun), insentif usaha (Rp 56,1 triliun), sektoral K/L & Pemda (Rp 66,5 triliun) dan insentif UMKM (Rp 112 triliun).

Menurut Bhima, idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan (demand side policy) dibanding fokus pada sisi penawaran (supply side policy). Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka ia menilai percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Masalah utama ada di sisi lemahnya permintaan.

Penyerapan anggaran pemerintah yang masih mengikuti pola sebelum pandemi atau waktu normal perlu segera diubah. Sebaiknya pada awal tahun 2021 pemerintah pusat dan pemda segera lakukan pengadaan barang dan jasa lebih cepat.

"Jangan anggaran dicairkan di akhir tahun, bahkan beberapa pemda enjoy parkir dana di bank daerah. Praktik ini menghambat efektivitas belanja pemerintah untuk pemulihan ekonomi termasuk di daerah," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, hal menarik dari pertumbuhan ekonomi di kuartal ke IV 2020 adalah penurunan dibanding kuartal ke III 2020 atau secara q-to-q (antar kuartal). Kuartal ke IV 2020 pertumbuhan q-to-q turun minus 0,42 persen dibanding kuartal ke III 2020 yang sebelumnya naik 5,05 persen. Ini membuktikan pola pemulihan ekonomi kembali turun pada kuartal ke IV jika dibanding kuartal ke III.

Rekomendasi kebijakan ke depan, menurutnya, sebaiknya berupa stimulus subsidi upah bagi pekerja yang ditambah, bukan malah dihilangkan. Idealnya per bulan pekerja mendapatkan tambahan subsidi Rp 1,2 juta dilakukan minimum 5 bulan ke depan atau Rp 6 juta per pekerja.

Bantuan upah selama ini dianggap terlalu kecil karena masih banyaknya pekerja yang dirumahkan tanpa digaji. Pekerja di sektor informal yang belum menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan juga perlu diprioritaskan mendapatkan bantuan subsidi upah.

Bhima juga melihat anggaran kartu pra kerja yang justru ditambah adalah kebijakan yang tidak tepat. Program kartu pra kerja dipandang melibatkan birokrasi panjang melalui pelatihan daring, hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini dimana pekerja perlu mendapat bantuan tunai secara cepat.

Selain itu, insentif untuk tenaga medis perlu ditambah seiring jumlah kasus yang masih meningkat yakni rata-rata 12.000 kasus dalam 7 hari terakhir. Belanja kesehatan perlu menjadi perhatian utama jika ingin sisi permintaan masyarakat cepat pulih.

Terkait kebutuhan anggaran PEN, Pemerintah sebaiknya segera lakukan realokasi anggaran dengan memangkas belanja pegawai dan belanja barang. Selain itu belanja infrastruktur khususnya proyek yang belum financial closing atau masih berada dalam tahap perencanaan awal harus di terminate (dihentikan) agar ruang fiskal bisa dialokasikan untuk stimulus lain yang lebih mendesak.

Untuk anggaran infrastruktur pada 2021 yang sebelumnya dialokasikan Rp 414 triliun dinilai terlalu jumbo, karena tidak mencerminkan prioritas pemerintah di belanja lain yang mendesak.

Baca Juga

Kontraksi ekonomi diperkirakan masih akan berlanjut di Tanah Air. Setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2021.

Ekonom dari Center for Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan, tren kontraksi ekonomi diperkirakan masih akan berlangsung hingga kuartal pertama tahun ini. Proyeksi tersebut dengan mempertimbangkan kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi yang kembali mengetat seiring pertumbuhan kenaikan kasus positif Covid-19.

Terlebih, Yusuf menyebutkan, pembatasan itu berlaku di Jakarta dan Pulau Jawa yang memiliki porsi besar terhadap ‘kue’ pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Saya kira ini berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi di level negatif," tuturnya saat dihubungi Republika pada Jumat (5/2).

Kebijakan pembatasan aktivitas ini diberlakukan di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah pusat mengimplementasikan PPKM yang sudah dijalankan di Jawa-Bali selama hampir sebulan.

Sementara itu, di level daerah, pemerintah Bogor telah menerapkan kebijakan ganjil-genap secara ketat tiap akhir pekan mulai Sabtu (6/2). Pemerintah provinsi DKI Jakarta pun disebutkan akan mengkaji kebijakan lockdown akhir pekan.

Meski berdampak negatif terhadap ekonomi, Yusuf menekankan, kebijakan pembatasan aktivitas harus dilihat dalam perspektif lebih luas. Apabila dilakukan secara disiplin, langkah pengetatan ini diyakini mampu meningkatkan penanganan pandemi dari sektor kesehatan dan berimbas pada pemulihan ekonomi secara komprehensif.

Yusuf memberikan contoh Vietnam. Pada kuartal keempat, Vietnam melaporkan pertumbuhan ekonomi 4,5 persen pada kuartal keempat 2020 dan surplus 2,9 persen sepanjang tahun. Realisasi ini tercapai setelah mereka sempat kontraksi pertumbuhan hingga minus 40 persen saat awal terkena dampak pandemi.

Pencapaian itu tidak terlepas dari kebijakan lockdown yang sangat ketat dilakukan pemerintah Vietnam. "Tapi, kalau kita melihat pada akhirnya mereka bisa rebound ke level positif, kebijakan yang diambil memang tepat," ujar Yusuf.

Belajar dari Vietnam, Yusuf menuturkan, kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi yang ketat memang dapat menyebabkan kontraksi dalam. Tapi, kebijakan ini layak diambil apabila ingin mendorong perekonomian sepanjang 2021. "Kita harus melihat bagaimana kebijakan di satu kuartal bisa menyelamatkan asa pertumbuhan positif pemerintah untuk bisa tumbuh di tahun ini," ucapnya.

Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi, Arif Budimanta, sudah melihat ada indikasi pemulihan perekonomian meski pertumbuhan kuartal IV kemarin masih minus. “Ekonomi Indonesia kuartal IV 2020 terkontraksi minus 2,19 persen (yoy), hal tersebut sudah sesuai dengan yang diperkirakan, dan menunjukkan perbaikan dibandingkan kuartal III (yoy) yang minus 3,49 persen dan II (yoy) minus 5,32 persen,” kata Arif dalam keterangan tertulisnya.

Arif mengatakan pertumbuhan ekonomi yang masih terkontraksi itu karena tekanan dari dampak pandemi Covid-19 yang begitu besar menghantam perekonomian domestik, baik dari sisi konsumsi dan investasi. Pandemi juga telah menggoyahkan ekonomi global yang berimbas pada turunnya kegiatan perdagangan internasional.

“Dampak pandemi juga terasa di kuartal IV 2020, ketika agenda tahunan seperti Natal dan Tahun Baru tidak cukup kuat dalam menggerakan ekonomi seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar dia.

Namun, Arif mengklaim, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara mitra dagang utama di periode yang sama, seperti dengan Singapura yang minus 5,8 persen, Amerika Serikat minus 3,5 persen, Uni Eropa minus 6,4 persen, kondisi ekonomi Indonesia relatif lebih baik.

Untuk keseluruhan 2020 yang lalu, pertumbuhan ekonomi RI tercatat minus 2,07 persen (yoy), namun pengeluaran konsumsi pemerintah masih tumbuh 1,94 persen. Dia meyakini jika disiplin protokol kesehatan terus terjaga, dan konsumsi masyarakat terus menggeliat, maka pada 2021 ekonomi Indonesia dapat tumbuh positif dan sesuai harapan.

“Untuk itu program padat karya dan program lain yang dapat membuka lapangan kerja menjadi sangat penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat disamping program perlindungan sosial yang juga akan tetap dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Arif meyakini sektor investasi juga dapat mempercepat pemulihan ekonomi nasional, karena dalam waktu yang tidak terlalu lama, peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Terbitnya beleid peraturan turunan UU Ciptaker diharapkan akan mendorong investasi secara signifikan dan menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu, sepanjang tahun 2021 ini pemerintah tetap menyediakan Anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang jumlahnya cukup besar. Angkanya direncanankan sebesar Rp 619,83 triliun atau sekitar 3,5 persen PDB nasional. “Itu artinya, pemerintah terus mendorong agar ekonomi kita pulih dalam waktu yang cepat baik dari sisi supply maupun demand," ujarnya.







 

Hari ini Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi dengan angka minus 2,07 persen. Ini pertama kali terjadi sejak krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 1998 silam.

Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan, kontraksi ekonomi yang terjadi pada 2020 tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang melanda di seluruh dunia. Dampak buruk terhadap perekonomian tidak bisa dihindari sehingga menimbulkan tekanan secara global.

"Sejak 1998, pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali alami kontraksi, karena tahun 1998 ada krisis moneter. Dan, 2020 ini, karena pandemi Covid-19," kata Suhariyanto.

Pada 1998 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 13,16 persen. Adapun pada 2020, jika dilihat per kuartal, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 secara tahunan (year on year/yoy) masih positif yakni 2,97 persen. Angka tersebut sebetulnya sudah mulai mengalami perlambatan dari tren pertumbuhan sebelumnya yang berkisar pada level 5 persen.

Kemudian untuk pertama kalinya pada kuartal II 2020, pertumbuhan terkontraksi hingga minus 5,32 persen. Memasuki kuartal III, kontraksi kembali terjadi sebesar 3,49 persen dan membuat Indonesia masuk ke masa resesi.

Memasuki kuartal IV 2020, pertumbuhan mengalami perbaikan namun, tetap kontraksi yang 2,19 persen. Dengan tren pertumbuhan itu, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 minus 2,07 persen.

Suhariyanto mengatakan, tren tersebut menunjukkan adanya perbaikan dari kuartal II 2020 karena angka kontraksi terus mengecil. Namun, tetap dibutuhkan evaluasi bersama agar pemulihan pada 2021 bisa mulai dilakukan.

Kontraksi ekonomi turut disumbang oleh anjloknya konsumsi rumah tangga. Dalam hitungan BPS konsumsi rumah tangga anjlok 3,61 persen sepanjang kuartal IV 2020.

Meski anjlok, Suhariyanto mengatakan, angka tersebut masih lebih baik dari kuartal sebelumnya. Pada kuartal II 2020, konsumsi rumah tangga turun cukup dalam hingga minus 5,52 persen dari posisi kuartal I 2020 yang masih 2,83 persen.

Selanjutnya pada kuartal III 2020, konsumsi tercatat minus 4,05 persen dan mengalami sedikit perbaikan pada kuartal IV 2020.

Diketahui, konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran. Sumbangannya mencapai 90,26 persen. Oleh karena itu, dua sektor tersebut memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

"Kontraksi pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini tercermin dari berbagai indikator seperti penjualan eceran yang terkontraksi cukup dalam," kata Suhariyanto.

Suhariyanto mengatakan, penjualan mengalami kontraksi pada seluruh kelompok pengeluaran Seperti makanan, minuman, tembakau, sandang, suku cadang dan aksesoris, bahan bakar kendaraan, alat informasi dan telekomunikasi, hingga barang budaya dan rekreasi.

Selain itu, penjualan wholesale mobil penumpang dan sepeda motor juga mengalami penurunan. Jumlah penumpang angkutan laut, rel, dan udara juga turun karena pembatasan aktivitas selama pandemi. "Nilai transaksi uang elektronik, kartu debit, dan kartu kredit juga terkontraksi," ujarnya.

Orang kaya semakin kaya saat pandemi - (Republika)

 
Berita Terpopuler