Kritik Ikhsan Abdullah Soal SKB 3 Menteri tentang Seragam

Ikhsan Abdullah memberi kritik soal SKB 3 Menteri tentang seragam.

Republika/Mahmud Muhyidin
Kritik Ikhsan Abdullah soal SKB 3 Menteri tentang Seragam. Foto: Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah didampingi para pejabat terkait memberikan paparannya ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (19/10).
Rep: Ali Yusuf Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Praktisi hukum dan juga Wakil Sekjen Bidang Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah meminta SKB 3 Menteri seragam dan atribut peserta didik segera dicabut. Seperti diketahui, Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas telah membuat SKB  tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. 

Baca Juga

"SKB 3 itu harus segera dicabut karena berpotensi melahirkan kegaduhan dan merusak sistem hukum. SKB itu beschiking (keputusan) bukan regeling (ketentuan yang mengatur)," kata Ikhsan menyampaikan pandanganya kepada Republika, Kamis (4/2).

Ikhsan mengatakan, karena faktanya isi SKB tersebut berupa regeling (aturan), maka harus ada judicial review ke Mahkamah Agung. Alasannya, karena SKB itu akan menimbulkan kekacauan pada sistem hukum. 

"Kasus jilbab ini mengemuka di awal Januari lalu, ketika SMK Negeri 2 Padang Sumatra Barat dituding melakukan pemaksaan menggunakan jilbab bagi siswi yang beragama non-Muslim," katanya.

Padahal, itu merupakan kebijakan pemerintah daerah (pemda) setempat yang mengharuskan penggunaan jilbab bagi siswi Muslimah. Itu merupakan beleid dari pemda setempat yang tertuang dalam Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/Binsos-iii/2005 dan merupakan kearifan lokal yang harus dihormati. 

Karena jilbab dianggap sebagai pakaian yang sesuai syari dan berpakaian yang sesuai syari adalah merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah. 

"Karena dalam Islam berpakaian dengan menutup aurat itu di samping wajib hukumnya bagi seorang Muslimah juga merupakan ibadah," katanya.

Hal itu juga dijamin oleh Konstitusi Pasal 29 ayat  (1) UUD 1945 yang menyatakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga pada ayat, negara menjamin  hak warga negara untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya itu.

Terlebih, masyarakat Minang juga memiliki filosofi, "Adat basandi Syara’ Syara basandi Kitabullah." Karena itu kebijakan Pemda Padang atau tepatnya Wali Kota Padang yang tertuang dalam Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/Binsos-iii/2005 yang salah satu poinnya mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri di Padang.

"Hal ini sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan Pacasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.

Apalagi, kata Ikhsan, kebijakan ini telah berjalan sejak 2005 dan diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang baik dan ditaati. Ikhsan mengaku heran mengapa Mendikbud Nadiem Anwar Makarim kemudian mempersoalkannya. 

"Sampai Mas Menteri Nadiem begitu geram membuat pernyataan melalui video dan menjadi viral. Seakan-akan ada persoalan genting dan terjadi praktik intoleransi di sekolah," katanya.

Ikhsan berpendapat, berkaitan dengan kasus seorang siswi non-Muslim, Elianu, di Kota Padang yang merasa diimbau memakai jilbab oleh sekolahnya, harusnya tak menjadi dasar diterbitkan SKB. Pihak sekolah pun dalam pernyataannya tidak merasa memaksakan aturan tersebut.

"Hal ini bersifat kasuistis," katanya.

Menurut Ikhsan, pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim itu menggenaralisasi bahwa sekolah dilarang membuat peraturan atau imbauan bagi siswinya untuk menggunakan pakaian model agama tertentu. Dan hal itu dinilai sangat berlebihan dan bertentangan dengan konstitusi.

"Hemat kami, ini merupakan pernyataan yang berlebihan dan bisa jadi bertentangan dengan kebebasan warga negara melaksanakan ajaran agamanya yang telah dijamin oleh Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang telah berlangsung sejak Indonesia merdeka," katanya.

Menurut Ikhsan, diterbitkannya SKB 3 Menteri, Kementerian Pendidikan, Kemendagri, dan Kementerian Agama ini menambah kekeliruan dan kegaduhan lagi. Karena itu, mengenai kasus siswi di SMK Negeri 2 Kota Padang yang kebetulan keyakinan agamanya berbeda dan tidak merasa dipaksa dan diterima sebagai sesuatu yang sudah terbiasa sesuai pernyataan siswa tersebut ketika diwawancarai oleh media.

"Haruslah disudahi. Cukup diselesaikan oleh internal sekolahnya bersama Dinas Pendidikan di Kota Padang dan pemda setempat," katanya.

Apalagi, pihak sekolah hingga hari ini tidak mengambil tindakan apa pun terhadap siswi tersebut. Jadi, sama sekali tidak diperlukan SKB 3 Menteri yang mengatur tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah

Ikhsan mengajak semua meciptakan kesejukan dan ketenteraman di masyarakat yang sudah sulit akibat wabah Covid-19. SKB 3 Menteri ini jangan solah-olah ada intoleransi dan pelanggaran HAM. 

 

"Mari kita jaga kerukunan dan harmoni kehidupan antarumat beragama karena kita semua bersudara," kata Ikhsan yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Halal Wach.

 
Berita Terpopuler