500 Desa di Jabar Rawan Bencana Hidrometeorologi

BPBD menyebut 500 desa rawan bencana tersebut tersebar di seluruh wilayah Jabar.

ANTARA FOTO
Warga mengamati kondisi pascabanjir bandang yang melanda Kampung Gunung Mas, Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/1/2021). Ilustrasi
Rep: Arie Lukihardianti Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat mencatat, ada 500 desa masuk kawasan berpotensi atau rawan mengalami bencana hidrometeorologi. Ratusan desa itu tersebar di hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jabar.

Bencana hidrometeorologi adalah dampak yang dipicu kondisi cuaca dan iklim tertentu seperti peningkatan dan kekurangan curah hujan, suhu dan cuaca ekstrem, termasuk hujan lebat disertai angin kencang dan lain sebagainya. Bencana dapat berupa banjir atau longsor.

"Hampir di seluruh kota/kabupaten, tapi yang paling banyak di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor karena disesuaikan dengan jumlah wilayah kecamatan dan desanya, paling banyak di sana," ujar Kepala Pelaksana Harian BPBD Jabar Dani Ramdani, Kamis (4/2).

Untuk bagian timur, kata dia, ada di Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu. Sedangkan bagian utara ada di Subang, Karawang, dan Bekasi.

"Ya, yang kategori desa dengan potensi tinggi bencana itu dari 5.000 desa di Jabar, ada 500-an (desa)," kata Dani.

Untuk mengantisipasi dampak bencana tersebut, kata dia, BPBD Jabar pun bergerak membangun desa tangguh bencana. Hingga akhir Januari, sedikitnya 250 desa telah dibekali konsep dan peralatan untuk menghadapi bencana.

"Kita bangun baru 250-an, setengahnya. Kita buat percepatan untuk 250 desa yang lain dengan program fast track, kalau standar Destana BNPB itu ada 16 indikator," katanya.

Untuk kondisi saat ini, kata dia, minimal tiga indikator dahulu terpenuhi. Yakni, ada Satgas, ada peralatan yang stand by, dan anggaran yang tersedia. Selain itu ada indikator keempat yakni pelatihan bagi masyarakat paling tidak tokoh dan relawan pemuda.

"Indikator lainnya harus membuat peta rawan bencana di level desa, harus membuat jalur evakuasi dan rambu evakuasi, harus membuat tempat evakuasi, kalau selengkap itu. Sekarang tiga indikator (satgas, peralatan, dan anggaran). Kalau ada anggaran apapun bisa dilakukan, nah anggaran bencana itu yang biasanya tidak tersedia, makanya beberapa bupati membuat Perbup, terkait anggaran untuk bencana dalam APBDes," papar Dani.

Dani mengatakan, mitigasi sederhana bisa dilakukan di tingkat desa. Salah satunya dengan memeriksa saluran air untuk memastikan tak ada yang tersumbat atau memeriksa tebing-tebing apakah ada keretakan yang berpotensi longsor.

Dani menjelaskan, umumnya ada periode golden time untuk meminimalisasi terjadinya korban jiwa saat bencana terjadi. Periode yang dimaksud ialah nol sampai tiga puluh menit terjadinya bencana.

"34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang dibentuk oleh pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi," katanya.

Faktor lainnya, kata dia, diberikan oleh pertolongan orang-orang terdekat. Yakni anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan rencana penyelamatan diri yang biasanya dibekali melalui pelatihan.Faktor ini menyumbang 31 persen. Lalu 17 persen lain dari pertolongan komunitas baik RT, RW, atau lingkungan setempat.

"Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, kesiapsiagaan individu, keluarga, dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana.

 
Berita Terpopuler