Studi Sebut Karantina Bikin Mental Remaja Inggris Jadi Down

Remaja Inggris sering merasa takut, sedih atau buruk tentang diri mereka sendiri.

www.freepik.com
Gangguan mental yang dialami remaja dinilai cukup memprihatinkan (ilustrasi).
Rep: Farah Noersativa Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru mengenai remaja di Inggris menemukan masa karantina wilayah mempengaruhi mental para remaja di Inggris. Mereka menderita saraf, konsentrasi yang buruk, dan mudah tersinggung.

Dalam laporan yang dilansir laman Inews, Senin (1/2), studi yang melibatkan remaja usia 13 tahun sampai 19 tahun itu menemukan, sebanyak 27 persen remaja merasa gugup, cemas pada hampir semua hari dalam dua pekan sebelum karantina wilayah diberlakukan.

Proporsi yang sama mengatakan mereka merasa mudah kesal atau mudah tersinggung pada sebagian besar atau hampir semua hari selama periode yang sama. Sebanyak 32 persen mengalami kesulitan tidur.

Sementara itu, 26 persen mengalami kesulitan berkonsentrasi selama periode yang sama, pada hal-hal seperti tugas sekolah, membaca, dan menonton TV. Menurut para peneliti, pengalaman-pengalaman ini semuanya bisa menjadi gejala kecemasan dan depresi, meski memilikinya tidak berarti diagnosis.

Penilaian remaja tentang kesehatan mental mereka sendiri juga memburuk selama pandemi. Ketika disurvei pada akhir musim panas, 10 persen mengatakan kesehatan mental mereka 'buruk' sebelum lockdown. Ketika ditanyai lagi pada akhir November, 16 persen menggambarkan kesehatan mental mereka sebagai ‘buruk’.

Penemuan ini telah memicu kekhawatiran tentang depresi yang meluas dan berkembang di antara anak usia 13 hingga 19 tahun. Ini menjadi peringatan yang menyakitkan bagi para orang tua dan semua pihak.

“Temuan ini adalah peringatan tentang betapa menyakitkan kehidupan banyak anak muda selama pandemi,” kata Kepala Penelitian di Yayasan Kesehatan Mental, Catherine Seymour, yang melakukan penelitian dengan Universitas Swansea.

Mereka mengumpulkan temuan sebelum penutupan sekolah baru-baru ini. Ketika para peneliti menanyakan pengalaman para remaja, mereka  merasa lebih buruk.

Baca Juga

Para remaja ini mengatakan bahwa mereka sering merasa takut, sedih, atau buruk tentang diri mereka sendiri. Tidak mengherankan jika peneliti melihat peningkatan jumlah yang mengatakan kesehatan mental mereka 'buruk'.

“Kekhawatiran kami adalah semakin lama pandemi berlangsung, semakin tertanam masalah ini,” katanya.

Remaja dengan orang tua yang menganggur tampaknya sangat berisiko tinggi mengalami gejala kecemasan dan depresi, dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya bekerja penuh waktu. Misalnya, mereka dua kali lebih mungkin untuk merasa takut, seolah-olah sesuatu yang buruk mungkin terjadi dan down, depresi, mudah tersinggung atau putus asa'.

Mereka yang orang tuanya berada di kelas sosial 'C2DE', yaitu yang mencakup pekerja manual dan orang yang menganggur atau hidup dengan tunjangan, juga tampaknya memiliki risiko yang jauh lebih besar daripada rekan-rekan mereka dengan orang tua 'ABC1'. Namun, di antara semua remaja, banyak yang melaporkan mengalami pengalaman serupa.

 
Berita Terpopuler