Islam Agama Transnasional, Impor, dan Arogan?

Benarkah tuduhan bahwa Islam agama transnasional, impor, dan arogan?

Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Lazimnya, menjelang Isya saya selalu bercakap melalui telepon dengan Prof DR Abdul Hadi WM tentang tema atau kabar mutakhir Indonesia. Kali ini, saya bertanya mengenai tuduhan yang menjadi kontroversi tentang Islam adalah agama arogan, impor dari Arab, dan salah satu pemahaman di dalamnya, yakni Wahabi dan Salafi sebagai paham agama transnasional.

Saya tahu persis, Prof Hadi pasti mampu menerangkannya dengan sangat baik. Penghayatannya akan praktik dan kajian tasawuf hingga ajaran sejarah umum dan tarikh Islam begitu dalam. Apalagi, dia menulis disertasi dan mengajarkannya mengenai kajian tasawuf di berbagai universitas baik dalam dan luar negeri. Kepakaran ini makin berarti karena Prof Hadi adalah salah satu pelopor sastra sufi di Indonesia yang tonggaknya di mulai pada awal era 1970-an.

Pada bagian pertama, yakni soal agama transnasional, beliau berbicara sangat mengena. Dia pun bertanya apa maksud dari istilah agama Islam (yakni pemahaman Salafi dan Wahabi) sebagai transnasional?

Mengenai itu, beliau menjawab, agama-agama besar seperti Islam, Kristen Protestan, dan Katolik, semuanya transnasional. Mereka bukan agama 'nasional' seperti Konghucu, Yahudi, Sikh, Sinto, dan lainnya.

''Kalau Salafi itu pemahaman agama transnasional, di agama Kristen juga ada. Salafi kan berpandangan ortodoks, ingin kembali ke akar. Nah, di agama lain juga ada, di Yahudi, Hindu juga ada. Cuma, Salafi dan Wahabi kini dijadikan propaganda pihak kekuatan dunia tertentu dengan mengkaitkannya dengan terorisme. Di agama lain juga ada yang berpemikiran model puritan seperti Salafi. Jadi, bukan hanya Islam saja,'' tegasnya.

Salafi itu pun banyak macamnya. Apakah akan mencontoh gaya pemikiran Umar bin Khatab atau gaya era khilafah Abassiyah. Umar begitu puritan, sedangkan Abbasiyah menyukai filasafat dan seni.

''Lagi pula, Salafi adalah semacam sebutan untuk orang yang mengikuti aliran dalam Islam Sunni. Di NU, misalnya, kata Salafiyah akrab dipakai sebagai nama pesantren. Ini seperti nama pesantren besar di Situbondo atau juga pesantren modern Gontor. Jadi, jangan hantam kromo dalam soal ini kalau tak paham,'' tegasnya.

 

Hal yang sama juga terjadi pada pemahaman sebutan Wahabi. Aliran pemikiran ini berkembang dengan kembali mengacu pada hal atau ajaran yang puritan atau ortodoks. Dan juga tak hanya Islam, dalam Yahudi dan Kristen juga ada pemikiran yang sejenis.

"Cuma, kesannya, hari ini hanya Islam saja yang pantas disebut punya pemikiran ortodoks atau bergaya ala Wahabi tersebut. Lagi-lagi, sikap tidak paham ini muncul gara-gara isu radikalimes Islam yang oleh negara barat selalu dikaitkan dengan Muslim,'' ungkapnya.

Keterangan foto: Gaya busana Muslim Nusantara di zaman dahulu.

Salah satu contoh yang paling nyata bahwa pemikiran ortodoks atau yang ala Wahabi terjadi di dua buah negara, yakni Arab Saudi dan Israel. Arab Saudi terkait dengan Islam, sedangkan Israel terkait dengan Yahudi.

''Di kedua negara itu, semua bangunan sejarah akan dan berusaha mereka hancurkan. Mereka mencari dan membuat baru identitas agamanya. Bedanya, Arab Saudi tak bisa membuat legitimasi karena Islam tidak punya sarana pemberi legitimasi. Beda dengan Yahudi (dan ini juga Kristen) mereka punya sarana untuk memberikan legitimasi. Nah, ini masalah yang mendasarnya dan jarang orang paham,'' kata Prof Abdul Hadi.

 

Lalu, tentang Islam agama impor dari Arab bagaimana?

Terkait hal ini, Prof Abdul Hadi WM menyatakan, tidak aneh bila ada orang yang beranggapan seperti itu. Hal ini terjadi karena selama ini pelajaran serta pengetahuan tentang sejarah Islam di Indonesia sangat berbau kolonial. Para sejarawan, misalnya, masih banyak yang terus 'membeo' pada pikiran penulis sejarah kolonial yang berasal dari Eropa, seperti Belanda, Inggris, dan Prancis.

''Misalnya, sampai kini, masih tertanam di benak orang--termasuk orang Islam--bahwa Islam datang dari Gujarat. Ini jelas teori peninggalan kolonial Belanda. Sayangnya, sampai hari ini, banyak orang yang masih percaya,'' tegasnya.

Padahal, dari dahulu kala, orang-orang atau para pelaut Nusantara sudah berlayar hingga ke pantai timur Afrika. Jejak ini sangat jelas dan tak bisa dibantah.

''Jadi, orang atau para pelaut Nusantara sendiri yang menjemput Islam langsung di negeri asalnya, bukan berputar-putar lewat tempat lain, ada yang mengatakan China atau Gujarat,'' katanya.

Keterangan: Perlawanan terhadap kolonial di bawah pimpinan seorang santri bernama Raden Mas Mustahar atau Pangeran Diponegoro.

Hal ini pun ada buktinya, yakni sebuah surat dari Khafilah Islam di Abad ke-8 Masehi yang datang dari anak Raja Sriwijaya yang ada di Sumatra. ''Dalam surat itu disebut bahwa anak raja tersebut meminta izin kepada khalifah untuk mengajarkan Islam di kerajaannya. Dan dalam surat itu juga diceritakan bila para anggota kerajaan Sriwijaya yang lain menghalanginya. Kisah ini ada disertasi yang ditulis Sq Fatimi. Dan ini memang belum banyak yang tahu.''

Adanya surat itu kemudian berkolerasi dengan kenyataan bahwa pada abad ke-11 Masehi Islam sudah berkembang atau banyak penganutnya di Nusantara. Bahkan, ini kemudian terbukti mencengangkan, kebudayaan Melayu di Sumatra ternyata kemudian berbasis atau terpengaruh sekali dengan budaya Arab. Ini bisa ditilik dari gaya bahasa Melayu dan tulisannya yang banyak sekali memakai serapan bahasa Arab. Bahkan, tulisan Melayu menggunakan huruf Arab (dikenal sebegai tulisan Jawi).

''Uniknya, di Sumatra dan Melayu tak ada bekas sama sekali agama Buddha di sana. Di candi Muara Takus, misalnya, tak ada arca Buddha dan sama sekali beda dengan di Jawa, misalnya dengan Candi Borobudur. Ini menjelaskan betapa dalam pengaruh Islam yang datang ke Sumatra secara langsung dengan dijemput oleh orang Nusantara melalui pelayaran,'' kata Abdul Hadi.

 

Jejak lain dari kedatangan Islam di Nusantara yang langsung dijemput orang Nusantara atau tak perlu singgah di Gujarat atau China, menurut Prof Hadi, ada dalam kisah cerita klasik berbingkai "Hikayat Seribu Satu Malam" yang ditulis dalam zaman keemasan Islam di Baghdad.

Menurut Abdul Hadi, jejak itu terdapat dalam kisah petualangan pelaut Sinbad yang tertuang dalam bagian akhir kisah "Seribu Satu Malam".''Dalam kisah itu diceritakan pelayaran Sinbad ke sebuah wilayah di Pantai Barat di Sumatra, yakni wilayah Barus. Di sana, Sinbad mencari permata, emas, barus, dan komoditas penting di Timur Tengah saat itu.''

Keterangan foto: Kisah petualangan pelaut Sinbad dalam Hikayat Seribu Matu Malam.

''Bahkan, khusus untuk kamper (orang kita menyebut seperti kapur barus/kapur dari Barus) sudah dikenal sejak zaman Nabi Sulaiman atau zaman Fir'aun di Mesir. Untuk membuat atau mengawetkan mayat, mereka harus memakai kamper. Dan komoditas itu satu-satunya mereka harus ambil dari Sumatra (Barus itu). Jadi, jauh sebelum zaman Masehi orang Sumatra (Nusantara) sudah akrab dan berhubungan dari orang Afrika bagian Timur atau daerah yang kita kenal sekarang dengan kawasan Arabia itu,'' tegasnya kembali.

 

 

 

 

Menurut Prof Abdul Hadi, ketidakmengertian tentang asal usul Islam di Indonesia itu semakin parah dengan adanya rasa rendah diri para sejawaran Indonesia, khususnya sejarawan Islam. Mereka terlalu gampang terpukau dengan segala teori dari sejarawan barat. Kesan ini ada akibatnya, yakni mereka seolah selalu menyatakan bahwa dirinya, yakni bangsa Indonesia, tak punya kemampuan untuk berpikir sendiri.

''Kenyataan rasa rendah diri pernah dikatakan seorang sarjana India tentang anggapan orang Indonesia. Dia justru mengatakan, orang Indonesia punya pikiran dan gagasan tersendiri dengan cara mengimplementasikan agamanya. Katanya, itu terlihat jelas, misalnya, dalam bentuk patung yang ada di candi Indoensia dengan patung yang ada di India. Keduanya punya perbedaan banyak sekali. Dan inilah yang membuatnya mengatakan orang Indonesia seharusnya tak punya rasa rendah diri dalam sejarahnya. Ini misalnya tercermin dengan kata-kata Islam agama impor itu,'' kata Abdul Hadi.

Keterangan foto: Kompleks pemakaman Islam kuno di Barus.

Dan khusus untuk Islam di Indonesia, justru di sinilah pemikiran ala Al Halaz, Ibnu Arabi (rasionalitas), Al Ghazali (mistis) bisa disatukan. ''Di sini, ketiga pemikiran itu bisa bersatu dan disatukan. Beda dengan di Timur Tengah yang malah menjadi ajang pertengkaran atau konflik.''

''Maka, saya harap, bila ada yang menuduh-nuduh Islam di Indonesia arogan, agama impor, mengandung ide transnasional, terkait terorisme, sebaiknya orang itu diajak berdebat di depan publik. Di sana dibuktikan dan publik bisa tahu siapa sebenarnya yang sesat pikir dan hal itu sebagai sebuah penghinaan. Organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama harus segera bersikap dan tak boleh membiarkannya sebab kekonyolan atau hinaan itu bisa dengan mudah meluas dan memecah masyarakat,'' kata Abdul Hadi menandaskan.

Dan, persepsi Islam Indonesia memang kini tak semerdu lagu biduanita legendaris Mesir Umm Kultum kala mendendangkan nyanyian hikayat Seribu Satu Malam: Alf Leila Wa Leila. Entah kenapa?

iv>

 

 
Berita Terpopuler