AS Tinjau Penjualan Senjata ke Arab Saudi dan UEA

AS tinjau ulang penjualan senjata termasuk F-35 ke Arab Saudi dan UEA

Abir Sultan/EPA
Sebuah jet F-35 akan lepas landas. Joint Strike Fighter (JSF) F-35 dinilai akan menjadi salah satu pilar perang modern.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) meninjau penjualan senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Dalam jumpa pers pada Rabu (27/1), Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan peninjauan tersebut bertujuan untuk memajukan tujuan strategis dan kebijakan luar negeri AS.

"Itulah yang kami lakukan saat ini," kata Blinken dilansir Aljazirah, Kamis (28/1).

The Wall Street Journal pertama kali melaporkan pada Rabu (27/1) bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden telah memberlakukan pembekuan sementara penjualan senjata senilai miliaran dolar AS, termasuk penjualan amunisi ke Arab Saudi dan pesawat tempur F-35 ke UEA.

Baca Juga

Langkah ini dilakukan sepekan setelah Biden dilantik dan berjanji untuk "meninjau kembali" hubungan Washington dengan Riyadh. Sejak menjabat sebagai presiden, Biden telah menandatangani serangkaian tindakan eksekutif untuk meninjau kembali beberapa kebijakan utama mantan presiden Donald Trump.

Sebelumnya, Trump mengawasi hubungan AS dengan UEA dan Arab Saudi sejalan dengan dukungan untuk Israel dan kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran. Pada Mei 2019, Trump mengumumkan keadaan darurat nasional karena ketegangan dengan Iran untuk menghindari keberatan dari Kongres tentang penjualan senjata senilai delapan miliar dolar AS ke Arab Saudi, UEA, dan Yordania.

Pemerintahan Trump menyampaikan kepada Kongres bahwa mereka menyetujui penjualan sistem senjata canggih, termasuk jet tempur F-35 dan drone bersenjata senilai lebih dari 23 dolar AS ke UEA. Pengumuman itu datang tak lama setelah pemerintah UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dalam kesepakatan yang ditengahi oleh AS.

Kelompok hak asasi manusia mengecam penjualan itu. Mereka mengatakan penjualan senjata itu dapat memicu konflik regional, terutama di Libya dan di Yaman. Anggota parlemen dari Partai Republik dan Demokrat juga mengecam transfer senjata itu dengan mengatakan itu akan "memfasilitasi perlombaan senjata yang berbahaya".

 
Berita Terpopuler