KH Abdurrahman Syamsuri Gigih Tumpas Belanda dan PKI  

KH Abdurrahman Syamsuri pernah berjuang tumpas Belanda dan PKI

Dok Istimewa
KH Abdurrahman Syamsuri pernah berjuang tumpas Belanda dan PKI.
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Abdurrahman Syamsuri merupakan seorang ulama karismatik dari Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Ia adalah merupakan tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi santri pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari.

Baca Juga

Salah satu santri Kiai Abdurrahman Syamsuri, Ustadz Muhammad Ziyad mengatakan, Kiai Abdurrahman merupakan seorang ulama besar Muhammadiyah yang unik sekali. Karena, gurunya tersebut mempunyai sanad keilmuan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

“Beliau itu muridnya langsung hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Tetapi, Kiai Abdurrahman Syamsuri ini adalah tokoh Muhammadiyah Lamongan,” ujarnya saat dihubungi Republika belum lama ini.

Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah ini menjelaskan, meskipun aktif di Muhammadiyah Kiai Abdurrahman mempunyai silsilah mata rantai dengan para kiai NU dan menjalin persahabatan yang luar biasa. Sebagai santrinya, Ustaz Ziyad pun juga menjalin persahabtan dengan para kiai NU.

Nama lengkapnya adalah KH Abdurrahman Syamsuri bin Syamsuri bin Fadhil bin Sholeh bin Syahid bin KH Idris bin Kasno. Ia lahir dari keluarga santri di Desa Paciran, Lamongan, pada 1 Oktober 1925. Kakeknya bernama Kiai Idris, seorang kiai yang cukup terkenal di Kecamatan Paciran.   

KH Abdurrahman Syamsuri tidak hanya mengabdikan dirinya kepada agama, tapi juga kepada negaranya. Ia turut berjuang melawan penjajah bersama gurunya di Paciran, yaitu KH Mohammad Amin Mushtofa.

Kiai Amin merupakan seorang kiai kharismatik di Paciran sekaligus pelopor pemikiran Agama Islam Muhammadiyah. Kiai Amin juga dikenal sebagai seorang pejuang dan pernah menjadi komandan Laskar Hizbullah.

Ketika mendengar tantara Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945, Kiai Amin langsung menggelar rapat bersama para kiai di daerah Blimbing, Paciran. 

 

Pertemuan tersebut kemudian memutuskan untuk mengirim anggota laskar Hizbullah Paciran ke Surabaya untuk menghadang pasukan Brigade 49 Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby.

Perisiwa besar itulah yang kemudian dikenal sebagai peristiwa 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Kiai Abdurrahman Syamsuri dengan semangat juangnya juga ikut berjuang gigih bersama Kiai Amin. Bahkan, Kiai Abdurrahman  saat itu menjadi orang kepercayaan atau tangan kanan Kiai Amin.

Kepercayaan Kiai Amin begitu besar kepada Kiai Abdurrahman hingga Kiai Amin menjodohkan dengan salah satu putrinya yang bernama Rahimah, yang juga pernah nyantri di Pondok Kranji. Sayangnya, pernikahan itu tidak berlangsung lama.

Setelah Kiai Amin wafat, Pondok Tunggul mengalami perubahan sebutan nama pondok yang diputuskan dalam musyawarah. Pondok Tunggul berubah nama dengan sebutan Pondok Pesantren Al-Amin.

Meskipun pada 1949 Kiai Amin telah meninggal dunia, hubungan kekerabatan kedua keluarga ini semakin erat karena pada tahun tersebut Kiai Abdurrahman menikahkan salah satu putrinya yang bernama Zakiyah Abdurrahman dengan putra Kiai Amin yang bernama Muhammad Sabiq.

Kiai Abdurrahman Syamsuri melihat bahwa pondok pesantren tidak hanya sekadar lembaga yang mendidik kader umat dalam memahami agama, tetapi juga mendidik untuk menjadi pejuang-pejuang bangsa yang tangguh, berpikiran baik dan ikhlas dalam perilaku amaliahnya.

 

Karena itu, pada saat bangsa Indonesia menghadapi gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Pondok Karangasem juga menjadi pusat mobilitas pejuang bangsa dalam menghadapi keganasan PKI di wilayah Pantura Jawa, yaitu antara Wilayah Tuban dan Gresik. Bahkan Kiai Abdurrahman dijadikan sebagai ketua Komando Strategi untuk menghadapi PKI di kecamatan Kedungpring, Lamongan bagian selatan. 

 
Berita Terpopuler