Banjir Kalsel: Hujan Ekstrem dan Susutnya Hutan DAS Barito

Banjir terjadi pada 10-17 Januari 2021 di 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel.

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Warga melintasi banjir yang menggenangi kawasan padat penduduk di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Mimi Kartika, Rizky Suryarandika

"Ini adalah sebuah banjir besar yang mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air," kata Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi terdampak banjir di Kalsel, Senin (18/1).

Baca Juga

Senada dengan Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Selasa (19/1) menjelaskan, penyebab banjir di Kalsel secara umum adalah curah hujan ekstrem yand didukung oleh kondisi infrastruktur ekologis Sungai Barito yang sudah tidak memadai. Sehingga, tidak mampu menampung aliran air yang masuk.

"Dari evaluasi yang ada, kondisi infastruktur ekologisnya yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah dalam diskusi daring, Selasa (19/1).

Karliansyah mengatakan, banjir dengan ketinggian 0,5-2 meter bahkan 4 meter terjadi sejak 10-17 Januari 2021 di 11 dari 13 kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Menurut dia, curah hujan harian pada 9-13 Januari 2021 lebih tinggi delapan sampai sembilan kali lipat dibandingkan curah hujan normal pada Januari 2020. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik melebihi kapasitas sungai kondisi normal yang hanya dapat menampung air 238 juta meter kubik.

Di sisi lain, kata Karliansyah, sistem drainase pun tidak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar. Daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografinya berupa tekuk lereng, sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.

Selain itu, lanjut dia, lokasi banjir umumnya berada di daerah datar dan elevansi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah. Ditambah lagi beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga pasokan air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.

DAS Barito ini merupakan DAS lintas provinsi dengan total 6,2 juta hektare, dan yang melintasi Kalimantan Selatan seluas 1,8 juta hektare. Dari luas itu, proporsi luas areal berhutan DAS Barito di Kalsel hanya 18,2 persen, terdiri dari hutan alam 15 persen dan 3,2 persen hutan tanaman.

Sedangkan, sisanya seluas 81,8 persen merupakan proporsi luas areal tidak berhutan. Areal ini didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4 persen, sawah 17,8 persen, serta perkebunan seperti sawit dan lainnya 13 persen.

"Dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutan alam itu sebesar 62,8 persen. Yang paling besar terjadi antara tahun 1990 sampai tahun 2000 sebesar 55,5 persen," kata Karliansyah.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas meminta pemerintah tak hanya menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir di Kalsel. Menurut dia, pemerintah seharusnya mengevaluasi penggunaan lahan yang tentu juga menjadi faktor penyebab banjir.

"Ketegasan pemerintah dan paradigma bagaimana hutan itu tidak dieksploitasi lagi. Dan sekali lagi jangan kemudian menggunakan hujan sebagai salah satu faktor dan menyalahkan curah hujan," ujar Arie saat dihubungi Republika, Selasa (19/1).

Arie mengatakan, hitung-hitungan untuk mengantisipasi banjir antara curah hujan, debit air, dan kapasitas sungai, tidak akan menjamin suatu daerah bebas banjir, ketika hutan-hutan tak bisa lagi menampung air. Sebab, penggunaan lahan hutan akan mengubah bentang alam, struktur hidrologi, dan fungsi hutan itu sendiri yang berpengaruh terhadap banjir.

Menurut dia, peningkatan deforestasi dan tutupan hutan yang turun drastis, membuat wilayah Kalsel tidak mampu lagi menampung curah hujan tinggi. Selain sebabkan daya tampung air yang berkurang, deforestasi di Kalimantan juga mendorong terjadinya krisis iklim yang berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan.

"Selain curah hujan, itu ada faktor manusia di mana deforestasi berasal dari aktivitas pembukaan lahan, di mana di wilayah ini juga ada perkebunan sawit dan pertambangan," kata Arie.

Menurutnya, Kalsel kehilangan lahan yang dapat menampung air hujan karena berubah menjadi perkebunan sawit maupun pertambangan. Bahkan, bekas pertambangan banyak ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lubang-lubang tanpa adanya reklamasi.

"Hal ini memicu daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah yang terjadi banjir itu sudah tidak bisa lagi menampung air hujan memenuhi ketika intensitas hujan meningkat," kata Arie.

Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol mengakui terjadinya pengurangan luas hutan juga terjadi karena 2,7 juta dari 3,6 juta penduduk Kalsel tinggal di sekitar DAS Barito. Dengan demikian, kegiatan pertanian, perkebunan karet, perkebunan sawit sangat masif di wilayah DAS Barito.

Namun, menurut Hanif, tidak ada pelanggaran yang serius dari pemegang izin usaha pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, maupun izin penggunaan kawasan hutan. Selain itu, kata dia, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di DAS Barito sejak 2010-2019 seluas 10.155 hektare.

"Jadi secara numerik sebenarnya kegiatan RHL di Kalimantan Selatan ini lebih besar daripada lahan kritis di kawasan Barito di angka 5.000 sekian," tutur Hanif.

In Picture: Darurat Banjir di Kalimantan Selatan

Warga melintasi banjir yang menggenangi kawasan padat penduduk di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/1/2021).. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor menyatakan peningkatan status siaga darurat menjadi tanggap darurat, keputusan itu diambil mengingat musibah banjir yang terjadi semakin meluas di beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Selatan. - (Antara/Bayu Pratama S)

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Syamsudin Noor Banjarmasin memperkirakan hujan dengan intensitas tinggi masih berpeluang menghantam wilayah Kalsel. Secara umum, BMKG memantau pada Desember 2020 dan Januari 2021 merupakan puncak musim hujan di wilayah Kalsel kecuali Kabupaten Kotabaru.

Terkait bencana banjir, BMKG memaparkan, pada 12-15 Januari 2021 terjadi hujan lebat disertai kilat/petir dan angin kencang. Akumulasi jumlah curah hujan selama dua hari hingga 15 Januari, bahkan mencapai 300 mm. Kondisi ini tergolong dalam kondisi ekstrim yang dipicu oleh dinamika atmosfer di wilayah Kalsel yang labil.

BMKG memperkirakan hujan sedang hingga lebat masih akan terjadi di Kalsel selama periode 13 hingga 19 Januari 2021.

"Kondisi cuaca umumnya hujan ringan dan berpotensi hujan sedang hingga lebat yang dapat di sertai petir dan angin kencang di hampir seluruh wilayah di Kalsel. Perkiraan cuaca ini berlaku selama 13-19 Januari 2021," ujar Koordinator Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Djatmiko saat dihubungi Republika, Ahad (17/1).

Tak hanya itu, ia menyebutkan BMKG mengeluarkan peringatan dini cuaca Kalimantan Selatan pada 17 Januari 2021 pukul 20:00 WITA masih berpotensi terjadi hujan sedang-lebat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang pada pukul 20:30 WITA di Bakumpai, Barambai, Kintap, Aranio, Pengaron, Simpang Empat, Cerbon, Rantau Badauh. Peringatan ini dapat meluas ke wilayah Tabukan, Belawang, Anjir Pasar, Mekar Sari, Satui, Mandastana, Anjir Muara, Sei Pinang, Binuang, Tapin Tengah, Candi Laras Utara, Kuripan, Kusan Hulu, Kusan Hilir, dan sekitarnya.

"Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga pukul 22:30 WITA," katanya.

Suhu udara selama kurun waktu 13 hingga 19 Januari 2021 diperkirakan berkisar antara 23 – 32 derajat celcius. Kemudian kelembaban udara berkisar antara 65 – 99 persen.

Hary menjelaskan, angin umumnya bertiup dengan arah variabel dari Barat Daya hingga Timur Laut dengan kecepatan berkisar antara 5 – 35 kilometer/jam. Oleh karena itu, BMKG meminta kapal nelayan, tongkang, kapal ferry, dan kapal berukuran besar terhadap potensi gelombang tinggi mencapai 2,5 - 4 meter pada 13-19 Januari 2021 di wilayah Perairan Selatan Kalimantan Selatan.

 

Infografis Duka di Awal Tahun - (republika)

 
Berita Terpopuler