Darurat Sipil Malaysia: Demokrasi Menuju Monarki Absolut?

Jika kegiatan parlemen “digantung, menandakan Malaysia kian menuju monarki absolut.

EPA
Bendera Malaysia. Malaysia disebut menuju absolut monarki.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syafuan Rozi Soebhan, Peneliti Ahli Utama P2P LIPI- Center for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences

Perubahan politik Malaysia sudah terjadi selama tiga tahun terakhir, yaitu sejak pemilihan umum Malaysia tahun 2018 yang memilih kembali Dt. Tun Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri. Terpilihnya Mahathir lewat gerakan semacam people power sekaligus mengakhiri enam dekade kekuasaan Barisan Nasional (BN) di Malaysia.

Pakatan Harapan (PH) pimpinan Mahathir Mohamad yang terdiri dari Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Aksi Demokratik (DAP), dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) berhasil mengalahkan Barisan Nasional yang menempatkan Mahathir sebagai Perdana Menteri. Kemudian ia mengundurkan diri hingga dihalang-halanginya Anwar Ibrahim untuk menjadi Menteri Besar apalagi Perdana Menteri.

Semuanya seakan siklus demokrasi yang memungkinkan oposisi silih berganti mengelola negara, amat pelik dan musykil di negeri jiran kita ini. Hingga naiknya PM Muhyiddin yang pro dan kontra, yang belakangan juga mengalami turbulensi dukungan dari para pengusungnya karena perkara memelihara cara hidup demokratik, tampaknya “masih jauh panggang dari api”.

Malaysia adalah jiran tetangga terdekat Nusantara, bukan hanya serumpun secara etnisitas yang memiliki kesamaan ras Asia-Melayu-Austronesia-Mongoloid, tetapi juga faktanya hadir “Sebumi” secara geopolitik, karena berbatasan langsung darat, laut dan udara. Hal itu berlangsung sangat lama karena banyak  perantau Nusantara yang ke sana. Sebagian warga Malaysia leluhurnya perantauan dari Riau, Minang, Aceh, Jambi, Bugis, Banjar, Dayak, Jawa dan lainnya.

Ada nasihat tetua bahwa tetangga adalah saudara terbaik yang bisa diminta tolong dan didengar pandangannya. Apa pun keadaannya, orang terdekat lah yang boleh membantu dan saling berwasiat kebaikan.

Apa yang terjadi di rumah tetangga sebelah, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap rumah kita dan sebaliknya. Tetangga damai, kita tenang. Tetangga guncang kita pun ikut resah, karena telinga dan mata, melihat dan mendengar apa yang terjadi di sebelah kita.

Kalau Negara sebelah demokratis dan sejahtera kita tentu senang, tetsapi kalau pemerintahnya dalam krisis politik, konflik tak berujung, ada masalah ketidakpercayaan dan elemen kebangsaannya tidak bahagia, kian khawatir, tertekan dan berjarak satu sama lain. Kita pun akan ikut bersedih, karena Indonesia Raya pernah mengalami suasana 32 tahun totalitarian, pengelolaan politik yang tidak demokratis, aktor politik sipil tertekan dan mayoritas rakyat pun kurang bahagia.

Redupnya Demokrasi Subtantif
Dalam khasanah ilmu politik modern dalam pendekatan post-behavioral ada credo relevansi dan aksi perubahan, yang melakukan pemetaan varian model demokrasi universal, prosedural dan demokrasi subtantif. Rangkaian teori yang dikemukakan oleh Mochtar Mas’oed yang merujuk ke Philipe C. Schmitter dan ilmuwan politik lainnya.

Intinya suatu negara mesti memiliki pengakuan dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat secara universal yang bentuknya diwakili oleh faksi perwakilan politik dalam parlemen, untuk mengawasi eksekutif (siapa pun aktornya: Presiden Kepala Negara+pemerintahan, Perdana Menteri dan Yang dipertuan Agung), yang sedang berkuasa.

Ada pesan Lord Acton Negarawan Inggris: “Kekuasan cenderung disalah gunakan (korup), kekuasaan yang mutlak dengan sendirinya korup”. Demokrasi subtantif menenggakan kesejahtraan publik dengan cara kesetaraan, pelibatan partisipatif dialogis, transparansi dan akuntabilitas.

Untuk menghindari redupnya demokrasi subtantif, mestinya, ada pengakuan dan penerapan indikator berupa praktik check and balances atau saling mengawasi/simak dan saling imbang, antara legislatif dan eksekutif. Tidak mendiamkan, menggantung atau mengabaikan satu-sama lain. Untuk itu ilmuwan politik Sidney Hook misalnya berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan–keputusan pemerintahan yang penting mesti dikonsultasikan kepada wakil-wakil rakyat di parlemen yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengawasi eksekutif ketika membuat kebijakan publik.

Tidak boleh ia diabaikan atau “digantung”. Berkaitan dengan itu pemerintahan dan negara yang demokratis adalah pemerintahan yang mengajak dialog para wakil rakyat (Dewan Undangan Negeri) yang mendapat persetujuan dan memenangkan pilihan rakyat lewat pemilu.

Kita mengenal dalam literatur politik kawasan bahwa negara Malaysia adalah kerajaan yang berkonstitusi, dengan sistem demokrasi berparlemen. Teks “Rukun Negaranya" yang disusun pada 31 Agustus 1970 pada bagian pertama menyebutkan tujuan negara yang mau dibentuk yaitu negara Malaysia mendukung cita-cita hendak: Mencapai perpaduan yang lebih erat dalam kalangan seluruh masyarakatnya; Memelihara cara hidup demokratik; Mencipta satu masyarakat yang adil di mana kemakmuran negara akan dapat dinikmati secara adil dan saksama.

Hal ini sejalan dengan indikator demokrasi subtantif yang universal. Namun dalam perjalanan waktu, tentu akan mengalami dinamika pasang dan surut. Demokrasi dengan dasar kedaulatan yang diwakili oleh pihak oposisi dan pro pemerintah, sewajarnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, apalagi dalam suasana darurat pendemi. Pengabaian ini menjadikan demokrasi kian redup dan mengkhawatirkan.

Menuju Monarchy Absolut
Awal tahun ini 2021 ini misalnya, seperti halnya Indonesia, kerajaan Malaysia pun sibuk menangani Pendemi Covid-19 dengan relasi eksekutif dan llegisatif yang imbang. Presiden yang diwakili para menteri hadir di DPR RI untuk mendengar kritik Komisi IX yang meminta agar BPOM jangan diintimidasi dan tidak boleh ada denda bagi warga negara yang menolak vaksin. Justru eksekutif yang perlu transparan dan meyakinkan warga negara.

Begitu juga dialog terkait lock down, pembatasan pergerakan orang, penanganan C19, vaksin dan seterusnya berlangsung partisipatif. Dialog yang berbeda pandangan adalah biasa dalam demokrasi yang substantif, apalagi perbedaan perspektif diperlukan untuk melihat gambaran yang sebenarnya terjadi dari berbagai arah. Parlemen Indonesia membuka diri dengan eksekutif dalam membuat kebijakan publik di masa pandemic Covid-19.

Kita mengikuti perkembangan pengumuman “Darurat Sipil Pendemi” Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah pada selasa, 12 Januari 2021 yang lalu yang akan berlaku hingga 1 Agustus 2021. Semestinya, jika jarum waktu bisa diputar ulang, kebijakan tersebut mestinya melibatkan dan mendengar suara wakil rakyat yang ada di Parlemen seperti yang diatur dalam prinsip “rukun Negara Malaysia 1970”.  

Faktanya tidak terjadi, terkait keadaan darurat kerajaan yang cenderung mengabaikan prinsip checks and balances antara eksekutif dan legislatif, yang dihormati dan dipatuhi oleh semua negara yang menjunjung tinggi demokrasi universal dan subtantif yang mempertimbangkan kedaulatan rakyat. Sangat disayangkan jika kegiatan parlemen Malaysia “digantung/dihentikan”. Hal ini menandakan Malaysia kian menuju monarchy absolut.

Ada kabar dari Malaysia tentang kondisi kekinian di sana: “…Proklamasi Darurat diisytiharkan di awal tahun 2021 dan operasi institusi Parlimen digantung, maka secara otomatik sistem pemerintahan Malaysia yang berteraskan amalan demokrasi berpilihan raya dan berparlimen telah tumbang serta merta, menyebabkan Kabinet Kerajaan tidak lagi boleh berfungsi secara sah seperti biasa. Ini ialah kerana Kabinet Kerajaan yang demokratik hanya boleh wujud dan bergerak secara sah ketika Parlimen boleh bersidang dan beroperasi secara sah, dan tidak digantung oleh Proklamasi Darurat.

Pada hakikatnya, Proklamasi Darurat adalah pemaksaan kuasa pemerintahan secara totalitarian dan bercirikan tirani yang sangat merbahaya…”. Sejarah telah mencatat pengumuman darurat sipil terkait pendemi ini adalah pengumuman darurat ke-9 dalam sejarah Malaysia, setelah Darurat Tanah Melayu (1948-1960), Darurat Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1964), Darurat Sarawak (1966), Darurat Rusuhan Kaum 13 Mei (1969), Darurat Kelantan (1977), Darurat Asap/Jerebu (1997, 2005, 2013), Darurat Parlimen Batu Sapi (2020), Darurat Parlimen Gerik dan DUN Bugaya (2020).

Akan menjadi monarchi absolute jika pengumuman darurat negara itu mengabaikan suara rakyat yang diwakili oleh anggota parlemen. Apalagi “menggantung” operasi kegiatan parlemen demi memuluskan kuasa tunggal Perdana Menteri dan Yang dipertuan Agong” yang kian turun keagungannya.

Pepatah Melayu dan juga Nusantara mengingatkan kepada lapisan generasi lewat tradisi linsan dan tulisan bahwa “Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggh”. Hal ini tajam dan keras sekali diingatkan oleh generasi terdahulu untuk anak-cucunya tentang bagaimana tata Kelola negara yang baik, arif dan bijaksana.

Kita berharap ada rekonsiliasi dan kerja sama yang baik antara Yang Dipertuan Agung, Perdana Menteri, para anggota parlemen faksi UMNO Pakatan Harapan-Perikatan Nasional dengan faksi Oposisi (Pakatan Rakyat). Alangkah indahnya jika parlemen dan eksekutif di negeri serumpun ini masu saling berdialog dalam mekanisme cheks and balances, yang di Pertuan Agong, mau melibatkan dan mendengar kekhawatiran dan peringatan dini yang disampaikan untuk semua pihak yang menjadi warga negara jiran Nusantara

ini. Kita tidak ingin Malaysia terperangkap dalam monarchy absolut ketika dunia di puncak pendemi ini. Kepemimpinan di masa krisis tokoh-tokoh tersebut sedang diuji dan diawasi oleh pengamat kawasan dan aktor politik global. Ke

mana arah demokrasi negara-negara di masa pendemi? Semoga rakyat Malaysia dan Nusantara dikelola secara demokratis di masa pendemi ini. Wallahua’lam bisawab.

 
Berita Terpopuler