Jalan Keluar Bagi Klisenya Persoalan Sampah

Perlu dibangun kebiasaan mengelola sampah sejak dini melalui pendidikan anak.

EPA-EFE/MADE NAGI
Pekerja membersihkan tumpukan puing dan sampah plastik yang dibawa oleh gelombang kuat di Pantai Kuta di Bali, Indonesia, 01 Januari 2021.
Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Klisenya persoalan sampah sejak dahulu kala membuat lebih banyak orang memilih untuk tak peduli, bahkan masa bodoh. Sementara sebagian yang lain justru menggantungkan hidup dari bisnis daur ulang sampah yang sejatinya amat menjanjikan.

Namun sebenarnya, solusi integral untuk mengatasi masalah sampah di tanah air belum sepenuhnya memiliki peta jalan yang jelas. Maka menjadi kabar baik ketika pada awal tahun ini saat semua pihak fokus pada penanganan pandemi, pemerintah menyatakan akan mencari jalan keluar terbaik melalui sinergi terkait masalah sampah.

Mereka menyadari bahwa penanganan sampah perlu kerja sama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, dan seluruh lapisan masyarakat. Kolaborasi ini pun diyakini akan menjadi kemitraan yang inklusif dalam upaya penanganan sampah, baik yang ada di darat maupun di laut.

Dengan adanya keterlibatan lebih banyak pihak, penanganan sampah bukan lagi sekadar kerja sama bisnis seperti yang sudah dilakukan sebelumnya. Tapi lebih dari itu, sampah adalah masalah lingkungan yang harus diselesaikan secara bersama.

Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menekankan perlunya membangun kebiasaan atau habit untuk mengelola sampah ini dari awal bagi masyarakat Indonesia. Artinya, mulai dari tingkat PAUD atau pendidikan anak usia dini perlu adanya program pendidikan terkait bagaimana cara pengolahan sampah yang baik dan benar.

Menurut dia, masyarakat memang harus dididik dari sejak usia dini. Apalagi selama ini di negara lain seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara di Eropa bisa melakukan itu, maka bukan tidak mungkin Indonesia pun bisa melakukannya.

Untuk itu, ia melihat pentingnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang juga harus dilibatkan dalam sinergi untuk pemecahkan permasalahan sampah.

Selain itu, dia juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam pengelolaan sampah. Semua harus berbagi peran dan paham tugas masing-masing mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah kabupaten/kota.

“Dalam hal ini, semua kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sampah ini harus benar-benar diimplementasikan secara nyata,” katanya, belum lama ini.

 

Keterlibatan Industri

Sampah adalah masalah bersama sehingga solusinya pun harus melibatkan semua pihak termasuk pelaku industri. Industri juga memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah ini misalnya saja perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang selama ini banyak produknya menjadi sampah bernilai ekonomi tinggi karena bisa didaur ulang.

Sebagai pemimpin pasar AMDK, Aqua, misalnya juga sudah berupaya untuk menggunakan kembali botol kemasannya alias reuse sehingga diharapkan bisa menjadi contoh bagi pelaku usaha serupa lain.

Memang ke depan pengelolaan sampah ini, tidak hanya isu lingkungan saja yang harus diperhatikan tapi juga pengembangan ekonominya. Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK, Ujang Solihin Sidik mengatakan perlunya membangun format ideal yang menyinergikan antara semua pihak dalam pengelolaan sampah plastik di Indonesia.

“Jadi pemerintah punya kewajiban, masyarakat punya kewajiban, dan produsen ada kewajiban. Jadi kita padankan, ini format ideal yang harus kita bangun. Soal kemitraan itu pada tingkat selanjutnya, yang penting kita harus sepakat dulu, memahami pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.

Iskandar Hardjodimuljo menyelesaikan pembuatan wayang uwuh atau limbah rumah tangga di Cawang, Jakarta, Rabu (2/12/2020). Wayang dari bekas botol air mineral, karton pembungkus makanan serta plastik tersebut dipasarkan secara daring akibat pandemi COVID-19 yang dijual Rp15 ribu hingga Rp200 ribu per buah. - (ANTARA/Wahyu Putro A)

Sementara itu sebenarnya pun Kemenperin telah mendorong industri, termasuk industri plastik untuk menerapkan presentasi industri hijau dalam kegiatan usahanya.

Sebagaimana disampaikan Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, Muhammad Taufiq yang menyebutkan bahwa sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Industri maka industri diminta menerapkan presentasi hijau dalam usahanya. Kata Taufiq, industri hijau itu juga telah mewacanakan tentang sirkular ekonomi seperti yang diinginkan Kemenko Perekonomian.

Tercatat dari 7,2 juta ton sampah plastik yang dihasilkan pertahun, yang dibuang itu hanya 2,8 juta ton. Dari 2,8 juta ton yang dibuang itu, juga masih bisa digunakan sebanyak 1,1 juta ton. 

“Ini dapat digunakan oleh industri ‘recycle’ sebagai bahan baku, sedangkan sisanya sebesar 1,6 juta ton memang tidak bisa,” tuturnya.

 

Daur Ulang

Ada keyakinan jika dilakukan pengelolaan manajemen sampah yang baik, sampah plastik yang bisa didaur ulang menjadi bahan baku plastik tahun ini bisa bertambah dan waste-nya akan berkurang. Hal ini sekaligus bisa menyuplai kebutuhan bahan plastik dalam negeri termasuk bisa mengurangi importasi bahan plastik dari luar negeri.

Tapi memang pengelolaan manajemen sampah yang baik itu perlu melibatkan semua stakeholder, tidak hanya industri saja. Jadi dalam hal pelaksanaan EPR atau “Extended Producer Responsibility”, industri juga memerlukan dukungan dari banyak pihak.

Artinya, tidak hanya produsen saja yang dimintakan tanggung jawabnya terhadap sampah yang dihasilkan, tapi seluruh stakeholder harus ikut terlibat dalam penanganan sampah tersebut.

Karena, sampai saat ini sebenarnya pun masih terlihat rendahnya penerapan EPR ini, salah satunya disebabkan karena kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah terutama dari infrastruktur milik pemerintah.

Selain itu, juga karena tidak adanya insentif yang diberikan kepada bisnis industri yang telah menerapkan EPR juga industri daur ulang. Kemudian, tidak ada kewajiban mengikat bagi pelaku usaha dalam bentuk laporan wajib pada program EPR ini.

Petugas mengontrol cairan karbon aktif yang keluar dari Mesin Pilorisis hasil daur ulang sampah plastik di Tempat Pembuangan Sampah Akhie (TPSA) Cilowong, Serang, Banten, Senin (6/7/2020). Sampah plastik, sampah yang paling sulit diurai dan sangat polutif bagi lingkungan kini bisa diurai menjadi bahan bakar minyak dan cairan karbon aktif dengan Mesin Pirolisis (peleleh plastik tanpa oksigen di atas 400 derajat celsius hingga berubah menjadi gas dan cairan karbon) buatan pakar mesin karbon Dr Ishennny dari Aceh. - (ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN)

Yang tak kalah penting adalah karena belum ada aturan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, sehingga pemerintah daerah belum mengeluarkan peraturan yang mengikat perusahaan yang menghasilkan limbah. Karena itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah, masyarakat, dan industri dalam menerapkan EPR di Indonesia.

Salah satu contoh daerah yang berhasil mengelola sampahnya dengan baik dan ditiru oleh daerah-daerah lainnya adalah Kabupaten Lamongan. Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Lamongan, Anang Taufik, menyampaikan setiap bulan Kabupaten Lamongan bisa mengurangi sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dari 1.200 ton menjadi 500 ton pada 2020.

Hal itu bisa dilakukan sejak dibangunnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Sampahku Tanggungjawabku (TPST Samtaku), yang dikelola oleh PT Reciki Solusi Indonesia. TPST ini berdiri di atas lahan seluas 5.500 meter persegi dengan kapasitas maksimal 60 ton sampah per hari. 

Tak hanya itu, TPTS Samtaku ini melayani sampah 15.000 rumah tangga serta kawasan industri dan komersial yang ada di Kabupaten Lamongan. Masyarakat dapat mengelola sampah di daerah itu karena perjuangan dan kepedulian bersama, tidak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat dan semua pihak-pihak terkait. TPST Samtaku ini juga adalah kolaborasi multipihak, yaitu Pemkab Lamongan, Danone Indonesia, PT Reciki Solusi Indonesia, dan Dompet Dhuafa.

Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti mengatakan pemerintah perlu juga merangkul sektor informal dalam pengelolaan sampah ini. Hal ini mengacu pada data survei SWI yang menunjukkan bahwa 82 persen dari pengumpulan plastik di Indonesia dikontribusi dari sektor informal.

Sehingga advokasi mereka juga mengarahkan bahwa sektor informal ini harus dirangkul, harus disertakan dalam sebagai program pemerintah untuk lingkungan.

Dia juga sepakat dengan adanya kolaborasi semua stakeholder dalam penanganan masalah sampah di Indonesia. Semua memang dinilainya harus berperan, baik pemerintah, industri, distributor, konsumen, itu semua punya peran. 

 

Pada akhirnya membuang sampah dengan benar, memilah sampah dengan baik, menjadi kunci utama solusi awal persoalan sampah. Dan lebih jauh dari itu, kolaborasi adalah pilihan terbaik.

 
Berita Terpopuler