Temuan Mesin Dukung Analisis Sriwijaya tak Meledak di Udara

KNKT duga mesin Sriwijaya Air masih bekerja hingga pesawat membentur laut.

Edwin Dwi Putranto/Republika
Tim investigasi KNKT melakukan pemeriksaan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Dermaga JICT 2, Jakarta, Selasa (12/1). KNKT menerima sejumlah komponen pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Komponen pesawat yang sudah bisa diidentifikasi mulai dari ekor pesawat, beberapa instrumen pesawat seperti GPWS dan radio altimeter, hingga peluncur darurat. Foto : Edwin Putranto/Republika
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Antara

Bagian-bagian dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh ke perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, ditemukan satu per satu. Salah satu temuan penting yang bisa membantu menganalisa penyebab jatuhnya SJ 182 adalah bagian mesin, turbine disc.  

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, mengatakan turbine disc ditemukan dengan kondisi fan blade rusak. "Kerusakan fan blade menunjukkan bahwa kondisi mesin masih bekerja saat mengalami benturan," kata Soerjanto dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika, Selasa (12/1).

Dia menambahkan, hal tersebut membuktikan sangat sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi. Khususnya sampai dengan pesawat pada ketinggian 250 kaki.

Dari rekaman radar Airnav yang dikumpulkan KNKT, terdata SJ 182 masih berada di radar saat ketinggian 250 kaki. Artinya, sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirimkan data. "Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," kata Soerjanto.

Dia merinci, dari data Airnav Indonesia, tercatat pesawat mengudara pada pukul 14.36 WIB. Selanjutnya pesawat terbang menuju arah barat laut pada pukul 14.40 WIB hingga mencapai ketinggian 10.900 kaki. "Tercatat pesawat mulai turun dan data terakhir pesawat pada ketinggian 250 kaki," ujar Soerjanto.

Temuan puing yang diambil dari data KRI Rigel juga turut dianalisa KNKT. Menurut data KRI Rigel, sebaran puing dan sisa pesawat memiliki besaran dengan lebar 100 meter dan panjang 300 sampai 400 meter.

"Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air," kata Soerjanto.

KNKT memastikan hingga saat ini investigasi masih terus berlangsung. Salah satu pencarian yang difokuskan adalah lokasi kotak hitam. Mengenai kotak hitam, Soerjanto mengatakan pencarian flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) masih dilakukan. Setiap pesawat memiliki dua kotak hitam yakni FDR yang berisi rekaman data perjalanan pesawat dan CVR berisi rekaman data percakapan pilot di dalam kokpit.

"Upaya pencarian kotak hitam berupa FDR dan CVR telah menangkap sinyal dari locator beacon," tutur Soerjanto.

Soerjanto mengatakan, dari sinyal yang diperoleh sudah dilakukan pengukuran dengan triangulasi. Selanjutnya ditentukan perkiraan lokasi seluas 90 meter persegi.

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak sempat menunda penerbangannya selama 30 menit. Dirut Sriwijaya dalam keterangan pers Sabtu (9/1) malam mengatakan penundaan dilakukan akibat cuaca buruk.

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) mengatakan tidak ada cuaca ekstrem saat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak di perairan Kepulauan Seribu. "Tampak berawan, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin.

Berdasarkan pantuan Sadewa (Satellite-based Disaster Early Warning System) Lapan, tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian. Perkiraan kondisi atmosfer dari aplikasi Sadewa Lapan menggunakan Satelit Himawari-8 9 (awan tumbuh) dan model WRF (angin dan hujan) menunjukkan di sekitar titik kejadian tidak ada kondisi atmosfer ekstrem.

Thomas mengatakan walau ada proses pembentukan sistem konveksi di sekitar titik kejadian, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem. "Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," ujarnya.

Analisis dinamika atmosfer menunjukkan sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB pada 9 Januari 2021. Sistem itu kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.





Baca Juga

Beragam spekulasi muncul mengenai penyebab jatuhnya Sriwijaya Air. Kemenhub memastikan pesawat tersebut masuk dalam data pengawasannya dan telah dinyatakan laik terbang sebelum insiden terjadi.

Pesawat tersebut sebelumnya sempat tidak beroperasi namun kembali aktif membawa penumpang pada Desember 2020. “Pada 19 Desember 2020, pesawat mulai beroperasi kembali tanpa penumpang dan pada 22 Desember 2020, pesawat beroperasi kembali dengan penumpang,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto, Senin (11/1) malam.

Berdasarkan data yang ada, lanjut Novie, sebelumnya pesawat tersebut masuk hanggar pada 23 Maret 2020. Semenjak masuk hanggar, Novie mengatakan pesawat tersebut tidak beroperasi sampai Desember 2020.

Sebelum beroperasi kembali, Novie memastikan Kemenhub memeriksa kelaikan udaranya. “Kemudian, Ditjen Perhubungan Udara melakukan inspeksi pada 14 Desember 2020,” tutur Novie.

Novie menambahkan, Kemenhub menindaklanjuti perintah kelaikudaraan atau airworthiness directive yang diterbitkan Federal Aviation Administration (FAA). Dia mengatakan, Kemenhub sudah menerbitkan perintah kelaikudaraan pada 24 Juli 2020.

“Perintah Kelaikudaraan tersebut mewajibkan operator yang mengoperasikan pesawat jenis Boeing 737-300/400/500 dan B737-800/900 untuk melakukan pemeriksaan engine sebelum dapat diterbangkan,” jelas Novie.

Selanjutnya, Novie menegaskan, Kemenhub juga memastikan pelaksanaan perintah kelaikudaraan tersebut telah dilakukan. Khususnya juga dilakukan pada semua pesawat sebelum dioperasikan kembali.

Sebelum terbang kembali, lanjut Novie, Kemenhub juga telah melaksanakan pemeriksaan korosi pada kompresor tingkat lima pada 2 Desember 2020. “Pemeriksaan ini dilakukan oleh inspektur kelaikudaraan Ditjen Perhubungan Udara,” tutur Novie.

Selain itu ada pula spekulasi mengenai usia armada yang pertama kali digunakan tahun 1994 tersebut. Analis kebijakan dan komunikasi industri penerbangan, Kleopas Danang Bintoroyakti. mengatakan umur pesawat bukan menjadi satu-satunya penentu faktor keselamatan keselamatan penerbangan.

"Umur pesawat bukan menjadi penentu faktor keselamatan, karena faktor maintenance(perawatan) lah yang turut menentukan,"kata Danang.

Pesawat berbadan sedang tipe Boeing 737-500 itu diproduksi pada 1994 atau telah berusia 26 tahun. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 155 Tahun 2016 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga, pesawat terbang kategori transportasi penumpang yang beroperasi di Indonesia paling tinggi berusia 35 tahun. Adapun pesawat terbang selain kategori tersebut maksimal berusia 45 tahun.

Terkait jenis pesawat Boeing 737-500, Danang menilai Boeing 737 seri Classics itu cukup tangguh.

"Jadi, kalau kita lihat zaman-zamannya pesawat ini berjaya, Boeing 737 Classics itu seperti Boeing 737-300, -400, -500 itu menjadi tipe pesawat yang memang paling laris di pasarnya (pesawat narrow bod/berbadan sedang) terutama digunakan untuk maskapai-maskapai yang mengoperasikan rute regional dan domestik," kata alumni ICAO Young Aviation Professional itu.

Dia menambahkan dari sisi spesifikasi seperti kapasitas penumpang, kargo, serta penggunaan bahan bakar lebih efisien dibandingkan versi pendahulunya Boeing 737-200. Selain itu, lanjut Danang, struktur, sistem pengoperasian varian Boeing 737-300, -400,-500 ini memiliki kesamaan dan license common type rating untuk penerbang.

"Sehingga, tentunya memberikan nilai ekonomis tersendiri untuk maskapai yang mengoperasikan Boeing 737 Classics,"katanya.

Dia menuturkan Boeing 737-500 merupakan varian Boeing 737 yang terpendek sehingga kapasitas tempat duduk lebih sedikit, yakni 100 penumpang. Perbandingannya adalah Boeing 737-300, -400 namun memiliki jarak tempuh yang sedikit lebih jauh dibandingkan versi -300 dan -400, yakni 2.375 nautical mile atau setara dengan 4.398 kilometer.

"Dari segi operational requirement (syarat pengoperasian) seperti panjang runway(landasan pacu) kurang dari 2.000 m +- 1.830 m, yang memberikan fleksibilitas untuk dioperasikan ke bandara-bandara sekunder,"katanya.

Namun, Danang mengatakan untuk Boeing 737-500 mayoritas sudah dipensiunkan (phase out) biasanya pada umur 21 tahun.

Kecelakaan pesawat - (Republika)




 
Berita Terpopuler