Mengapa Standar Emas Pengobatan Bipolar Kerap Gagal?

Hanya sepertiga pengidap gangguan bipolar yang merespons pengobatan lithium.

EPA
Kanye West, salah seorang selebritas yang mengidap gangguan bipolar.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Selama ini, lithium dianggap sebagai standar emas untuk mengatasi gangguan bipolar. Faktanya, hampir 70 persen orang dengan gangguan bipolar tidak meresponsnya dengan baik. 

Hal ini membuat pengidap gangguan bipolar berisiko mengalami perubahan suasana hati yang melemahkan dan berpotensi mengancam nyawa. Para peneliti di Salk Institute telah menemukan bahwa penyebabnya mungkin terkait dengan aktivitas gen atau kekurangan gen.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Profesor Salk dan Presiden Rusty Gage, menunjukkan bahwa penurunan aktivasi gen yang disebut LEF1 mengganggu fungsi neuron normal dan meningkatkan hipereksitabilitas dalam sel-sel otak. Ini adalah ciri khas dari gangguan bipolar. 

Temuan itu tampak dalam publikasi di jurnal Molecular Psychiatry pada 4 Januari 2021. Dilansir Times Now News, Jumat (8/1), studi ini diharapkan dapat menghasilkan obat baru yang ditargetkan untuk gangguan bipolar serta penanda biologis atas tidak responsifnya tubuh terhadap lithium.

Baca Juga

"Hanya sepertiga dari pasien yang merespons lithium dengan hilangnya gejala," kata Renata Santos, penulis pertama studi dan kolaborator penelitian Salk.

Santos menjelaskan bahwa para peneliti tertarik pada mekanisme molekuler di balik resistensi lithium, yang menghalangi pengobatan lithium pada orang yang tak merespons terapi tersebut. Mereka menemukan bahwa keberadaan LEF1 dalam neuron kurang pada pengidap gangguan bipolar yang tak merespons pemberian lithium. 

"Kami sangat senang melihat bahwa kita bisa meningkatkan LEF1 dan gen yang bergantung padanya, menjadikannya target baru untuk intervensi terapeutik pada gangguan bipolar," ujarnya.

Studi ini didasarkan pada temuan tim sebelumnya, yang melaporkan bahwa neuron orang dengan gangguan bipolar yang tidak merespons lithium lebih lebar, bekerja dengan cara berbeda (lebih mudah distimulasi atau hipereksitasi), dan memiliki peningkatan aliran kalium.

Subjek dalam studi tim saat ini mencakup orang yang responsif terhadap lithium, orang yang tak responsif terhadap lithium, dan orang tanpa gangguan bipolar (kontrol). Dengan menggunakan metode sel punca, para peneliti menumbuhkan neuron dari sel darah subjek dan membandingkan disposisi genetik dan perilaku neuron untuk ketiga kelompok.

Mereka melihat banyak gen di seluruh papan. LEF1 tampak menonjol sebagai salah satu yang paling berbeda di orang yang tak merespons lithium. Biasanya, LEF1 memainkan peran yang menentukan dalam fungsi saraf dengan memasangkan dengan protein lain yang disebut beta-catenin.  

Pasangan tersebut biasanya mengaktifkan gen lain yang mengatur tingkat aktivitas di neuron. Dalam mengontrol atau merespons neuron, lithium memungkinkan beta-catenin untuk berpasangan dengan LEF1. 

Tetapi pada orang yang tidak merespons lithium, lithium tidak efektif karena level LEF1 terlalu rendah untuk terjadi pairing. Alhasil, tidak ada regulasi aktivitas sel.

Ketika tim memberikan asam valproik, pengobatan yang sering digunakan untuk orang yang tubuhnya tidak responsif terhadap lithium, pengukuran menunjukkan adanya peningkatan kadar LEF1 dan aktivasi gen relevan lainnya. Dan ketika tim membungkam gen LEF1 di neuron kontrol, mereka menemukan bahwa gen terkait tidak diaktifkan.  

Hasil ini menunjukkan peran penting yang dimainkan LEF1 dalam mengendalikan hipereksitabilitas saraf.

"Saat kami membungkam gen LEF1, neuron menjadi hipereksitabilitas," kata Shani Stern, salah satu penulis pertama studi dan ilmuwan tamu Salk.  

"Dan ketika kami menggunakan asam valproik, ekspresi LEF1 meningkat, dan kami menurunkan hipereksitabilitas. Itu menunjukkan ada hubungan kausatif, dan itulah mengapa kami pikir LEF1 mungkin menjadi target yang mungkin untuk terapi obat," jelasnya.

LEF1 juga dapat membantu peneliti mengembangkan tes skrining untuk daya responsif. Saat ini, dokter hanya dapat menentukan apakah pasien responsif terhadap lithium dengan memberikan rangkaian pengobatan lengkap, yang bisa memakan waktu satu tahun.

Sekarang, aktivitas LEF1 yang lemah mungkin menjadi indikator bahwa pasien tidak akan merespons lithium, memungkinkan cara yang lebih cepat dan lebih efisien untuk menyusun terapi.

 
Berita Terpopuler