Di Ujung Maut Pasien Covid dengan Dua Komorbid

Pelan tetapi pasti, kondisi MSW semakin membaik.

Tangkapan Layar/Arif Supriyono
Pasien tengah menjalani perawatan penyembuhan covid-19. Selama jalani perawatan muncul solidaritas dengan pasien lain. Mereka saling membantu dan memberi semangat satu sama lain.
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono*

Begitu hasil tes PCR menyatakan positif covid-19, Pak Sd dan Ibu MSW mengumumkan hasil itu di grup Whatsapp (WA) masing-masing. Warga RT 07 Pengasinan, Sawangan, Depok pun geger lantaran baru sekitar sepekan pasutri tersebut mengadakan acara lamaran anak perempuannya dan mengundang beberapa tetangga serta saudara. Saya sempat kontak dekat dengan Pak Sd 30 menit sebelum acara lamaran karena diminta mewakili keluarganya untuk memberi sambutan. Saat acara berlangsung, saya juga duduk berdekatan dengan Pak Sd.

Dua hari sebelum acara, istri saya (Tanty Kurniawati) sempat mengeroki MSW (sekitar 54 tahun) yang kala itu mengeluh masuk angin. Bahkan saat acara lamaran, ada tetangga saya yang menyuapi MSW, karena terlalu sibuk serta belum sempat makan dan menyuapi diri sendiri dengan memakai sendok yang sama.

Kami semua lalu tes swab antigen, hasilnya semua negatif covid dan hanya ada satu tetangga yang positif. Belum bisa dipastikan yang positif itu tertular dari siapa karena istrinya juga positif, padahal tidak hadir di hajatan lamaran tersebut.

Beberapa hari setelah itu, MSW dijemput ambulans dan dirawat di RSUD Depok di ruang isolasi. Suaminya tetap menjalani isolasi di rumah. MSW merasa sangat bersedih karena sempat menganggap anak-anaknya (tiga orang dan yang terkecil kelas 10 SMA) tak mau merawatnya. Apalagi, begitu masuk ruang isolasi, kondisinya dirasakan amat mencekam. Di ruang IGD yang sempat dia lewat, kapasitas ruangan bisa dikatakan sesak dan penuh pasien.

Wajah-wajah menggeletak tak berdaya pun ditemuinya di ruang isolasi. Mereka semua seolah tinggal menunggu panggilan untuk menghadap Yang Mahakuasa. Beberapa hari setelah MSW dirawat, memang ada pasien yang meninggal.

MSW menceritakan hal itu pada istri saya melalui WA sembari sesenggukan. Di kemudian hari, ada lagi pasien lain yg meninggal. 

"Saya merasa hidup saya tak akan lama. Saya pasrah, Bu," kata MSW pada istri saya lewat WA diiringi tangisan perlahan. 

MSW bersama perawat di rumah sakit. - (Tangkapan Layar/Arif Supriyono.)

Ketika itu, gula darah MSW menunjukkan angka 396, melewati batas 200. Tekanan darahnya pun tinggi, di kisaran 190/100. Artinya, selain covid, lengkaplah gangguan kesehatan bawaan (komorbid) lain yang diderita MSW.

Pasien covid yang memiliki komorbid, risiko kematiannya memang lebih tinggi. Batuk berat, sesak napas, dan hilangnya penciuman (serta berkurangnya rasa di lidah) masih dia alami.

Untuk menambah ketenangan MSW, istri saya mengirimkan beberapa bacaan dan surat-surat Alquran. Logika istri saya, jika pikiran makin tenang dan tidak selalu dihinggapi rasa khawatir, imunitas tubuh akan kian meningkat dan itu lebih efektif untuk menahan gempuran beruntun virus corona.

Para tetangga juga memberi perhatian pada MSW dan yang positif covid lainnya di lingkungan kami dengan memasok makanan secara bergiliran untuk keluarga yang tinggal di rumah. "Bu terima kasih lauk-lauk untuk suami dan anak-anakku. Bu terima kasih kiriman makanan untuk anak-anak dan bojoku".

Ucapan ini sering dilontarkan MSW dan lainnya di grup WA. Ini berarti, yang di rumah juga mengabari adanya kiriman makanan untuk anggota keluarga mereka.

Kondisi MSW rupanya belum juga membaik dan dia semakin pasrah. Ia merasa perlu mempersiapkan diri menyongsong hari sakaratul maut.

"Benar, saya harus memperbanyak bacaan yang baik-baik (Alquran)  sebelum menghadap Allah. Saya tak mau hanya meraung-raung semata saat hendak menyambut kematian ini. Saya tak ingin mati dengan kondisi seperti itu," tutur MSW dalam hati.

Semua obat dan asupan makanan dia konsumsi sesuai petunjuk tim medis rumah sakit. Dia tak ingin kondisinya makin memburuk hanya lantaran tidak disiplin mengonsumsi obat dan makanan.

Di hari lain, ada lagi pasien covid yang berusia sekitar 70 tahun dan baru masuk. Pasien lain memanggilnya nenek. Sang nenek itu juga menderita gula darah tinggi. Angkanya di sekitar 500. Nyaris setiap malam nenek itu mengalami halusinasi dengan berteriak-teriak.

MSW dan pasien lain pun merasa terganggu jam tidurnya tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Di hari-hari sebelumnya, suasanya nyaris seperti di pemakaman lantaran mencekam dan hening. Setelah kehadiran nenek, suasana malam menjadi sangat berisik tetapi tetap mencekam karena teriakan-teriakan nenek yang meraung-raung tanpa henti.

Melihat kondisi yang semakin tidak membuat nyaman itu, MSW pun merasa makin dekat jarak hidupnya dengan kematian. Dia membayangkan hanya tinggal menyeberang untuk menuju jembatan kematian itu.

Dia tingkatkan bacaan mengajinya selama dalam perawatan itu. Setiap ada kesempatan, mengaji pun telah menjadi ritual wajibnya di rumah sakit.

MSW bersama pasien covid-19 yang dirawat di rumah sakit. - (Tangkapan Layar/Arif Supriyono)

Kondisi fisik MSW belum juga membaik. Batuk berat sepanjang malam masih dideritanya. Napas pun terasa sesak dan bagaikan keluar satu-satu dari hidung diiringi tarikan berat terengah-engah.

"Oh seperti inilah rasanya orang akan mati," kata MSW dalam batinnya sambil meneteskan air mata.

Cukup lama hidup dalam perawatan dan ketidakpastian untuk sembuh, rupanya muncul suasana baru. Para pasien kemudian saling berkenalan.

Solidaritas dengan pasien lain pun tumbuh sejak kehadiran nenek itu. Mereka saling memberi semangat. Sering pula mereka menyapa dan menyuapi si nenek yang tidak bisa makan sendiri.

Nenek itu pun dihiburnya. Rupanya, nenek itu teramat bersedih lantaran setelah beberapa hari di rumah sakit, dua anaknya sama sekali tak pernah meneleponnya untuk menanyakan kabar. Justru dia lebih dulu yang senantiasa menelepon anak-anaknya.

Pada hari lain, masuk pula pasien covid perempuan dengan dandanan 'masa kini'  yang berusia sekitar 40 tahun. Meski menderita covid, gaya hidup ibu muda ini tampak amat santai dan cuek.

Seringkali dia berinisiatif menelepon teman-temannya dengan gaya bicara lepas, layaknya tanpa beban dan sedang tidak menghadapi ancaman kesehatan. Batuk berat dan sesak napas seolah tak dirasakannya. Teramat sering ibu muda itu tertawa lepas saat bertelepon, seperti  tiada beban.

Justru kondisi itulah yang membuat MSW kaget. "Ya Allah, ibu muda itu tetap riang walau mengalami sakit serius. Saya bertekad harus bisa tetap ceria seperti ibu muda itu. Aku tidak boleh terbebani oleh rasa sakit ini. Aku pasrahkan semua pada Allah, toh kami semua sudah berusaha. Saya harus tetap menghadapi semua ini dengan optimistis dan suasana hati yang ceria," ujar MSW.

Pelan tetapi pasti, kondisi MSW semakin membaik. Sesama pasien juga makin intens bertegur sapa dengan suasana lebih cair.

Jika pun ada kabar pasien meninggal, mereka menghadapinya dengan lebih tenang. Hal itu dianggap takdir dan jalan terbaik untuk berpindah menuju alam keabadian yang merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap insan.

Batuk dan sesak napas yang dirasakan MSW kian berkurang. Panas badannya juga hilang. Penciuman dan lidahnya  makin berfungsi.  Alhamdulillah, setelah hampir dua minggu dirawat, tadi malam (7 Januari 2021), MSW dinyatakan sehat, bisa kembali ke rumah,  dan dijemput suaminya yang juga sudah tampak sehat.

Sebagai tetangga, kami ikut senang dan bersyukur atas anugerah sehatnya kembali MSW dan keluarganya. Semoga kesehatan senantiasa menyertai kita semua dan pandemi ini segera berlalu. Aamiin ya rabbal alamin.

*) Penulis adalah mantan wartawan Republika.

 
Berita Terpopuler