Lanjutan Serial: Memahami Pan Islamisme dan Khilafah

Memahami sejarah Pan Islamisme dan Khilafah

google.com
Para orang kaya di zaman Ottoman (ilustrasi)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, --  Oleh: Muhammad Nicko Trisakti Pandawa, Alumni  UIN JAKARTA jurusan Sejarah Peradaban Islam.

Dinasti ‘Uṡmāniyyah merupakan sebuah kekuasaan yang didirikan oleh Osmān Gāzī b. Ertuğrul (w. 1326), pemimpin bangsa Turki pada abad pertengahan.

Osmān dan pasukannya mengalahkan 2.000 pasukan Kristen Byzantium, kemudian berhasil menduduki kota Nicaea (İznik, Republik Turki hari ini) pada tahun 1302.

Tahun tersebut dijadikan patokan atas berdirinya Negara ‘Usmāniyyah (Osmanlı Devleti) yang seterusnya akan senantiasa dipimpin oleh keturunan Osmān Gāzī.

Saat itu, dinasti ‘Uṡmāniyyah bukanlah satu-satunya negara Islam yang eksis. Ada banyak pula dinasti-dinasti lain yang mempunyai kekuasaan otonom seperti dinasti Mamlūk (Mesir, Syam, dan Hijaz), Tīmūriyyah (Transoxania dan Persia), Qarā Qayūnlū (Irak dan Kaukasus), Marīniyyūn (Maroko), Pasai (Melayu), dan lain-lain.

Walau kekuasaan dari masing-masing dinasti itu otonom, pada umumnya mereka tunduk dan berloyalitas kepada Khalīfah dari Banī ‘Abbāsiyyah sebagai pemimpin legitimate kaum Muslim sedunia, walaupun gelar ‘Khalīfah’ yang disandang Banī ‘Abbāsiyyah saat itu hanya sekedar ‘pemimpin spiritual’ yang namanya selalu disebut tatkala khutbah Jumat dan namanya dicetak di atas mata uang.

Kekuasaan Mamlūk di Mesir menjadi pusat gravitasi dunia Islam dengan Khalīfah Banī ‘Abbās di sisi mereka sebagai daya tariknya.

Tatkala Fatiḥ Sultan Meḥmet II (k. 1451-1481) dari dinasti ‘Uṡmāniyyah berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453, dia mengirimkan surat kepada Sultan Mamlūk yang baru naik takhta, Ināl (k. 1453-1461) akan berita kemenangan tersebut.

Ināl pun segera mengirim utusan ke Konstantinopel yang dijadikan Meḥmet II sebagai ibukota ‘Uṡmāniyyah yang baru itu untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya.

Tapi hal tersebut tak berlangsung lama, karena pada 1454 Sultan Ināl memutuskan untuk membantu musuh bebuyutan Meḥmet II dari dinasti Karaman, Akkoyunlu.

Sebagaimana yang dicatat Ibn Iyās, setelah itu tidak ada lagi pengiriman utusan persahabatan antara ‘Uṡmāniyyah dan Mamlūk.

Ketika masa pemerintahan Bayezid II maka Mamlūk dan ‘Uṡmāniyyah menjalin hubungan baik kembali karena keduanya saling membutuhkan untuk melawan dinasti Ṣafāwiyyah di Persia. Baik ‘Uṡmāniyyah maupun Mamlūk menganggap persebaran sekte Syiah yang didukung oleh Ṣafāwiyyah adalah suatu hal yang berbahaya.

Ketika Selim I naik tahta tahun 1512, Mamlūk mengirimkan utusannya yang bernama Emīr Akbāy untuk memberikan selamat.

Namun hubungan Mamlūk dan Selim I memburuk khususnya setelah anak- anak dari pangeran Aḥmet, yaitu Süleyman dan Alauddin yang mengancam kedudukan Selim I mengungsi ke Kairo dibawah perlindungan Sultan al-Asyraf Qānsūh al-Gawrī dari Mamlūk.

Hal tersebut tentu membuat Selim I menjadi marah. Qānsūh al-Gawrī yang menyadari konsekuensi perbuatannya juga turut bersiap-siap menghadapi kemarahan Selim I. Untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaannya di hadapan pasukan ‘Uṡmānī, Qānsūh al-Gawrī menyuruh Khalīfah al-Mutawakkil III untuk berangkat ke medan peperangan Marj Dābiq di Suriah, sesuatu yang menurut Ibn Iyās tidak pernah dilakukan oleh sultan-sultan Mamlūk sebelumnya.

Namun sayang, usaha Qānsūh al-Gawrī yang demikian kurang digubris oleh manusia, karena kepemimpinannya sendiri dirasakan oleh rakyatnya begitu zalim. Akhirnya dia juga turut berangkat ke Suriah dan menempatkan keponakannya, Ṭūmānbāy, sebagai wakil Sultan di Kairo.

Rogan menggambarkan begitu dramastis peperangan yang berlangsung antara Mamlūk dan ‘Uṡmāniyyah di medan Marj Dābiq. Walau datang dengan pasukan yang begitu mentereng, di mana Khalīfah al-Mutawakkil III al-‘Abbāsī beserta 40 syarīf yang memegang Alquran berlapis sutra kuning ada di sisi mereka. Pasukan Qānsūh al-Gawrī amat kewalahan menghadapi pasukan Selim I yang tangguh ditambah teknologi senapan yang sudah digunakan oleh pasukan ‘Uṡmāniyyah.

Gemuruh peperangan yang membara pada akhirnya menetapkan pasukan ‘Uṡmāniyyah sebagai pemenang. Qānsūh al-Gawrī terbunuh dalam pertempuran. Kemudian Selim melanjutkan kampanye militernya menuju Kairo untuk menumpas habis sisa-sisa kekuatan Mamlūk yang kini dipimpin oleh Ṭūmānbāy.

Pada Januari 1517, Ṭūmānbāy berhasil dieksekusi dan Selim menjadikan Mesir sebagai wilayah baru dari dinasti ‘Uṡmāniyyah. Selim kembali ke İstanbul dengan membawa al-Mutawakkil III dan diberi tempat tinggal serta pelayanan yang baik di sana.

Juli 1517, Syarīf Makkah mengirim kunci Ka’bah sebagai simbol transisi politik kepada ‘Uṡmāniyyah. Dengan begini, maka wilayah Hijaz juga menjadi wilayah kekuasaan ‘Uṡmāniyyah. 

 

Katolik Suriah Anggap Khilafah Usmaniyah Fiksi Belaka

Terjadi perbedaan pendapat terkait di mana Selim I menerima gelar dan legitimasi sebagai Khalīfah dari al-Mutawakkil III. Ada yang mengatakan prosesi tersebut berlangsung di Masjid Aya Sophia di Istanbul, ada pula yang menyebut di Masjid Agung Aleppo pasca- pertempuran Marj Dābiq.

Yang jelas, sebagaimana yang ditandaskan oleh İnalcik, setelah peristiwa ini dinasti ‘Uṡmāniyyah bukan lagi hanya sekedar negara tapal batas antara dunia Islam dengan Eropa. Tapi juga sebagai Khilāfah Islāmiyyah, dan sultan-sultannya bukan lagi berfungsi hanya sekedar penjaga tapal batas wilayah Islam di perbatasan Eropa, namun sekaligus pelindung kaum Muslim di seluruh dunia.

Dalam literatur ‘Uṡmānī, sebutan “Khalīfah” untuk Yavuz Sultan Selim terdapat pada manuskrip yang ditulis oleh Lüṭfi Paşa yaitu Tevariḫü’l-Osman (Ar. Tawārikh al-‘Uṡmān, Sejarah-Sejarah Dinasti ‘Uṡmānī).

Dalam Tevariḫ, Lüṭfi menulis adanya dua ulama dari daerah Transoxania yang menyebut Selim sebagai “Alexander Kedua” (Iskender-i Sani); “Mahdī Akhir Zaman” (Mehdi’ye Aḫir-i Zaman); dan “Kekuatan Ilahi” (Ḳudret-i Ilahi). Selim juga disebut sebagai “Syāh yang duduk di takhta Khilāfah” (Ḫilafet-serirun şahi) dan “Khalīfah Allah dan Nabi Muḥammad” (Khoda-ra o Meḥmed-ra Ḫalife).81

Bagaimana dengan status Khilāfah yang disandang dinasti ‘Uṡmāniyyah, sedangkan mereka bukan berasal dari trah Quraisy? Sebagian ulama yang menulis kitab-kitab fiqh siyāsah memasukan syarat Quraisy sebagai pra-syarat kepemimpinan Khalīfah, berdasarkan pada salah satu hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam:

  • Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, kecuali Allah yang menelungkupkannya dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama. (inna haża al-amr fī Quraisyin lā yu’ādīhim aḥadun illā kabbahullāhu fī al-nār ‘alā wajhih mā aqāmū al-dīn). 

Selain pra-syarat kedudukan Khalīfah yang lain seperti harus Muslim, laki-laki, mencapai usia balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas Khilāfah.

Hal ini ramai diperdebatkan saat itu di awal abad ke-16, dan mulai diramaikan lagi di masa kolonial ketika Inggris dan Prancis berusaha mendelegitimasi kepemimpinan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah atas dunia Islam melalui agitasi para nasionalis Arab di akhir abad ke-19.

Isu ini pertama kali dibawa ke tengah perdebatan publik di abad ke-19 oleh Luwīs Ṣābūnjī, seorang Katolik Suriah yang bermukim di London, yang menerbitkan surat kabar al- Khilāfah di mana di dalamnya ia menyatakan bahwa gelar Khalīfah yang disandang dinasti ‘Uṡmāniyyah hanyalah fiksi belaka.

 

 

Di antara ulama-ulama klasik yang berpendapat bahwa trah Quraisy adalah elemen yang esensial dalam teori politik Sunni, namun bukan termasuk syarat utama jabatan Khalīfah adalah al-Jurjāni, al-Bāqillānī, dan Ibn Khaldūn.

Menurut mereka, hadis tentang kepemimpinan Quraisy hanya berlaku di masa Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Khulafā’ al-Rāsyidīn, dan setelah masa itu hadis tersebut tidak lagi bisa diaplikasikan.

Dalam analisa Ibn Khaldūn, lambat laun kekuasaan kaum Quraisy melemah. Solidaritas (‘aṣabiyyah) mereka lenyap sebagai akibat hidup mewah dan berlebih, dan sebagai akibat dari kenyataan, bahwa di seluruh dunia negara telah memanfaatkan mereka. Dengan demikian mereka sudah terlalu lemah untuk dapat melaksanakan kewajiban Khilāfah. Bangsa-bangsa non-Arab pun menaklukan mereka dan merebut kekuasaan.

Sebenarnya, Ibn Khaldūn tetap mengakui pra-syarat trah Quraisy untuk jabatan Khalīfah, namun berkaca dari realitas pada masanya, ia lebih memilih untuk melihat dari hikmah dibuatnya syariat itu sendiri. Ibn Khaldūn berargumen:

  • sebagai pra-syarat dalam Imāmah (Khilāfah), dan tujuan yang dimaksud oleh al-Syāri’ (Pemberi Syariat, yakni Allah dan Rasul- Nya) dari pra-syarat tersebut, kita akan tahu bahwa di balik itu tidak semata terkandung berwasilah dengan Nabi, seperti yang dikatakan banyak orang. Wasilah (hubungan keturunan dengan Nabi) memang ada jika jelas seseorang berasal dari keturunan Quraisy, sebab Nabi sendiri berasal dari keturunan itu. Wasilah demikian merupakan tabarruk (mencari berkah, bagi orang yang punya wasilah demikian). Namun, seperti diketahui, tabarruk bukanlah tujuan syariat. Jika keturunan tertentu dijadikan pra-syarat Imāmah, tentunya harus ada maslahat umum di balik tujuan penetapan demikian. Namun, apabila persoalan itu kita telaah dan kita analisa, kita akan mendapatkan bahwa maslahat umum yang dimaksud tidak lain diungkapkan dalam bentuk solidaritas sosial (‘aṣabiyyah) yang dimiliki para imam keturunan Arab. Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan sang imam dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu akan dapat menerima dia beserta keluarganya, dan dia pun dapat mengadakan hubungan yang akrab dengan mereka.

 

Salah seorang pemikir ‘Uṡmānī yang turut membahas masalah legitimasi kepemimpinan dinasti ‘Uṡmāniyyah ini adalah Lüṭfi Paşa (w. 1563).

Lüṭfi Paşa yang juga merupakan Sadr-ı Azam (wazir agung) sekaligus menantu dari Sultan Süleyman I ini menulis sebuah risalah berjudul Khalāṣ al-Ummah fi Ma’rifah al-A’immah.

Penulisan risalah ini ditujukan “untuk mencegah syubhat dan membersihkan keraguan” atas keabsahan kekuasaan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang bukan dari trah Quraisy.

Dengan merujuk kepada kitab-kitab bermazhab Ḥanafī,  Lüṭfi Paşa menyebut dua syarat seseorang layak disebut sebagai penguasa: adanya pembaiatan (al-mubāya’ah) dan diterapkannya hukum Islam (yunfiż ḥukmahu). Tidak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan Lüṭfi Paşa bahwa seorang penguasa haruslah dari Quraisy (wa lam yużkar aḥadun min aṣḥāb al-kutub al-mażkūrah fī kutubihim an yakūna al-sulṭān min Quraisy).

Senada dengan Ibn Khaldūn, Lüṭfi Paşa juga menyebut bahwa syarat pemimpin harus Quraisy tidaklah relevan di zamannya. Melihat kondisi para khalīfah ‘Abbāsiyyah yang berada di bawah lindungan Mamlūk di Mesir, maka Lüṭfi Paşa menilai kepemimpinan mereka bermasalah (fa ba’da al-Khulafā’ al- ‘Abbāsiyyah yakūnu al-amr musykilan).

Tidak hanya ulama-ulama bermazhab Ḥanafī yang mengakui kekuasaan ‘Uṡmāniyyah yang bukan dari Quraisy – di mana mazhab tersebut adalah mazhab yang dianut para penguasa ‘Uṡmāniyyah, ulama-ulama bermazhab Syāfi’ī turut mengakui legitimasi kekuasaan mereka.

Hal ini tercermin dari sikap Yūsuf b. Ismā’īl al-Nabhānī (1849-1932), yang menjadi salah satu pemuka mazhab Syāfi’ī di masa- masa akhir Khilāfah ‘Uṡmāniyyah. Yūsuf al-Nabhānī menulis kitab kecil (kutayb) yang memuat hadis-hadis tentang wajibnya taat kepada kuasa ‘Uṡmāniyyah, berjudul al-Aḥādīṡ al-Arba’ūn fī Wujūb Ṭā’ah Amīr al-Mu’minīn (Empat Puluh Hadis tentang Kewajiban Taat Kepada Pemimpin Kaum Beriman).

Setelah menjelaskan tentang perkara- perkara hadis yang ia cantumkan, Yūsuf al-Nabhānī menyebutkan sederet keutamaan dinasti ‘Uṡmāniyyah dalam pelayanan mereka terhadap Islam dan kaum Muslim.

Ia menyatakan kecintaannya kepada mereka (innī uḥibbu āla ‘Uṡmān) serta menyebut Sultan Abdülḥamit II sebagai “Khalīfah di zaman ini” (khalīfah fī hāżā al-‘aṣr). Tidak hanya itu, Yūsuf al-Nabhānī bahkan menegaskan bahwa Khilāfah ‘Uṡmāniyyah adalah negara Khilāfah terbaik setelah zaman Sahabat.

 

 
Berita Terpopuler