India Akan Menutup 600 Sekolah Islam di Wilayah Assam

Kecaman di timur laut India saat pemerintah menutup 600 sekolah Islam

Arab News
Siswa dan guru mereka mengenakan masker pelindung wajah di dalam ruang kelas di tengah wabah Covid-19 di Guwahati pada 21 September 2020.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, NEW DELHI -- Sebuah undang-undang India akan menutup 600 sekolah Islam di negara bagian Assam di timur wilayah negara itu.

Adanya undang-undang pun telah menyebabkan protes di India. Publik mengecam bila pihak berwenang sedang mencoba untuk mempolarisasi masyarakat dan menciptakan ketegangan agama. Apalagi keputusan ini dilakukan menjelang pemilihan daerah pada bulan Maret.

Seperti dilansir Arab News, adanya kebijakan di bawah undang-undang baru itu diberlakukan oleh pemerintahan yang didominasi oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India disahkan pada hari Rabu lalu (30/12).

Alhasil nantinya, madrasah yang dikelola pemerintah akan diubah menjadi sekolah biasa. "Pemerintah secara bertahap membuat Muslim di negara bagian tidak berdaya dengan mengganggu cara hidup kami," Isfaqul Hussain, seorang aktivis yang berbasis di Tezpur, Assam, mengatakan kepada Arab News, Kamis (31/12).

“Pemerintah BJP mencoba untuk mendorong komunitas Muslim ke pojok hanya untuk mempolarisasi masyarakat dan memenangkan kepercayaan dari komunitas non-Muslim sebelum pemilum,'' ujarnya.

Seperti diketahui di wilayah Assam, 30 persen dari 30 juta penduduk adalah Muslim. Menteri Pendidikan Assam, Himanta Biswa Sarma, mengatakan langkah itu bertujuan untuk membawa komunitas Muslim "maju" dan membela undang-undang baru tersebut.

“Setelah 10 tahun, anak-anak Muslim yang menjadi dokter dan insinyur dari sekolah-sekolah ini, akan berhutang budi kepada pemerintah kita,” ujarnya.

Mohammad Fakaruddin Ahmad yang mengajar di Sekolah Menengah Noorpur Jut, sebuah madrasah di distrik Sonitpur, menyatakan tidak setuju dengan pernyataan menteri.

“Madrasah kami, seperti sekolah lain, mengajarkan sains dan matematika serta mata pelajaran lain dan juga menghasilkan dokter dan insinyur. Madrasah mengikuti kurikulum pendidikan dari pemerintah negara bagian dan kami mengajarkan pendidikan sekuler kepada siswa kami, selain memiliki kursus bahasa Arab dan studi Islam. "

Hiren Gohain, seorang intelektual publik terkemuka dari Assam, merasa pemerintah lebih mengkhawatirkan nama "madrasah" daripada pendidikan.

"Motif politik adalah yang terpenting dalam pikiran mereka," katanya kepada Arab News.

Kekhawatirannya adalah lain kali mereka akan mulai mengubah nama tempat yang memiliki nama Islam. Dia mengatakan itu adalah "bagian dari pola" untuk melemahkan minoritas Muslim di Assam dan memaksa mereka untuk jatuh ke dalam "konstruksi politik" partai yang berkuasa.

 

Anowar Hussain, seorang pengacara di ibu kota negara bagian Guwahati, menggambarkan undang-undang tersebut tidak konstitusional.

“Konstitusi memberikan hak kepada masyarakat minoritas untuk mengelola lembaga pendidikannya. Ini RUU inkonstitusional, ”ujarnya.

"Fokus pemerintah bukanlah pendidikan minoritas tetapi pemilihan, dan bagaimana memenangkan pikiran orang Assam lokal dengan mempolarisasi situasi sebelum pemilihan."

Partai oposisi Kongres juga menuduh BJP berusaha menciptakan ketegangan agama di negara bagian itu menjelang pemungutan suara bulan Maret.

“Kenapa RUU itu hanya 100 hari sebelum pemilu? Mereka ingin menciptakan ketegangan agama di Assam untuk memenangkan pemilu, ”juru bicara partai Kongres Bhupen Borah kepada Arab News.

BJP yang mengusung idealisasi Hindu, di India memenangkan negara bagian untuk pertama kalinya pada 2016. Mereka ambil kekuasaan yang selama ini ditangan Partai Konggres India yang punya jejak sebagai kelompok moderat.

Pada pemilu kali ini, BJP memang menghadapi kehilangan suara lokal setelah ada protes terhadap Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang kontroversial. Aturan  undang-undang yang diberlakukan pada akhir 2019 itu adalah bertujuan untuk mempercepat pemberian kewarganegaraan India kepada non- Migran Muslim dari Bangladesh, Afghanistan dan Pakistan yang telah tinggal di negara itu tanpa dokumen.

Undang-undang tersebut membuat marah penduduk asli Assam yang telah lama menuntut pengusiran semua penduduk tidak berdokumen yang memasuki negara bagian itu setelah 25 Maret 1971.

“BJP berjanji akan mengusir orang asing dari negara bagian itu, tetapi mereka tidak bisa melakukan itu. Mereka tidak bisa memberi pekerjaan kepada rakyat, jadi taktik polarisasi ini satu-satunya senjata yang tersisa di partai, ”ujarnya.

 
Berita Terpopuler