Di Balik Sinyal Erdogan Buka Hubungan dengan Israel

Analis sebut pernyataan Erdogan memberikan sinyal khusus ke Joe Biden.

AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Rep: Dwina Agustin Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pekan lalu mengatakan ingin hubungan yang lebih baik dengan Israel. Namun di sisi lain ia tetap tidak setuju dengan kebijakan Israel terhadap Palestina.

"Jika tidak ada masalah di tingkat atas (di Israel), hubungan kami bisa sangat berbeda," ujar Erdogan pada Jumat (25/12).

Dia menyatakan kalau kedua negara terus berbagi intelijen. “Kami ingin membawa hubungan kami ke titik yang lebih baik," kata presiden Turki itu.

Erdogan juga berharap kemungkinan pemulihan hubungan Turki-Israel yang berkembang di Mediterania Timur. Seperti diketahui, Ankara berada dalam isolasi di kawasan tersebut.

Muncul pertanyaan, pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Erdogan?

Analis berpendapat pernyataan ini sebagai langkah untuk menarik simpati dari presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Joe Biden. Direktur senior Program Turki di Yayasan Pertahanan Demokrasi dan mantan anggota parlemen Turki, Aykan Erdemir, mengatakan Erdogan telah menikmati hubungan baik dengan Donald Trump. Hubungan tersebut melindunginya dari tindakan yang lebih keras, termasuk sanksi yang diminta oleh baik Partai Republik dan Demokrat di Kongres.

Baca Juga

Seperti dikutip dari The Jerusalem Post, Erdemir menilai, presiden Turki, khawatir bahwa pemerintahan Biden yang akan datang akan lebih keras kepada Turki daripada pemerintahan Trump. 

Melalui sikap diplomatik, termasuk penjangkauan setengah hati ke Israel, diharapkan akan menarik simpati dari pemerintahan AS berikutnya. Kendati begitu hal tersebut bukanlah hal mudah.

"Rekam jejak anti-Israel yang konsisten dan ledakan antisemit Erdogan selama bertahun-tahun akan membuatnya sulit untuk meyakinkan rekan-rekan Israelnya bahwa ada substansi nyata dalam jangkauannya," kata Erdemir menegaskan.

Edemir mengakui, Turki dan Israel memiliki potensi besar untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan di bidang ekonomi, diplomatik, dan keamanan.

Penulis /"Erdogan's Empire: Turkey and the Politics of the Middle East", Soner Cagaptay, mengatakan hampir 10 tahun yang lalu, Erdogan meluncurkan kebijakan luar negeri baru. Dia mendukung pemberontakan Arab dan memutuskan hubungan dengan AS dan jika perlu, dan mengalihkan arah Turki dari Eropa ke Timur Tengah.

“Tujuan akhirnya adalah menjadikan Turki negara kekuatan bintang di Timur Tengah. Itu tidak terjadi satu dekade kemudian. Turki saat ini memiliki lebih sedikit teman di Timur Tengah dalam ingatan baru-baru ini. Faktanya, kecuali Qatar dan setengah dari Libya, dia tidak memiliki teman dari Timur Tengah. Pada saat yang sama, dia tidak dapat mengandalkan sekutu tradisionalnya, Israel, AS, atau Uni Eropa," kata rekan senior di Washington Institute ini.

Menurut Cagaptay, faktor lain yang mendorong keputusan Erdogan membuka sinyal terhadap Israel adalah keinginan memikat Biden dan Kongres AS. "Saya mengikuti politik Turki dan hubungan AS-Turki selama sekitar dua dekade. Saya belum pernah melihat sentimen anti-Turki naik setinggi ini di Kongres AS. Dan saya pikir Erdogan tahu bahwa jika Turki dan Israel akan lebih dekat sekarang, Israel menjadi sekutu terdekat Amerika di Timur Tengah, itu akan mendapatkan poin bonus untuknya," ujarnya.

 
Berita Terpopuler