2.500 Warga Inggris Rela Dibuat Terinfeksi Covid-19

Imperial College London libatkan 2.500 relawan asal Inggris dalam penelitian pandemi.

www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi). Imperial College London menjalankan uji coba model tantangan manusia dengan membuat 2.500 warga Inggris terpapar Covid-19 demi penelitian pandemi.
Rep: Meiliza Laveda Red: Reiny Dwinanda

IHRAM.CO.ID, LONDON -- Sebanyak 2.500 orang di Inggris akan membantu penelitian terkait pandemi dengan membiarkan diri mereka terinfeksi Covid-19. Imperial College London (ICL) mengatakan, studi itu melibatkan relawan yang berusia 18 hingga 30 tahun.

Proyek uji coba akan dimulai pada Januari 2021 dan hasilnya diharapkan pada Mei 2021. Awalnya, 90 relawan akan diberikan dosis vaksin hidung eksperimental lalu mereka akan sengaja diinfeksi Covid-19.

Apa alasan orang mau menjadi relawan untuk proyek penelitian ini? Seorang warga Inggris menyebut, kalau dirinya harus kehilangan nyawa akibat Covid-19, dia ingin itu terjadi dengan mulia.

Baca Juga

“Ini tentang menggunakan bukti dan analisis yang cermat untuk melakukan yang terbaik di dunia,” kata salah seorang relawan lainnya, Alex Greer (20). Greer merupakan seorang mahasiswa kimia yang menjalankan Effective Altruism Society di Durham University.

Pemerintah Inggris mengumumkan proyek tersebut pada Oktober 2020. Tujuan dari proyek itu untuk menemukan jumlah virus terkecil yang diperlukan untuk membuat orang terjangkit Covid-19.

"Ini dikenal sebagai studi karakterisasi virus dan akan didukung oleh investasi pemerintah sebesar 33,6 juta poundsterling (sekitar 690,7 miliar rupiah)," kata pemerintah, dilansir The Sun, Sabtu (26/12).

Namun, butuh beberapa bulan sebelum penelitian bisa dimulai. Sebab, penelitian harus disetujui oleh komite dan regulator etika.

Tahap pertama dari proyek ini dilakukan oleh kemitraan antara ICL, spesialis dan unit penelitian aman Royal Free Hospital di London, dan perusahaan klinis terkemuka di industri hVIVO yang telah memelopori model tantangan manusia viral. Mail Online melaporkan relawan nantinya akan menghuni klinik penyakit spesialis di Royal Free.

Setiap orang dibayar sekirar 4.000 poundsterling untuk masa tinggal dua sampai tiga pekan. Ahli imunologi mukosa dan dokter pernapasan, Profesor Peter Openhaw, yang menangani infeksi paru-paru di ICL mengatakan, para peneliti bertujuan sebatas untuk membuat virus berkembang biak di hidung saja.

"Kami yakin, dengan mengambil setiap tindakan pencegahan, kami benar-benar dapat membatasi infeksinya. Kami dapat melakukannya dengan cukup aman, mengingat banyaknya pengalaman yang kami miliki di bidang ini," ujar Openhaw.

Pakar dan rekan peneliti dalam studi tersebut mengatakan pada Oktober, menularkan virus pada relawan dengan sengaja dan dengan patogen manusia yang diketahui tidak pernah dianggap enteng. Studi ini akan dilakukan di fasilitas klinis kelas dunia di Royal Free yang dirancang khusus untuk menampung virus.

Tenaga medis dan ilmuwan yang sangat terlatih akan siap untuk memeriksa dengan cermat bagaimana virus berperilaku di dalam tubuh sekaligus untuk memastikan keselamatan relawan. Relawan akan dipantau sampai satu tahun setelah berpartisipasi dalam penelitian untuk memastikan kesehatan jangka panjangnya.

Setelah fase pertama ini selesai, para peneliti akan menyebarkan model tantangan manusia ini untuk mempelajari secara dekat bagaimana vaksin bekerja di dalam tubuh untuk menghentikan Covid-19. Pemerintah menyebut, meskipun negara-negara lain sedang mempertimbangkan jenis studi untuk virus corona, Inggris adalah negara terdepan dalam sains dan penyampaian studi ini.

Studi tersebut menganalisis respons antibodi dan sel-T pada 136 petugas kesehatan London, 76 di antaranya mengalami infeksi ringan atau asimptomatik sejak dimulainya karantina wilayah pada Maret 2020. Sel T adalah salah satu bagian adaptif utama dari sistem kekebalan. Perannya dalam tubuh adalah membunuh sel inang yang terinfeksi dan mengaktifkan sel kekebalan lainnya.

Tim peneliti menemukan 89 persen dari mereka yang dianalisis membawa antibodi penawar 16 hingga 18 pekan setelah infeksi. Ini biasanya dilengkapi dengan respons sel-T yang bercabang. Namun, penelitian juga menunjukkan kekebalan pelindung ini dapat menjadi terlepas.

Beberapa orang menunjukkan kekebalan sel-T tetapi tidak ada bukti antibodi dan sebaliknya. Mereka juga menemukan respons sel-T cenderung lebih tinggi pada mereka yang memiliki gejala klasik virus corona dibandingkan dengan mereka yang mengalami infeksi tanpa gejala.

“Memahami imunitas protektif akan membutuhkan pengawasan yang cermat dan simultan terhadap respon sel-T dan antibodi," kata para peneliti.

 
Berita Terpopuler