Israel Ingin Dekati Negara Muslim Lagi Sebelum Trump Pergi

Israel menyebut ada dua kandidat negara yang mungkin mau jalin hubungan

AP Photo/Evan Vucci
Presiden Donald Trump
Rep: Lintar Satria Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM--Menteri Kerja Sama Regional Israel Ofir Akunis mengatakan Tel Aviv berharap dapat membangun kerja sama dengan negara muslim satu lagi.

Target ini diharapkan terlaksana sebelum Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari mendatang.

Tahun ini pemerintahan Trump membantu Israel menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Selasa (22/12) kemarin Maroko menjadi menyambut delegasi AS-Israel untuk memperbaiki hubungan dengan Tel Aviv.

Baca Juga

"Kami sedang bekerja pada arah itu," kata Akunis saat ditanya apakah akan ada negara muslim kelima yang akan memperbaiki hubungan dengan Israel, stasiun televisi Ynet TV, Rabu (23/12).

"Amerika akan mengumumkan mengenai negara lain yang akan mengungkapkan normalisasi hubungan dengan Israel dan pada dasarnya, infrastruktur perjanjiannya, perjanjian damai," tambah Akunis.

Ia menolak untuk menyebutkan nama negaranya tapi ia mengatakan ada dua kandidat utama. Satu dari Teluk Arab, Akunis memberi isyarat kemungkinan Oman tapi jelas bukan Arab Saudi. Satu lagi negara yang lebih ke Timur, 'negara muslim yang tidak kecil'. Tapi bukan Pakistan.

Indonesia, negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia mengatakan tidak akan mengakui Israel. Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan tidak ada pembicaraan dengan AS tentang penambahan investasi senilai miliaran dolar jika Indonesia mau membuka hubungan dengan Israel.

Indonesia tetap berkomitmen pada perjuangan Palestina. Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengaku telah membaca berita tentang AS yang siap berinvestasi lebih besar jika Indonesia bersedia membangun hubungan dengan Israel.

"Namun bukankah Ibu Menlu sudah sampaikan bahwa hingga saat ini tidak terdapat niatan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Oleh karenanya tidak relevan menanggapi artikel atau sinyalemen tersebut," katanya.

 
Berita Terpopuler