Telaah Sangkaan Pidana Terhadap Habib Riziek Shihab

Begini konstruksi hukum dugaan perbuatan pidana Habib Riziek Shihab

Republika/Putra M. Akbar
Imam Besar FPI Muhammad Rizieq Shihab tiba untuk menjalani pemeriksaan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (12/12). Rizieq menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus pelanggaran protokol kesehatan terkait kasus kerumunan yang terjadi di Petamburan. Republika/Putra M. Akbar
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Ari Yusuf Amir, SH, MH, Praktisi Hukum dan Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf.

-----------

HABIB Rizieq Shihab (HRS), Sabtu (12/12), memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya, setelah sebelumnya pada Sabtu malam telah mengumumkan kesediaannya untuk hadir melalui jaringan televisi milik FPI, FRONT TV.

Kedatangan HRS menyusul pernyataan polisi pada Kamis (10/12), bahwa HRS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka umum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP.

Karantina Kesehatan memang diberlakukan pada masa darurat ketika merebaknya wabah penyakit. Pemberlakuan PSBB di masa pandemic Covid 19 merupakan bentuk karantina kesehatan, dan di antara ketentuannya, Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018  melarang kerumunan massa selama masa karantina Kesehatan ini, dimana pasal ini didasarkan pada Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2018  dimana kepatuhan tidak membuat kerumunan massa sebagai kewajiban.

Itulah sebabnya ketika HRS menggelar acara pernikahan anaknya berikut perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Petamburan, maka perhelatan ini segera diklasifikasikan sebagai kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan di masa pandemik sebagaimana dimaksud Pasal 93 UU Karantina Kesehatan tersebut.

Berbeda dengan alasan pemanggilan yang pertama pada 1 Desember lalu, maka pada panggilan yang ketiga ini, HRS ditetapkan juga sebagai tersangka dengan dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP, yaitu melakukan penghasutan di muka umum. 

Jika pada ancaman pidana pada Pasal 93 UU Karantina Kesehatan adalah maksimal 1 (satu) tahun penjara dan/atau denda paling besar Rp 100 Juta, maka ancaman pidana Pasal 160 KUHP adalah hukuman penjara maksimal 6 tahun.

 

Tentang Pidana Karantina Kesehatan

Pemberlakuan Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan sejak merebaknya bencana Covid 19 mendapatkan sorotan dari banyak praktisi hukum. Sudah lama disadari bahwa ketentuan pidana ini bersifat tidak pasti, karet, dan berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum terhadap siapa pun. Mengingat norma di dalam Pasal 93 tersebut memuat frase ‘pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling besar Rp 100 juta’.

Ketidakpastiannya dan sifat pasal karet pada frase pasal ini beresiko dilakukannya penerapan sanksi pidana sekaligus keharusan membayar denda. Artinya, kalau pun pelanggar ketentuan ini telah membayar denda tetap saja tidak menghapuskan ancaman pidana penjaranya. 

Jadi jelas bahwa penerapan Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan di masa pandemic Covid 19 ini cenderung dinilai melanggar Asas Legalitas dalam Hukum Pidana, oleh karena tidak menganut prinsip lex certa (kepastian hukum) dan ketegasan dalam penerapan sanksinya (lex stricta).

Dalam konteks HRS, maka kesediaan HRS membayar denda tetap saja dapat diikuti dengan sanksi pidana penjara. Sementara lima orang panitia pelaksana pernikahan anak HRS dan perayaan Maulid Nabi bisa saja dianggap cukup dikenakan sanksi denda.

Seyogyanya penerapan Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan harus mematuhi prinsip ultimum remedium, dimana sanksi denda yang bersifat administratif didahulukan dan sanksi pidana penjara merupakan alternatif terakhir. Sanksi maksimal hanya bisa diterapkan terhadap orang yang menghalang-halangi penyelenggaraan karantina kesehatan.

Tentang Pidana Penghasutan

Adanya sangkaan terhadap HRS dengan Pasal 160 KUHP adalah sah saja jika dianggap sebagai desain untuk merampas kebebasan Imam Besar FPI tersebut karena bisa diancam dengan hukuman lebih berat, yakni 6 (enam) tahun penjara. Mengingat ancaman hukumannya, HRS dapat saja ditahan pada masa penyidikan. 

Menarik mencermati cara penyidik memilih Pasal 160 KUHP untuk menjerat HRS. Sejak awal kemerdekaan, pasal ini sering diterapkan oleh penguasa terhadap para penghasut.

Pada masa lalu memang Pasal 160 KUHP merupakan delik formil, dalam mana ketika seseorang melakukan penghasutan dimuka umum dengan lisan dan tulisan, maka perbuatannya dianggap selesai. Perbuatan tersebut telah memenuhi norma pasal ini dan sanksi pidana dapat dijatuhkan.

Terlepas dari benar tidaknya HRS telah melakukan perbuatan pidana penghasutan di muka umum dan tidak menuruti perintah undang-undang, namun setelah Putusan MK No.7/PUU-VII/2019, maka Pasal 160 KUHP telah berubah menjadi delik materiil.

Perbuatan menghasut di muka umum hanya bisa dipidana apabila telah menimbulkan akibat, seperti kerusuhan, kekacauan, kerusakan, atau kematian. Artinya, harus ada hubungan kausalitas antara pernyataannya dan akibat yang ditimbulkannya.

Ingat bahwa pasal 160 KUHP mengalami perubahan dari delik formil menjadi delik materiil maka diberlakukan asas subsidiaritas sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) KUHP. Bahwa apabila UU diubah maka tersangka akan dikenakan ketentuan yang menguntungkannya.

Dengan kata lain, apakah orasi HRS dalam acara Maulid Nabi SAW merupakan penghasutan di muka umum yang telah berdampak menimbulkan akibat tertentu?  Jika orasinya tidak menimbulkan akibat,  maka penggunaan Pasal 160 KUHP kepada HRS tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun.

Namun polisi tampaknya ngotot untuk mengenakan Pasal 160 KUHP terhadap HRS. Bukan tidak mungkin akan terjebak pada kesalahan menetapkan hukum karena tidak sesuai dengan fakta perbuatan seseorang atau  'error facti and error iuris'. Ingat bahwa perbuatan HRS adalah menciptakan kerumunan di tengah pandemik.

Perbuatan ini sudah diatur oleh ketentuan pidana khusus dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan 2018. Artinya, sesuai dengan 'doktrin lex speciali drogat legi generali' maka polisi harus menggunakan UU Karantina Kesehatan agar memiliki prinsip 'logische specialiteit'.

Hukum memang ditegakkan dengan kewenangan aparat negara seperti polisi. Tetapi tidak bisa dengan sekehendak hati. Sanksi pidana dalam penerapan harus bertujuan mencegah (prevention and deterrence) perbuatannya serta memperbaiki (reform) perilaku pelakunya, dan tidak boleh ditujukan untuk maksud semacam aksi balas dendam.

Akhirnya kita hanya mengurut dada melihat kegigihan aparat negara untuk menjerat HRS dengan sanksi pidana berat. Situasi ini mengukuhkan penilaian selama ini bahwa polisi semakin bergairah untuk mengkriminalisasi ulama?

 
Berita Terpopuler