Adzan Hayya Alal Jihad, Cak Nun: Umat Islam Lama Tersakiti

Ada juga yang meladeni dengan kesabaran dengan tawakal dengan iman.

google.com
Adzan Hayya Alal Jihad, Cak Nun: Umat Islam Lama Tersakiti. Emha Ainun Nadjib
Rep: Ali Yusuf Red: Muhammad Fakhruddin

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil 'Cak Nun' mengatakan, umat Islam sudah lama merasakan harga dirinya diinjak-injak dan disepelekan. Menurutnya menjadi suatu yang lazim ketika ada sekelompok jamaah agamanya merasa disepelekan mengekpresikannya dengan mengganti lafal adzan "hayya alal falah" menjadi "hayya alal jihad".

Menurutnya hayya alal falah diganti dengan hayya alal jihad itu banyak makna dan dinilai masih santun dikumandangkan kepada orang yang menghina agama Islam. Malah Cak Nun akan mengganti hayya alal falah bukan dengan hayya alal jihad, tapi dengan hayya alal qital yang artinya mari kita berperang.

"Nah masalahnya sekarang adalah membayangkan ketika mendengarkan hayya alal jihad itu saya tidak curiga. Saya tidak mengklaim apa maksudnya tetapi kalau saya jadi mereka saya akan sekalian pakai kata qital. "Hayya alal kitalll...." Mari berperang," kata Cak Nun seperti dikutip akun YouTube CakNun.com, Kamis (3/12).

"Cuman mereka masih pakai kata jihad yang maknanya sangat luas yaitu bisa kerja, bisa cari istri dan bisa segala macamnya. Nah kalau "qital" kan jelas hadap-hadapan "breng" gitu," katanya.

Menurut pengamatannya bahwa umat Islam saat ini sudah merasa terus disakiti sehingga menjadi wajar ada sekelompok orang mengekspresikannya pada hal-hal yang kontroversial. Seperti misalnya lafadz adzan Hayya falah diganti dengan haya alal jihad.

"Saya melihat bahwa sebenarnya memang umat Islam ini secara nilai maupun secara manusianya, kaum muslimin maupun nilai Islam memang sudah mengalami sakit hati yang luar biasa dalam waktu yang sangat panjang," katanya.

Bahkan, tersakitinya umat Islam sudah berabad-abad lamanya. Mulai dari jaman penjajahan sampai jaman moderen sekarang ini. Menjadi suatu hal lazim yang biasa orang yang ditindas bangkit melawan orang yang selama ini menindasnya.

"Saya menyebutnya bisa sekitar empat sampai enam abad umat Islam dan nilai Islam disepelekan, diinjak-injak, tidak diakui, diremehkan dan seterusnya," katanya. Dia mencontohan kehancuran negara-negara berpenduduk Islam seperti Libya, Irak, Iran, hingga Timur Tengah. Mereka dihancurkan oleh kekuatan kolonial Barat hingga kini.

"Saya memahami sangat lazim bahwa umat Islam atau kaum muslim untuk merasakan rasa sakit di injak-injak dijajah diplekotho (dihina), diapusi (ditipu), disalahpahami dari masa renaissance sampai globalisasi ya," katanya.

Jadi kata Cak Nun, mereka umat Islam itu terlalu lama merasa sakit. Dan di antara orang-orang yang merasa sakit itu ada sebagian yang tidak tahan, ada juga yang meladeni dengan kesabaran dengan tawakal dengan iman dan kepercayaan kepada Allah.

"Ada yang mentok akhirnya nggak kuat. Akhirnya terjadi Sigi, terorisme dan segala macam," katanya.

Menjawab pertanyaan mengenai apa yang terjadi saat ini, Cak Nun memahaminya suatu kelaziman. Misalnya kalau ada orang yang memarahi orang tuanya dan seorang tidak berbuat apa-apa itu tidak lazim, akan tetapi anaknya itu marah atas perbuatan seseorang terhadap bapaknya itu lazim.

"Kalau orang diinjak, misalnya kalau saya menghina bapakmu sampai tiga kali terus kamu tidak marah kan nggak lazim, terus kamu jadi menendang kepala saya kan juga sangat lazim. Jadi kelaziman itu harus kita pelajari juga," katanya.

Jadi menurut dia, apa yang terjadi Sigi dan kumandang "hayya ala jihad" adalah munculnya secara alamiah sebagian dari satu kelompok yang ditindas berabad-abad. "Sehingga mereka kemudian biyadihim (menyeru secara bersama-sama) dengan tangan. Akibatnya, mereka melakukan apa yang rezim menyebutnya terorisme ya. atau melalui lisan dengan haya alal jihad atau haya alal qital," katanya.

"Nah itu bagi saya lazim-lazim saja. Jadi saya tidak mengatakan bahwa itu boleh ya.  Boleh dan tidak boleh lain masalah ini," katanya.

Cak Nun kembali mencontohkan kepada Hariyanto, (lawan bicara cak nun yang mewawancarainya). "Ayam saja dianugerahi Allah rasa marah ketika anak-anak ayam itu di terancam oleh anjing atau elang atau apapun itu. Ketika itu terjadi induk marah dengan ekspresi meregangkan bulu-bulunya. Jadi rasa itu marah itu sangat lazim wajar," katanya.

 

Apa marah tidak boleh dalam Islam? Cak Nun menjawab ada beberapa artus ayat di Alquran yang mengatakan Allah itu marah. Jadi marah itu sebuah kelaziman. Bukan hanya itu Rasullah Muhammad SAW pun marah.

''Lha seakan-akan sekarang orang Islam dan ajaran Islam gak boleh marah. Padahal marah itu lazim,'' kata Cak Nun seraya mengomentari pernyaaan dari pewancara yang mengatakan bila pada zaman Rasullah hidup, dia pun marah ketika ada kekuasaan Islam yang menindas orang Islam. Bahkan saat itu disebut Rasulullah sampai terdengar 'menggeletukkan giginya' karena marahnya.

Namun, begitu Cak di dalam menyikap aksi terorisme umat Islam pun tetap waspada. Sebab, bisa saja wacananya tidak tunggal sebenarnya, yakni hanya dari sisi pihak pelaku. Tapi ada tangan lain yang menggerakannya.

''Bisa saja mereka yang bicara keras secara sengaja dipanding untuk melakukan tindakan terorisme. Tujuannya sengaja agar mereka terbukti melakukan pidana sehingga ditangkap,'' ujarnya seraya mengatakan bisa saja yang melakukan tindak terorisme itu juga orang 'suruhan' dari pihak lain yang lebih berkuasa.

''Yang jelas umat Islam harus menahan diri untuk tidak mengikuti nafsu rendah 'lawamah su','' tegas Cak Nun. Dan ini umat Islam sebenarnya belum merupakan satu muat karena begitu banyak perbedaan dalam persaudaraan. ''Ingat umat itu berasal dari kata 'ummum' (ibu/sepersusuan)."

Maka bila terkait kata umat, maka bayangannya atau idealnya antar umat Islam sudah benar-benar seperti saudara. "Dalam hal ini tak terjadi begitu banyak perpecahan. Dan kenyataan itu belum terjadi."

r">

 
Berita Terpopuler