Mengurai Poso: Konflik Islam-Kristen, Santoso dan Tibo

Mengurai konflik Poso yang terus terjadi.

ANTARA/Faldi/Mohamad Hamzah
Sejumlah anak-anak bermain di sekitar perkampungan mereka di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Warga berharap aparat keamanan untuk dapat segera menangkap para pelaku penyerangan yang diduga dilakukan kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora yang terjadi pada Jumat (27/11/2020) lalu yang menewaskan empat orang warga desa setempat.
Red: Muhammad Subarkah

Di berbagai media massa saat ini tersebar berita mengenai empat orang warga Desa Lembontonga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang menjadi korban pembunuhan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Para korban dieksekusi langsung oleh Ali Kalora.

Pembunuhan ini memang sadis. Namun, bagi generasi milenal, mungkin tak paham bahwa di sana ada akar konflik yang sampai saat ini tak tuntas. Padahal, konflik Poso terjadi semenjak bergulirnya masa reformasi yang sudah berlangsung hampir selama 22 tahun.

Teringat soal tersebut, ada tulisan jurnalis senior Republika, Selamat Ginting. Artikel yang dimuat pada 1 Agustus 2016 diberi judul yang menohok "Neraka Poso: Konflik Islam-Kristen, Warga Keturunan, Santoso dan Tibo".

Harapan kami dengan dimuatnya kembali tulisan tersebut bisa menjadi renungan sedalam apa akar konflik di sana. Sekaligus juga untuk memahami cara penyelesainya.

Tulisan tersebut sebagai berikut:

------------

Berhari-hari saya mencoba menulis laporan tentang kasus Poso. Tetapi, saya tidak berhasil menyusun kalimat demi kalimat. Saya gagal, walaupun sudah berusaha menenangkan diri dengan menyanyi diiringi band. Lagu demi lagu. Namun, lagi-lagi saat di depan monitor laptop, saya belum bisa menulis.

Terus terang, saya terbawa suasana pada 1998 hingga 2001. Poso bagi saya adalah neraka liputan. Pada masa itu lebih dari 600 rumah terbakar, sekitar 60 ribu warga mengungsi. Jangan tanya jumlah warga yang tewas, saya pegang data jumlah korban tewas. Mengerikan!

Warga Islam ketakutan karena menganggap laskar Kristen akan menghabisinya. Warga Kristen pun juga ketakutan karena menganggap laskar Islam akan menghabisinya. Kedua warga Islam dan Kristen pun mengungsi. Demikian pula warga Hindu yang merasa berada di tengah peperangan bernuansa SARA.

Konflik ini berawal dari masalah sepele, saat bulan puasa Ramadhan, seorang warga keturunan yang sedang mabuk membacok seorang warga yang berbeda agama di masjid. Polisi telat mengantisipasi masalah tersebut, kerusuhan pun berbuntut panjang.

Keterangan foto: Terpidana mati (dari kiri) Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terkait kasus pembunuhan penganiyaan dan perusakan tiga desa di Poso, Sulawesi Tengah, (Foto Getty Images).

Apalagi, menjelang berlangsungnya pilkada Poso, terjadi saling provokasi dengan membuat selebaran yang menghasut. Kedua provokator dan pemimpin penyerangan akhirnya memang mati terbunuh.

Selanjutnya, terjadi saling lempar ke perkampungan berbeda agama. Saling serang dan bakar rumah penduduk dan rumah ibadah. Bahkan, saling bunuh!

Mengerikan melihat mayat dari kedua belah pihak tergeletak di jalan-jalan dan mengapung di sungai-sungai. Ribuan massa dari keduanya saling baku bunuh.

Siapa yang menyulut terlebih dahulu? Tidak jelas. Yang jelas, kedua masyarakat berbeda agama itu tersulut emosi.

Pemerintah telat mengantisipasinya. Seharusnya, pemerintah sudah menetapkan keadaan sebagai darurat sipil! Namun, hal itu tidak dilakukan. Aparat kepolisian tak lagi berwibawa menghadapi dua laskar yang sudah mendidih darahnya.

Sejumlah polisi pun tewas. Bagi saya saat itu, di Poso seharusnya sudah diberlakukan darurat militer untuk menjaga kewibawaan pemerintah. Namun, negara kala itu seperti tidak hadir di sana.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menganggap Pemerintah Indonesia gagal melindungi warga yang berbeda agama dan keyakinan itu. Sampai kemudian, muncul tokoh seperti Santoso yang dianggap pahlawan bagi umat Islam Poso serta Tibo yang dianggap pahlawan bagi umat Kristen Poso.

Gila! Itulah kata yang bisa saya ungkapkan mengenai figur-figur tersebut dan gagalnya pemerintah menyelesaikan kasus Poso. Perjanjian Malino hanya di atas kertas karena kewibawaan pemerintah sudah tidak ada.

Saya tidak ingin dan tidak bermimpi ada kasus seperti itu lagi di bumi nusantara. Sesama anak bangsa bertikai dan saling bunuh atas nama Tuhan-Nya adalah tindakan keji dan biadab.

Damailah Indonesiaku!

 
Berita Terpopuler