Menag: Dialog Kerukunan Beragama tak Lagi Cukup

Dialog kerukunan beragama tak lagi cukup, dibutuhkan penguatan moderasi beragama

Kornelis Kaha/Antara
Menteri Agama Fachrul Razi (kiri) berbicang dengan Wagub NTT Josef Nae Soi saat melakukan kunjungan kerja di Kota Kupang, NTT, Jumat (27/11/2020). Kedatangan Menag ke Kota Kupang dalam rangka meresmikan kampus IAKN dan gedung Raudah asrama haji transit Kupang yang baru selesai dibangun.
Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, KUPANG  - Menteri Agama Fachrul Razi mengajak seluruh masyarakat Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur untuk merawat kemajemukan dengan penguatan moderasi beragama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama.

"Dialog kerukunan beragama saja tidak lagi cukup memadai dalam merawat kemajemukan dan ke Indonesia-an. Untuk itu, dibutuhkan penguatan moderasi beragama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, seluruh komponen masyarakat, serta pemerintah sebagai justifikasi kehadiran negara," katanya ketika bertemu dengan para tokoh lintas agama yang diinisiasi oleh Kakanwil Kemenag Provinsi NTT, FKUB dan Pemprov NTT. di Desa Belo, Kupang, Sabtu (28/11).

Menurut Menag, Kementerian Agama sebagai leading sektor penguatan moderasi beragama, turut berkontribusi konkrit dalam pembinaan, pemeliharaan, dan penguatan moderasi beragama pada realitas pluralitas masyarakat Indonesia yang nyaris tiada tandingannya di dunia.

“Moderasi Beragama telah tertuang dalam dan termaktub dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024,” tegas Menag.

Ia menjelaskan, toleransi yang selalu mengedepankan kasih sayang, toleransi, gotong-royong, adil, dan saling menghormati sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan ajaran mulia semua agama.

Menurut Menag, agama selalu lahir dalam misi mulia, yaitu perdamaian dan keselamatan. Namun, seiring perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan manusia, teks-teks penafsiran terhadap agama mengalami multi tafsir, menyesuaikan dengan kondisi geo-sosio-budaya masyarakatnya.

“Sebagian pemeluk agama ada sebagian tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukai, dan terkadang yang sesuai dengan kepentingan ekonomi dan politik, hingga memunculkan konflik yang tidak terhindari,” papar Menag.

“Hal-hal semacam itu tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia,” tambah Menag.

 
Berita Terpopuler