Ketika Busana Muslim Inspirasi Wanita Eropa Elegan Berbusana

Busana wanita Eropa banyak terinspirasi wanita Muslim

AP
Busana wanita Eropa banyak terinspirasi wanita Muslim .Muslimah berjilbab (ilustrasi)
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Benarkah negara-negara Barat menghargai kebebasan menjalankan agama termasuk urusan jilbab umat Islam? Pertanyaan ini mencuat dalam sebuah ulasan di harian ternama Inggris, Guardian. Bahkan, tulis media ini, hak seorang wanita untuk memilih pakaian yang layak dikenakan di pantai pun terus menjadi kontroversi di belahan dunia ini. 

Baca Juga

Pada 1907, perenang Australia pemecah rekor dunia, Annette Kellerman, ditangkap di Pantai Revere di Boston karena menggunakan baju renang one-piece, mirip burkini saat ini, tanpa lengan. Saat itu, ia dianggap cabul. Pengadilan memutuskan ia boleh mengenakan baju renangnya itu asalkan di luarnya ia mengenakan jubah penutup yang hanya boleh dilepas saat badannya sepenuhnya terendam dalam air. 

Namun, ketika bikini diperkenalkan pada 1950-an, Kellerman menyatakan itu adalah sebuah kesalahan. "Hanya dua dari satu juta wanita yang bisa memakainya," katanya. "Bikini menunjukkan terlalu banyak (bagian tubuh) dan memakainya adalah sebuah kesalahan besar." 

Pemimpin umat Katolik sedunia saat itu juga mengecamnya. Paus menyebut pakaian renang two-pieces itu tak layak bagi wanita. Bikini dilarang di Italia, Spanyol, dan Portugal. Larangan tetap berlaku kendati aktris papan atas Hollywood Brigitte Bardot berpose di pantai Cannes dengan bikini pada tahun 1953 dan Ursula Andress muncul hanya dengan ber bikini dalam film Dr No pada 1962. 

Kini, lebih dari setengah abad kemudian, keadaan berbalik. Bikini dianggap sebagai satu-satunya pakaian yang pantas dikenakan di pantai untuk wanita; dan siapapun yang menolak mengenakannya tak layak berada di pantai. Prancis memulainya. Pakaian pantai, entah bagaimana, kemudian lari ke isu feminisme.  

Menteri Prancis urusan Hak-Hak Perempuan saat itu, Laurence Rossignol, menyebut burkini menindas perempuan. "Burkini memiliki logika yang sama seperti burqa: menyembunyikan tubuh perempuan untuk mengendalikan mereka," katanya. "Itu adalah simbol dari proyek politik yang bermusuhan dengan keragaman dan emansipasi perempuan." 

Rossignol bak lupa sejarah. Jika kembali menengok 170 tahun lalu, gaya busana yang diilhami cara wanita Muslim berbusana 'membebaskan' wanita Eropa. Saat itu, gaya busana perempuan Eropa dianggap terlalu mengekang; umumnya mengenakan gaun panjang yang tak hanya berat namun juga dipakai secara berlapis-lapis, selain kewajiban mengenakan korset yang ketat di dalamnya. 

Terinspirasi busana Muslim, aktris, penulis, dan aktivis anti-perbudakan Fanny Kemble, memulai 'pemberontakan' terhadap aturan berpakaian bagi wanita saat itu. Ia mengenakan pantalon longgar dengan padanan gaun pendek yang dianggapnya penuh semangat pembebasan bagi wanita. Munculnya "gaun Turki" dianggap sebagai angin segar, karena wanita tak harus repot dengan korset agar pinggang mengecil sekecil-kecilnya walaupun pemakainya nyaris pingsan karena susah bernafas. 

Aliran berbusana ala Kemble kemudian populer di kalangan penggiat hak-hak perempuan hingga ke Amerika Serikat. Aktivis perempuan Amelia Bloomer mengenakannya dan dimuat di Majalah The Lily pada 1851, dan apa yang di Amerika Serikat disebut dengan "gaun Bloomer" dengan cepat menjadi tren saat itu. Gereja menyebut pakaian ini terlalu ca bul, dan menjadi tanda bahwa perempuan telah melanggar wilayah laki-laki. 

Seiring waktu, gaun Bloomer men jadi biasa, dan justru evolusi fashion perempuan menjadikan penampilan mereka kian berani. Perubahan paling mencolok terjadi usai Perang Dunia Pertama, dengan munculnya apa yang dinamakan era Flapper. 

Flapper adalah sebutan untuk perempuan muda Barat pada 1920- an yang mengenakan rok pendek, rambut dibiarkan menyembul dari penutup kepala, mendengarkan musik jazz, dan memamerkan kebencian me reka untuk apa yang kemudian di anggap perilaku yang dapat diterima.

Flapper dipandang sebagai kurang ajar karena memakai make-up berlebihan, minum minuman keras, membincang soal seks secara santai, merokok, mengemudi mobil, dan sebaliknya mencemoohkan normanorma sosial dan seksual. Budaya ini juga tumbuh subur di Eropa seiring ekspor budaya jazz Amerika ke benua itu.  

Saat itu, gaya ini banyak ditentang. Kebanyakan tempat kerja kemudian memberlakukan aturan berpakaian yang ketat bagi perempuan, melarang kain bermotif, lengan pendek, dan make-up berlebihan. Gaya busana panjang menyentuh lantai kembali diperkenalkan. 

Selama Perang Dunia II, wanita berpakaian apa adanya karena saat itu dunia mengalami krisis kain. Di Amerika Serikat, fashion untuk pakaian longgar yang dikenal sebagai zoot suit yang biasa dikenakan pria berdaarah Afrika-Amerika dan Meksiko-Amerika dianggap terlalu berlebihan.

Pakaian ini berupa setelan jas pria dengan model celana lebar dan mantel panjang dengan kerah lebar dan bahu empuk dianggap terlalu boros kain, sementara dunia tengah resesi. Karenanya, pemakaianya dianggap sombong dan lebih-lebih lagi, tidak patriotik. 

Kerusuhan yang dikenal sebagai Zoot Suit Riot pecah di Los Angeles 1943, bermula ketika sekelompok pemuda keturunan Meksiko yang mengenakan zoot zuit diserang oleh sekelompok pria kulit putih. Kerusuhan yang sama merembet ke beberapa wilayah. Insiden ini kemu dian dibaca bahwa masalah utamanya jelas bukan soal pilihan fashion, tapi persoalan ras, dan kekuasaan. 

Setelah perang, dianggap penting untuk memaksa perempuan kembali ke rumah mereka. Rumah mode Christian Dior kemudian meluncurkan tren mode baru: gaun panjang model jam pasir dengan pinggang kembali mengenakan korset. Namun tak lebih dari dua dasawarsa saja usianya. Pada 1960 saat perekonomian berkembang pesat, perempuan muda sudah kembali bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri.

Gadis-gadis Muslimah berjilbab, anggun dan salehah. (ilustrasi) - (wordpress.com)

Mode pun berganti. Mary Quant adalah yang pertama untuk menunjukkan rok mini yang di atas catwalk pada 1964. Dalam sebuah wawancara berpuluh tahun kemudian, ia menceritakan bahwa ia kerap menerima cercaan tentang betapa cabul dan menjijikkan gaun yang dibuatnya. Puncaknya pada tahun 1967, empat wanita muda Prancis yang mengenakan rok rancangannya dilucuti massa saat berjalan-jalan di Paris. 

Koran terkemuka Le Parisien menulis di halaman depan tentang insiden ini: "Mereka terprovokasi para tukang jagal dari Les Halles." Foto keempat wanita dengan rok mini dipajang di halaman depan, hal yang dianggap bisa memprovokasi pembaca laki-laki untuk melakukan serangan lebih lanjut.

Namun kemudian Christian Dior mencoba untuk menegaskan status quo dengan mendesain rok sedikit di bawah lutut pada 1966. Sekelompok kecil perempuan yang menyebut diri mereka Masyarakat Inggris untuk Kemajuan melakukan aksi jalanan untuk mendukungnya, sambil memegang plakat yang membela hak mereka untuk menunjukkan kaki.

Sejak saat itu, kecemasan tentang pakaian cenderung tentang apa yang tersembunyi, bukan yang ditampilkan. Serangan teroris 11 September 2001 membuat segala hal terkait Muslim menjadi sumber perhatian, termasuk busana. Banyak negara kemudian melarang pemakaian jilbab, dengan cara yang sama pada 1920-an ketika mereka melarang rok mini. 

 

Dalam hal ini, busana menjadi salah satu barometer dalam perubahan sosial. Sejarah mencatat, hampir setiap usaha untuk melarang tren sebenarnya adalah upaya menyembunyikan rasa takut yang jauh lebih dalam akan pergeseran status gender, ras, kelas, dan indikator sosial lainnya. Sejarah nantinya akan mencatat bagaimana akhirnya gelombang jilbab mungkin akan menyapu Eropa. Siapa tahu?   

 
Berita Terpopuler